Akhir
tahun lalu, wacana diintegrasikannya pendidikan antikorupsi dalam kegiatan
belajar mengajar bergulir. Agus Rahardjo (Ketua KPK) bersama Tjahjo Kumolo
(Menteri Dalam Negeri), M. Nasir (Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi), Muhadjir Effendy (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), dan Lukman Hakim
Saifuddin (Menteri Agama) menandatangani nota kesepahaman tentang implementasi
pendidikan antikorupsi di semua tingkat satuan pendidikan.
Dalam
pelaksanaan pendidikan antikorupsi, belum banyak kabar terdengar. Bila menengok
ke belakang, kader-kader partai yang menduduki jabatan seperti kepala
lembaga/kementerian, anggota DPR, DPRD, gubernur maupun wali kota/bupati
terjerumus dalam kasus korupsi. Ini melahirkan tanya, apakah demokrasi yang
kita anut selama ini, yang membuat wakil-wakil rakyat mendapat kursi empuk di
pemerintahan, sebenarnya memang telah “diberi tiket” untuk bertindak korup?
“Warisan” dan ide
Korupsi
menggerogoti daya hidup, membuat manusia tak memunculkan potensi yang ada
padanya. Setelah diberi mandat, para koruptor tak perlu repot-repot bekerja
dengan jujur untuk menjalani penghidupan yang penuh berkah. Yang penting
menjabat, uang pasti didapat—itulah mental yang terbentuk sejak lama di bangsa
kita, menjadi “warisan” di kalangan para pejabat dan birokrat.
Nurcholis
Madjid (dalam Ghazali, 1998:109) menyatakan bahwa birokrasi Indonesia termasuk
ke dalam golongan priyayi yang dalam budaya Jawa dikenal memiliki gengsi yang tinggi.
Ia berkata, “Korupsi yang berjangkit pada birokrasi kita sedemikian parah.
Karena ketika korupsi terjadi di kalangan birokrat, dan muncul suara kritis
mempertanyakan, selalu ditanggapi dengan sikap antidialog. Karena dalam budaya
priyayi, tidak mengenal kritik.”
Setelah
Orde Baru tumbang, upaya untuk mengkritik sekaligus mengawasi korupsi
bermunculan, baik dari pemerintah maupun masyarakat. Selain dengan membentuk
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pemerintah sudah makin transparan dalam
soal penyaluran anggaran untuk penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan
negara.
Seringnya
kasus korupsi diberitakan dapat berdampak pada mental generasi muda, bahwa
mendapat uang dengan menempuh jalan pintas itu lumrah dilakukan. Karena itu, di
sekolah, di dalam proses belajar mengajar, ada ide pokok dan mendasar yang
merupakan lawan dari ide korupsi. Setidaknya ada dua ide penting yang perlu
dikedepankan dalam implementasi pendidikan antikorupsi.
Ide
pokok dan mendasar pertama yang perlu ditanamkan dalam diri siswa adalah
kejujuran dan integritas. Ini tidak bisa ditawar. Dua ide ini mensyaratkan
keteladanan guru. Moral seperti kejujuran dan integritas memang bisa diajarkan
dalam pelajaran seperti Agama atau PPKn, tapi bila guru tak memberi contoh akan
sia-sia belaka.
Ide
kedua adalah inovasi dan kreativitas. Dua hal ini akan menjadi cikal-bakal bagi
tumbuhnya semangat kerja. Semangat kerjalah yang membuat seseorang tidak mudah
tergiur dengan uang yang diperoleh bukan dari hasil bekerja. Selain itu,
inovasi dan kreativitas dapat membuat seseorang bertahan dan menyambung hidup
ketika tidak memperoleh pekerjaan di tempat yang diharapkan, bahkan dapat menumbuhkan
jiwa entrepreneurship.
Di
kurikulum berbagai tingkat satuan pendidikan (SD hingga SMA), cukup banyak
kompetensi dasar yang bisa dihubungkan dengan entrepreneurship. Misal, di kelas 3 SD ada kompetensi dasar yang
berbunyi “Memahami kegiatan jual beli di lingkungan rumah dan sekolah” dan
“Mengenal jenis-jenis pekerjaan”. Dari kompetensi-kompetensi dasar itu guru
dapat mengembangkan kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan semangat entrepreneurship.
Kejujuran sebagai kecerdasan sosial
Mohammad
Hatta, bapak bangsa kita pernah berkata: ”Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan
belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur
itu sulit diperbaiki.” Nilai kejujuran dan antikorupsi dapat ditanamkan lewat
beragam ajaran/doktrin dan praktik. Sudah barang tentu, ajaran/doktrin di sini berhubungan
dengan kecerdasan emosional atau sosial.
Sayangnya,
dalam praktiknya, masyarakat masih menganggap kecerdasan sosial bukan yang
utama, berada di bawah—atau bahkan jauh di bawah—kecerdasan kognitif. Dalam
tulisannya berjudul Kepintaran dan
Kebaikan (Media Indonesia,
6/08/2019), Victor Yasadhana menulis bahwa guru bisa saja kesulitan atau bahkan
tidak memiliki imajinasi untuk memetakan dan menilai kecerdasan emosi yang
muncul di ranah afeksi. Itu tentunya terjadi karena masyarakat, dan juga
guru—secara tidak sadar—terlalu memuliakan kecerdasan intelektual.
Apakah
kita bangga bila anak kita mendapat nilai ulangan Matematika sempurna, tapi
pada kenyataannya mereka hidup boros dalam membelanjakan uang? Apakah kita
bangga kalau anak kita mendapat nilai sempurna dalam pelajaran IPS, tapi pada
kenyataannya mereka suka memilih-milih teman dalam bergaul? Hal itu patut kita
renungkan, pada zaman ketika nilai berupa angka terlalu dipuja-puji.
Kecerdasan
sosial perlu mendapat tempat. Penanaman ajaran/doktrin untuk menjauhi korupsi pun
penting. Hal itu dapat dilakukan dengan mengajak anak membaca buku yang
mengisahkan tentang kejujuran. Anak-anak kecil suka mendengarkan dongeng atau
membaca buku cerita bersama-sama orang dewasa. Begitu banyak buku cerita yang
berisi ajakan untuk bertindak jujur, tidak mencuri, dan belajar mensyukuri apa
yang diperoleh dari hasil kerja keras sendiri.
Tak
hanya di sekolah, di rumah pun anak dapat diajar untuk bertindak jujur. Penanaman
ajaran/doktrin tidaklah lengkap bila tidak disertai dengan praktik. Membiasakan
anak untuk menabung adalah salah satunya. Dengan menabung, anak jadi belajar
hidup hemat, terlebih bila uang hasil tabungan ia gunakan untuk membeli barang
atau kebutuhan yang diinginkannya.
Selain
menabung, anak juga perlu diajari untuk memiliki pemikiran yang imbang dalam
hal pemenuhan hak dan kewajiban, terutama saat mereka sudah beranjak remaja.
Misal, anak berhak mendapat uang jajan, tapi apakah kewajiban tertentu yang
harus dipenuhinya? Semakin beranjak dewasa, anak perlu menyadari bahwa mereka
juga perlu melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti membereskan
tempat tidur, menyapu, atau mengepel lantai.
Bahkan,
bila di akhir pekan mereka tidak memiliki kegiatan, mereka dapat dipekerjakan
untuk membersihkan taman, mengecat rumah, atau melakukan kegiatan agak berat
lainnya yang masih mereka sanggupi. Dan untuk semua itu, orangtua pun perlu
memberikan sejumlah uang sebagai imbalan. Ini bukan soal menanamkan jiwa
materialistis kepada anak, tapi kembali kepada soal hak dan kewajiban: Mereka
membantu bekerja ekstra (kewajiban), mereka mendapatkan uang (hak).
Anak-anak
membutuhkan banyak figur dan keteladanan untuk bertumbuh dewasa dan memanusia. Sekolah
dan keluarga mestinya juga menyadari peran mereka untuk menjauhi korupsi dan
bersikap jujur. Bila sekolah dan keluarga sudah memberi bekal kejujuran kepada
anak, ke depan kita pun boleh berharap melihat tunas-tunas muda yang megedepankan
integritas ketika mereka bekerja dan mengupayakan penghidupannya.
(Dimuat di Media Indonesia)
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah membaca, apalagi sampai mau berkomentar. Semua komentar akan saya usahakan tanggapi balik.