Tuesday, August 13, 2019

Pendidikan Antikorupsi dan Kecerdasan Sosial

Akhir tahun lalu, wacana diintegrasikannya pendidikan antikorupsi dalam kegiatan belajar mengajar bergulir. Agus Rahardjo (Ketua KPK) bersama Tjahjo Kumolo (Menteri Dalam Negeri), M. Nasir (Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi), Muhadjir Effendy (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), dan Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama) menandatangani nota kesepahaman tentang implementasi pendidikan antikorupsi di semua tingkat satuan pendidikan.

Dalam pelaksanaan pendidikan antikorupsi, belum banyak kabar terdengar. Bila menengok ke belakang, kader-kader partai yang menduduki jabatan seperti kepala lembaga/kementerian, anggota DPR, DPRD, gubernur maupun wali kota/bupati terjerumus dalam kasus korupsi. Ini melahirkan tanya, apakah demokrasi yang kita anut selama ini, yang membuat wakil-wakil rakyat mendapat kursi empuk di pemerintahan, sebenarnya memang telah “diberi tiket” untuk bertindak korup?

“Warisan” dan ide

Korupsi menggerogoti daya hidup, membuat manusia tak memunculkan potensi yang ada padanya. Setelah diberi mandat, para koruptor tak perlu repot-repot bekerja dengan jujur untuk menjalani penghidupan yang penuh berkah. Yang penting menjabat, uang pasti didapat—itulah mental yang terbentuk sejak lama di bangsa kita, menjadi “warisan” di kalangan para pejabat dan birokrat.

Nurcholis Madjid (dalam Ghazali, 1998:109) menyatakan bahwa birokrasi Indonesia termasuk ke dalam golongan priyayi yang dalam budaya Jawa dikenal memiliki gengsi yang tinggi. Ia berkata, “Korupsi yang berjangkit pada birokrasi kita sedemikian parah. Karena ketika korupsi terjadi di kalangan birokrat, dan muncul suara kritis mempertanyakan, selalu ditanggapi dengan sikap antidialog. Karena dalam budaya priyayi, tidak mengenal kritik.”

Setelah Orde Baru tumbang, upaya untuk mengkritik sekaligus mengawasi korupsi bermunculan, baik dari pemerintah maupun masyarakat. Selain dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pemerintah sudah makin transparan dalam soal penyaluran anggaran untuk penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan negara.

Seringnya kasus korupsi diberitakan dapat berdampak pada mental generasi muda, bahwa mendapat uang dengan menempuh jalan pintas itu lumrah dilakukan. Karena itu, di sekolah, di dalam proses belajar mengajar, ada ide pokok dan mendasar yang merupakan lawan dari ide korupsi. Setidaknya ada dua ide penting yang perlu dikedepankan dalam implementasi pendidikan antikorupsi.

Ide pokok dan mendasar pertama yang perlu ditanamkan dalam diri siswa adalah kejujuran dan integritas. Ini tidak bisa ditawar. Dua ide ini mensyaratkan keteladanan guru. Moral seperti kejujuran dan integritas memang bisa diajarkan dalam pelajaran seperti Agama atau PPKn, tapi bila guru tak memberi contoh akan sia-sia belaka.

Ide kedua adalah inovasi dan kreativitas. Dua hal ini akan menjadi cikal-bakal bagi tumbuhnya semangat kerja. Semangat kerjalah yang membuat seseorang tidak mudah tergiur dengan uang yang diperoleh bukan dari hasil bekerja. Selain itu, inovasi dan kreativitas dapat membuat seseorang bertahan dan menyambung hidup ketika tidak memperoleh pekerjaan di tempat yang diharapkan, bahkan dapat menumbuhkan jiwa entrepreneurship.

Di kurikulum berbagai tingkat satuan pendidikan (SD hingga SMA), cukup banyak kompetensi dasar yang bisa dihubungkan dengan entrepreneurship. Misal, di kelas 3 SD ada kompetensi dasar yang berbunyi “Memahami kegiatan jual beli di lingkungan rumah dan sekolah” dan “Mengenal jenis-jenis pekerjaan”. Dari kompetensi-kompetensi dasar itu guru dapat mengembangkan kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan semangat entrepreneurship.

Kejujuran sebagai kecerdasan sosial

Mohammad Hatta, bapak bangsa kita pernah berkata: ”Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki.” Nilai kejujuran dan antikorupsi dapat ditanamkan lewat beragam ajaran/doktrin dan praktik. Sudah barang tentu, ajaran/doktrin di sini berhubungan dengan kecerdasan emosional atau sosial.

Sayangnya, dalam praktiknya, masyarakat masih menganggap kecerdasan sosial bukan yang utama, berada di bawah—atau bahkan jauh di bawah—kecerdasan kognitif. Dalam tulisannya berjudul Kepintaran dan Kebaikan (Media Indonesia, 6/08/2019), Victor Yasadhana menulis bahwa guru bisa saja kesulitan atau bahkan tidak memiliki imajinasi untuk memetakan dan menilai kecerdasan emosi yang muncul di ranah afeksi. Itu tentunya terjadi karena masyarakat, dan juga guru—secara tidak sadar—terlalu memuliakan kecerdasan intelektual.

Apakah kita bangga bila anak kita mendapat nilai ulangan Matematika sempurna, tapi pada kenyataannya mereka hidup boros dalam membelanjakan uang? Apakah kita bangga kalau anak kita mendapat nilai sempurna dalam pelajaran IPS, tapi pada kenyataannya mereka suka memilih-milih teman dalam bergaul? Hal itu patut kita renungkan, pada zaman ketika nilai berupa angka terlalu dipuja-puji.

Kecerdasan sosial perlu mendapat tempat. Penanaman ajaran/doktrin untuk menjauhi korupsi pun penting. Hal itu dapat dilakukan dengan mengajak anak membaca buku yang mengisahkan tentang kejujuran. Anak-anak kecil suka mendengarkan dongeng atau membaca buku cerita bersama-sama orang dewasa. Begitu banyak buku cerita yang berisi ajakan untuk bertindak jujur, tidak mencuri, dan belajar mensyukuri apa yang diperoleh dari hasil kerja keras sendiri.

Tak hanya di sekolah, di rumah pun anak dapat diajar untuk bertindak jujur. Penanaman ajaran/doktrin tidaklah lengkap bila tidak disertai dengan praktik. Membiasakan anak untuk menabung adalah salah satunya. Dengan menabung, anak jadi belajar hidup hemat, terlebih bila uang hasil tabungan ia gunakan untuk membeli barang atau kebutuhan yang diinginkannya.

Selain menabung, anak juga perlu diajari untuk memiliki pemikiran yang imbang dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban, terutama saat mereka sudah beranjak remaja. Misal, anak berhak mendapat uang jajan, tapi apakah kewajiban tertentu yang harus dipenuhinya? Semakin beranjak dewasa, anak perlu menyadari bahwa mereka juga perlu melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti membereskan tempat tidur, menyapu, atau mengepel lantai.

Bahkan, bila di akhir pekan mereka tidak memiliki kegiatan, mereka dapat dipekerjakan untuk membersihkan taman, mengecat rumah, atau melakukan kegiatan agak berat lainnya yang masih mereka sanggupi. Dan untuk semua itu, orangtua pun perlu memberikan sejumlah uang sebagai imbalan. Ini bukan soal menanamkan jiwa materialistis kepada anak, tapi kembali kepada soal hak dan kewajiban: Mereka membantu bekerja ekstra (kewajiban), mereka mendapatkan uang (hak).

Anak-anak membutuhkan banyak figur dan keteladanan untuk bertumbuh dewasa dan memanusia. Sekolah dan keluarga mestinya juga menyadari peran mereka untuk menjauhi korupsi dan bersikap jujur. Bila sekolah dan keluarga sudah memberi bekal kejujuran kepada anak, ke depan kita pun boleh berharap melihat tunas-tunas muda yang megedepankan integritas ketika mereka bekerja dan mengupayakan penghidupannya.

(Dimuat di Media Indonesia)

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah membaca, apalagi sampai mau berkomentar. Semua komentar akan saya usahakan tanggapi balik.