Tuesday, July 31, 2018

Membangkitkan Antusiasme Belajar di Keluarga

Sejak keponakan saya, Jovita, berumur dua tahun, saya suka mengajaknya berjalan-jalan. Ia senang sekali bila diajak naik sepeda motor atau berjalan kaki mengelilingi komplek perumahan. Dengan ceria ia menyapa bebek, kucing, ayam, kupu-kupu, burung—segala hewan yang tampak di depannya. Walaupun bahasanya tidak jelas, ia suka bicara. Kadang, di perjalanan kami bertemu kakek tua yang jalannya tertatih-tatih. Bila ia melihat Jovita, senyumnya selalu mengembang, wajahnya spontan berubah ceria.
Bila melihat hewan-hewan di sekitar jalan yang kami lalui, ia suka mengamati mereka dan menirukan cara berbicaranya. “Gimana suara kucing, Jovita?” tanya saya.
“Miaaaw, miaaaw...,” katanya dengan suara yang dikecilkan dan agak tinggi.
“Kalau suara bebek?”
“Naaad, naaad, naaad...,” dengan suara yang agak cempreng.
Setelah menanyakan suara-suara hewan itu, saya pun juga sering bertanya kepadanya, menanyakan suara saya sendiri: “Kalau suara pakde gimana?”
“Alooo... apa kabaw?” katanya dengan cadel dan suara dibesarkan.
Selain berjalan-jalan, keponakan saya suka sekali bila mendengar cerita dari buku Kancil Milenium Baru yang ditulis Witarsa (Penerbit Yrama Widya, 2016). Di buku itu ada beberapa cerita dengan tokoh kancil yang menjalin persahabatan dengan hewan-hewan lain. Cerita yang paling disukai Jovita adalah tentang gajah-gajah yang menyelamatkan kancil yang masuk ke dalam sumur.
Sambil bercerita, kadang saya menambahi, “Gajah itu baik lho, dia mau menolong kancil.”
Dia pun mengelus-elus gambar gajah di buku itu, dan kadang berkata, “Aku mau jadi kawan gajah!”     
Kalau bertemu kucing di tepi jalan, Jovita selalu minta berhenti bila kami sedang naik sepeda motor. Dia akan turun, mengejar kucing itu, dan menggendongnya. Pernah, suatu ketika ada kucing datang ke rumah, Jovita girang bukan main. Kucing berwarna kuning dan putih itu diberinya makanan. Sejak hari itu, beberapa hari sekali kucing itu datang ke rumah; dan kalau Jovita bertemu dengannya selalu saja ia memberinya makanan.
Saya menduga, kisah dan pelajaran yang Jovita dengarkan dari dongeng-dongeng itu tak menguap begitu saja. Yohan Rubiyantoro menyatakan dalam sebuah tulisan di situs web Sahabat Keluarga bahwa lewat kegiatan mendongeng, pendongeng dapat menyampaikan pengetahuan dan wawasan. Selain itu, dongeng juga dapat menggugah rasa ingin tahu anak dan membuka daya nalar mereka. (*)
Seperti kebanyakan anak lainnya, Jovita juga kadang memainkan smartphone. Ia suka memainkan berbagai permainan seperti masak-masakan, membuat kue, bermain piano, dan merias gadis kecil. Namun begitu bertemu dengan saya dan diajak berjalan-jalan, smartphone-nya pun langsung dilupakan. Dia sangat suka mencari kucing di komplek perumahan kami. Sampai hari ini ada dua kucing yang sering datang ke rumah dan kami beri makan.
Jovita sangat senang saya ajak memberi makan kucing-kucing itu. Awalnya ia takut kucing itu menggigitnya kalau dia memberi makan langsung dari tangannya. Tapi setelah terbiasa, ia tak takut lagi. Ia pun belajar satu hal penting, bahwa hewan-hewan dapat disayangi dengan cara diberi makan. Saya pun berkata kepadanya bahwa kebaikannya memberi makan kucing seperti gajah yang menolong kancil dalam dongeng Witarsa.

Antusiasme dan Pelibatan

Beberapa kawan saya menyatakan, anak pada masa kini sangat mudah ketagihan bermain ponsel. Saya menduga, sebabnya tidak ada orang dewasa yang mengajak atau mendampingi mereka melakukan aktivitas-aktivitas yang menyenangkan. Dan sebuah aktivitas bisa jadi tampak menyenangkan di mata anak bila orang dewasa tampak antuasias juga ketika melakukannya.
Masalahnya, orang-orang dewasa sering menganggap anak-anak kurang penting. Anak-anak, karena mungkin tidak bisa berpikir seperti orang dewasa, tidak memberikan keuntungan finansial, atau terlalu suka bertanya, akhirnya pun diabaikan. Padahal anak-anak suka bila didengar, bahkan dilibatkan dalam tugas-tugas yang sederhana.
Di mata banyak orangtua, anak-anak pun cenderung dianggap merepotkan. Beberapa orangtua malah tampaknya menganggap kehadiran anaknya sebagai beban. Waktu baru lahir disayang-sayang, tapi saat mulai bersekolah dijewer-jewer.
Dulu saya pernah mengajar di sebuah sekolah di mana para guru dibiasakan untuk menuliskan catatan di buku agenda siswa bila seorang siswa berbuat onar selama di sekolah, selain bila ada pemberitahuan atau tugas-tugas dari sekolah. Tujuannya agar siswa dapat dinasihati lebih lanjut di rumah oleh para orangtua. Suatu ketika, seorang siswa membuat ulah.
Saya pun mengambil agendanya, hendak menuliskan sesuatu. Saat itulah siswa tersebut malah menangis, lalu berkata sambil terisak, “Pak, kalau masalah itu ditulis di agenda, saya akan tambah dimarahi. Bahkan, kadang saya dipukul.” Dia juga menceritakan kalau orangtuanya tidak peduli dengan apa pun alasan ia berbuat nakal. Ia sudah terlanjur dicap nakal—selalu nakal.
Padahal, tak semua anak selalu nakal. Kadang mereka perlu dilibatkan dan diberi tugas-tugas ringan. Mengajak anak memberi makan kucing, mengajarinya mengocok telur sebelum didadar, atau bersama-sama dengannya menyiram tanaman adalah bentuk-bentuk pelibatan yang tampak sederhana, tapi dapat berakibat besar. Dengan kegiatan-kegiatan seperti itu anak akan merasa bahwa kehadirannya berarti.
Mungkin Anda pernah mendengar kisah Soichiro Honda, pendiri Honda. Kesukaannya mengutak-atik mesin berasal dari ayahnya yang membuka bengkel reparasi pertanian di Dusun Kamyo, Jepang Tengah, tempat kelahirannya. Ia juga sering bermain di tempat penggilingan padi, melihat mesin diesel yang menjadi motor penggeraknya. Di bengkel itu, ayahnya memberi alat untuk mencabut paku kepadanya. Honda dilibatkan, walaupun tugas-tugasnya sederhana. Tapi dari situlah antuasiasme ayahnya dalam dunia permesinan menular kepadanya.

Bukan Pemadam Kebakaran

Menularkan semangat hidup dan nilai-nilai penting dalam kehidupan seorang anak tak selalu mudah. Dalam sebuah ceramah tentang pendidikan, saya mendengar sebuah pernyataan menarik: “Guru bukan seperti pemadam kebakaran.” Hal yang sama juga berlaku untuk para orangtua. Kemudian, pemateri menguraikan bahwa pemadam kebakaran akan datang hanya bila kebakaran terjadi. Tak ada kebakaran, tak ada bunyi sirene mobil mereka yang bising. Tak ada kebakaran, mungkin para pemadam kebakaran santai kerjanya, ongkang-ongkang kaki di kantor.
Seringkali, guru dan orangtua hanya akan berinteraksi dengan anak bila sesuatu yang menyita perhatian—seperti kebakaran—terjadi. Masalah terjadi, hukuman diberikan. Atau, bisa juga dalam hal positif: prestasi dicapai, hadiah diberikan. Ya, rasa-rasanya, hanya sesuatu yang fatal atau fantastis yang terjadi pada diri anak yang menarik minat kita untuk berinteraksi dengannya.  
Itulah cara berhubungan yang keliru. Anak-anak perlu pendampingan bagi setiap proses memanusia. Hukuman atau hadiah tidak cukup bagi seorang anak. Ketika mereka tidak mencapai sesuatu yang fantastis, mereka akan menganggap diri mereka bukan siapa-siapa karena tak menerima hadiah. Ketika mereka lebih sering dihukum karena sering berbuat salah, mereka tidak tahu bagaimana cara melakukan sesuatu yang benar.
Ayah dan ibu yang hebat di mata orang-orang lain bisa jadi kaya atau populer, namun apakah artinya bila tidak penyayang dan mau memberikan waktu serta perhatian bagi anak-anaknya? Kita perlu mendengar dan berbagi bersama dengan mereka dalam waktu-waktu yang kita miliki bagi keluarga. Itulah jalan bagi terciptanya rasa aman dalam diri anak-anak, sekaligus kesempatan untuk membuat mereka bersemangat mempelajari apa saja yang berguna untuk hari depan. (Sidik Nugroho, penulis dan guru)

(*) Yohan Rubiantoro, Dahsyatnya Manfaat Mendongeng untuk Anak, Situs Web Sahabat Keluarga, 19 Mar 2016, bisa di baca di sini.