Di lain
kesempatan, saya mendengar cerita dari kawan penulis bahwa ada seorang tokoh
masyarakat yang memberikan endorsement
setelah penulisnya memberikan sinopsis bukunya (hanya) lewat sebuah SMS. Bayangkan, tanpa mengetahui isi buku,
paling tidak membaca sinopsis utuhnya, endorsement
bisa diperoleh.
Mungkin
beberapa penulis jadi lebih percaya diri saat ada tokoh kenamaan yang
mengucapkan pujian dan pengakuan bahwa karya yang ditulisnya bagus. Tapi,
pengakuan yang tak perlu itu ujung-ujungnya menyesatkan. Endorsement seperti itu dapat membuat orang gemar disanjung, anti
kritik, lalu tanpa sadar membangun kepercayaan dan kepuasan diri dari pujian
yang semu. Membangun popularitas dalam waktu yang singkat adalah mungkin.
Namun, mereka yang berpikir panjang biasanya lebih mengutamakan pencapaian yang
teruji.
Mungkin kita
perlu sedikit belajar dan membandingkan endorsement
perbukuan dengan para endorser produk
lain, contohnya alat musik. Saya kenal gitaris yang menjadi endorser amplifier. Dia paham benar
seluk-beluk amplifier itu. Endorser itu bahkan dikontrak dan dibayar untuk mempromosikan amplifier
itu lewat serangkaian acara yang digelar produsen atau promotor. Endorsement dalam perbukuan saya kira
sedikit bergeser maknanya, berbeda dengan endorsement
amplifier itu. Endorser buku tidak
dikontrak, hanya menulis beberapa kalimat pendek yang diterakan di sampul buku
atau halaman-halaman awal.
Tidak semua endorsement buku buruk; ada juga yang
diberikan setelah seorang endorser
menuntaskan pembacaan untuk karya yang dia endorse.
Ada juga endorsement yang merupakan
kutipan dari sebuah ulasan di media yang dibaca masyarakat luas. Endorsement dapat membantu orang lain
menemukan atau menyetujui keunggulan suatu buku, juga produk atau karya lainnya.
Ada atau tiada endorsement, toh
pembaca nantinya bisa menilai. Karya yang dinilai buruk semestinya memicu
seseorang berkarya lebih baik. Karya yang dianggap baik hendaknya membuat
seseorang tak mudah berpuas diri.
Juga, yang
perlu dicatat, tidak semua penilaian buruk membuat sebuah karya benar-benar
buruk. Saya pernah membaca orang yang menilai karya legendaris The Lord
of the Rings sebagai karya yang isinya cuma tentang orang berjalan-jalan,
lalu memberi satu dari lima bintang untuk novel itu.
Kritik,
sebagaimana pujian, juga bisa keliru diberikan. Kritik, sebagaimana pujian,
semestinya diterima dengan lapang dada—walaupun tak mudah.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah membaca, apalagi sampai mau berkomentar. Semua komentar akan saya usahakan tanggapi balik.