Tuesday, March 22, 2016

Menulis untuk Mendidik? | Catatan 10

Aktivitas tulis-menulis saya seringkali dihubung-hubungkan dengan status saya sebagai guru. Sebagai guru, tulislah karya yang edukatif. Sebagai guru, buatlah karya yang bermanfaat. Sebagai guru, tulislah buku yang bisa dibaca anak-anak muridmu dan mendidik. Begitulah beberapa kawan memberi saran. Tapi, sejak beberapa tahun lalu, saya memilih jalan lain. Saya memutuskan menulis novel-novel misteri untuk pembaca dewasa yang hampir tidak pernah saya sebut-sebut di ruang kelas tempat saya mengajar di sebuah SMP. Saya juga menulis beberapa artikel rohani tiap bulan; tapi ketika menulis fiksi, saya memilih menulis novel dewasa.

Beberapa guru yang saya kenal suka menulis, kecenderungannya memang seperti itu: membuat karya yang mendidik. Ada yang membuat tulisan yang benar-benar bagus dan mendidik, lalu diakui secara luas atau berskala nasional. Ada juga yang menulis buku-buku pelajaran yang diterbitkan mandiri dengan difotokopi dan dicetak sederhana, lalu dijual kepada murid-muridnya. Dan ada juga yang tidak menulis, tapi menjual modul hasil unduhan dari internet yang difotokopi. Untuk yang terakhir, saya pikir tidak masalah kalau siswa tidak keberatan; cuma saya pernah mendengar siswa bercerita bahwa modul unduhan-fotokopian itu dijual seharga dua kali lipat harga fotokopi.

Guru yang menulis saya pikir tidak banyak. Yang menulis fiksi jumlahnya mungkin hanya separo dari yang suka menulis. Dan yang menulis fiksi dewasa, saya yakin, jauh lebih sedikit. Apakah berarti saya, dari kalangan yang sangat sedikit itu bisa dibilang hebat? Unik, mungkin ya. Hebat, tidak. Kalau karya saya tidak mendapatkan apresiasi yang baik dari pembaca, saya sekadar orang yang dungu, ingin tampil eksentrik, hidup dalam kehebatan imajinatif yang ada di kepala saya sendiri. Hidup dalam keangkuhan dan kesia-siaan.

Menulis novel dewasa menimbulkan konsekuensi. Konsekuensi pertama adalah beberapa kali saya dianggap seperti tokoh-tokoh yang saya tulis. Saya dianggap Tony atau Elang, tokoh-tokoh yang suka gonta-ganti wanita dalam novel-novel yang saya tulis. Padahal, saya beranggapan, fiksi yang baik semestinya tak terbelenggu jati-diri penulisnya, walaupun pilihan dan kecenderungan materi atau tema tulisan mau tidak mau dipengaruhi oleh pengalaman dan pengetahuan si penulis.

Konsekuensi kedua adalah bertemunya karya saya dengan pembaca yang pengalaman membacanya dibentuk oleh opini banyak orang: bahwa bacaan yang baik haruslah edukatif, bermanfaat, dan semacamnya—apalagi yang menulis seorang guru. Pembaca seperti ini biasanya mudah memberi nilai rendah bila menemukan bacaan yang mengandung unsur kekerasan, seks, atau pembunuhan.

Konsekuensi-konsekuensi ini sempat membuat saya pernah berpikir mencari jalur aman ketika menulis fiksi. Menulis cerita romantis yang dibumbui komedi mungkin akan lebih baik. Namun, apa daya, ternyata saya merasa tidak bisa melakukannya setelah mencobanya sekian puluh halaman, tak hanya memikirkannya. Menulis cerita romantis yang lucu ternyata tak semudah yang saya bayangkan. Itu berarti, menulis cerita romantis-komedi berarti bukan jalur aman yang perlu dicoba. Pengalaman itu membuat saya sadar, penulis tak punya banyak pilihan kalau mau benar-benar berinovasi dan menyuguhkan sesuatu yang baru dalam cerita-ceritanya. Saya pun memutuskan mengikuti kata hati saja, menetapkan satu pilihan: menulis cerita misteri lagi.

Kejahatan lagi, kematian lagi, dan teka-teki lagi.

Tuesday, March 1, 2016

Endorsement | Catatan 9

Seorang kawan yang suka membaca buku mengeluh setelah membaca sebagian isi sebuah buku. Ketika saya tanyai sebabnya, dia mengatakan bahwa beberapa endorsement (pujian dari beberapa orang) yang dicantumkan di sampul belakang buku tersebut terlalu berlebihan. "Endorsement-nya hebat, isinya biasa saja." Pendapat kawan saya itu bisa saja subjektif.

Di lain kesempatan, saya mendengar cerita dari kawan penulis bahwa ada seorang tokoh masyarakat yang memberikan endorsement setelah penulisnya memberikan sinopsis bukunya (hanya) lewat sebuah SMS. Bayangkan, tanpa mengetahui isi buku, paling tidak membaca sinopsis utuhnya, endorsement bisa diperoleh.

Mungkin beberapa penulis jadi lebih percaya diri saat ada tokoh kenamaan yang mengucapkan pujian dan pengakuan bahwa karya yang ditulisnya bagus. Tapi, pengakuan yang tak perlu itu ujung-ujungnya menyesatkan. Endorsement seperti itu dapat membuat orang gemar disanjung, anti kritik, lalu tanpa sadar membangun kepercayaan dan kepuasan diri dari pujian yang semu. Membangun popularitas dalam waktu yang singkat adalah mungkin. Namun, mereka yang berpikir panjang biasanya lebih mengutamakan pencapaian yang teruji.

Mungkin kita perlu sedikit belajar dan membandingkan endorsement perbukuan dengan para endorser produk lain, contohnya alat musik. Saya kenal gitaris yang menjadi endorser amplifier. Dia paham benar seluk-beluk amplifier itu. Endorser itu bahkan dikontrak dan dibayar untuk mempromosikan amplifier itu lewat serangkaian acara yang digelar produsen atau promotor. Endorsement dalam perbukuan saya kira sedikit bergeser maknanya, berbeda dengan endorsement amplifier itu. Endorser buku tidak dikontrak, hanya menulis beberapa kalimat pendek yang diterakan di sampul buku atau halaman-halaman awal.

Tidak semua endorsement buku buruk; ada juga yang diberikan setelah seorang endorser menuntaskan pembacaan untuk karya yang dia endorse. Ada juga endorsement yang merupakan kutipan dari sebuah ulasan di media yang dibaca masyarakat luas. Endorsement dapat membantu orang lain menemukan atau menyetujui keunggulan suatu buku, juga produk atau karya lainnya. Ada atau tiada endorsement, toh pembaca nantinya bisa menilai. Karya yang dinilai buruk semestinya memicu seseorang berkarya lebih baik. Karya yang dianggap baik hendaknya membuat seseorang tak mudah berpuas diri.

Juga, yang perlu dicatat, tidak semua penilaian buruk membuat sebuah karya benar-benar buruk. Saya pernah membaca orang yang menilai karya legendaris The Lord of the Rings sebagai karya yang isinya cuma tentang orang berjalan-jalan, lalu memberi satu dari lima bintang untuk novel itu.

Kritik, sebagaimana pujian, juga bisa keliru diberikan. Kritik, sebagaimana pujian, semestinya diterima dengan lapang dada—walaupun tak mudah.