Tuesday, September 12, 2017

Nostalgia: Jaminan Sukses Film Indonesia?

Sidik Nugroho*)

 Sejak diputar pertama kali pada 31 Agustus 2017, lima hari kemudian, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 meraup penonton dua juta lebih. Sebuah pencapaian fantastis, yang mungkin akan menyusul seri sebelumnya, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1.



Film di seri kedua dibuka dengan rangkaian beberapa adegan di seri sebelumnya untuk membimbing penonton mengingat—atau mendapat gambaran bagi yang belum menonton seri sebelumnya—cerita di seri pertama. Di seri pertama, cerita diakhiri adegan tas yang tertukar. Tas yang berisi buku yang memuat informasi lokasi harta karun dibawa gadis cantik berbaju merah, yang belakangan diketahui bernama Nadia (Nur Fazura), seorang peneliti dari Malaysia.
 

Pertemuan Dono (Abimana Aryasatya), Kasino (Vino G. Bastian), Indro (Tora Sudiro), dan Sophie (Hannah Al Rashid) dengan Nadia di pantai pun menjadi titik terang bagi mereka yang berutang karena menghancurkan lukisan mahal. Utang itu akan lunas kalau harta karun itu bisa ditemukan. Setelah dipelajari, harta karun itu berada di pulau terpencil di bagian barat Malaysia.

Sampai di situ, penonton digiring untuk lepas dari bayang-bayang seragam polisi (CHIPS) yang dikenakan tiga tokoh utama ini di seri pertama. Guyonan demi guyonan pun disuguhkan, dari yang sederhana seperti plesetan akibat salah dengar (Lab Aran di Universitas Putra Malaysia diplesetkan menjadi Lebaran) hingga yang tidak masuk akal (dada Kasino yang menggembung akibat serum yang disuntikkan seorang ilmuwan di sana).


Guyonan terus berlanjut. Dalam pencarian harta karun, Dono ketemu kuntilanak yang tersangkut di pohon dan minta diturunkan, Indro berkelahi dengan beberapa pocong, dan Kasino berkelahi dengan pohon-pohon yang bergerak dengan jurus-jurus silat—hmmm... bertujuan mengait-ngaitkan dengan film Wiro Sableng yang sedang digarap?

Penulis skenario dan sutradara tampaknya paham, komedi terbuka lebar untuk berbagai keliaran dan ketidakmasukakalan. Lebih-lebih, ketika yang menjadi pijakan untuk mengeksplorasi keduanya adalah tokoh-tokoh ikonik komedi masa silam yang juga memang melakukan hal serupa.

Di film-film Warkop DKI pembaca mungkin ingat ketika Dono Kasino Indro menyamar jadi perempuan dalam Bisa Naik Bisa Turun (1991), padahal penyamaran itu terlihat jelas. Atau Dono yang saat menyamar jadi wanita dalam Maju Kena Mundur Kena (1983) ikut bertanding dalam sepakbola wanita. Di babak pertama, skor pertandingan 11-0. Adu jotos sempat terjadi gara-gara pemain saling mencurangi. Dono suka berlari ke sana kemari, terlihat paling aktif dan gembira, dan setelah mencetak gol cengengesan meremasi bokong para pemain wanita.


Di film ini, kehadiran para wanita seksi—yang di film-film Warkop DKI menjadi ciri khas—tampaknya berkurang agak banyak. Yang terbilang paling hot di film ini hanya saat mereka mengamati gadis berbikini lewat teropong. Apakah pengurangan ini demi menghindari sensor? Mungkin saja. Saat Kasino dadanya menggembung, jadi mirip payudara wanita berukuran jumbo, ada bagian yang tampaknya menyentil kebijakan sensor. Blur berbentuk kotak-kotak yang biasanya ditampilkan di televisi untuk memburamkan bagian-bagian tertentu sempat muncul, menutupi dadanya, tapi ia geser dengan tangannya.

Namun, selain dugaan saya untuk menghindari sensor, melihat betapa kritisnya warganet merespons berbagai persoalan, termasuk hal-hal yang berhubungan dengan diskriminasi gender, tampaknya sutradara dan penulis skenario memilih jalur aman. Guyonan-guyonan yang misigonis dalam Warkop DKI jika dipertahankan dan diadaptasi dalam Warkop DKI Reborn malah sangat mungkin menuai kritik dan hujatan.


Guyonan yang paling menggelitik di film ini adalah penerapan teknologi CGI yang memungkinkan para tokoh bertemu dengan tokoh atau aktor film masa lalu seperti Rhoma Irama, Jaka Sembung, dan Suzanna yang suka makan sate dan soto. Para penonton yang akrab dengan tokoh-tokoh itu tentu akan terkejut menyaksikan pertemuan-pertemuan itu.

Walaupun tampaknya sudah memilih jalur aman, juga berupaya menampilkan ragam komedi dari berbagai sisi, tetap ada yang mengganjal di film ini. Yang paling mengganggu adalah alur. Alur menjadi elemen yang agak tenggelam karena sutradara berhasrat menyuguhkan komedi di tiap adegan.


Misalnya, adegan pertemuan Nadia dengan Kasino di pantai. Sangat kebetulan. Dari sekian banyak orang di pantai itu, tampaknya terlalu cepat dan tak terduga bagi Kasino untuk bertemu orang yang selama ini ia dan tiga rekannya cari-cari. Sebelum bertemu, ia bahkan terpesona dengan Nadia, berlagak jadi orang yang pura-pura tenggelam agar ditolongi. Bahkan setelah bertemu, ekspresi mereka tampak biasa saja, kurang dramatis, padahal Nadia adalah tokoh untuk membuka kunci kerumitan yang mereka temui sebelumnya. Di sini pun terlihat, yang ingin ditonjolkan lucunya, alurnya tak begitu penting.


Sudah barang tentu, alur yang kurang runut tak terlalu menjadi soal. Dalam film komedi, yang lebih penting memang humornya. Toh masyarakat butuh hiburan, tertawa di bioskop beramai-ramai sungguh mengasyikkan. Yang kurang lucu pun jadi agak lucu, atau malah jadi lumayan lucu kalau bioskopnya ramai. Namun, benarkah film hanya hiburan?


Totot Indrarto, dalam catatan pembukaan di buku Katalog Film Indonesia 2008-2015 yang diterbitkan Pusat Pengembangan Perfilman, Kemdikbud, menyatakan bahwa 2016 adalah “tahun kebangkitan kembali film Indonesia” setelah 2008 yang sering disebut sebagai “masa kejayaan film Indonesia jilid baru”. Sebabnya, “sampai dengan akhir 2016 total jumlah penonton bisa menyamai perolehan 2008, yakni 32 juta penonton.”


2016 menjadi tahun penting dalam industri perfilman, dan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 yang rilis pada tahun itu tercatat sebagai film yang paling banyak ditonton sepanjang masa, yaitu 6,8 juta. Dan perolehan penonton Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 juga digadang-gadang bakal mirip—atau mungkin melampaui—seri sebelumnya. Indikasi apakah ini? Terlalu dini untuk menyatakan bahwa fakta ini menunjukkan bahwa penonton film kebanyakan sekadar mencari hiburan dengan menonton film. Toh, film yang terkategori menghibur (baca: membangkitkan gelak tawa) bukan hanya Warkop DKI Reborn, ada film-film komedi lainnya.


Kata kunci yang lebih pas mungkin bukan menghibur, tapi nostalgia. Dono, Kasino, dan Indro adalah tokoh-tokoh yang dirindukan penonton dari segala usia dan kalangan untuk terus hidup dan menyuguhkan kekonyolan-kekonyolan baru. Dan kerinduan itu telah ditangkap para pembuat film. Filmnya pun sukses.


Ahirnya, setelah menonton film ini, yang menurut saya kelucuannya agak berkurang dari yang pertama, saya malah berpikir untuk menjadi orang sukses daripada lucu dalam perjalanan pulang ke rumah.

Ah, tapi sayang, saya kurang pandai bernostalgia. (*)


Judul: Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2
Sutradara: Anggy Umbara         
Penulis: Anggy Umbara, Bene Dion Rajagukguk, Andi Awwe Wijaya
Pemain: Abimana Aryasatya, Vino G. Bastian, Tora Sudiro, Hannah Al Rashid, Nur Fazura, Indro Warkop
Rilis: 31 Agustus 2017

*) Penulis lepas, penikmat film


Biopik yang Datar dan Terlalu Penuh Kebaikan

ANDA mungkin pernah membaca kalimat ini: “Seorang suami yang membantu istrinya berbelanja derajat ketampanannya naik 180 derajat.” Atau kata-kata lain yang mirip dengan itu, yang hendak menegaskan bahwa hal-hal baik, mulia, atau luhur yang dilakukan oleh orang-orang tertentu dapat menimbulkan kesan mendalam. “… derajat ketampanannya naik 180 derajat” hanyalah frasa guyonan yang dapat diganti dengan yang lebih serius atau puitis seperti “… sungguh tak akan terlupakan” atau “… adalah suami idaman semua istri”.


Mengapa kata-kata yang memuat guyonan, atau ungkapan kekaguman yang serius atau puitis itu bisa terlontar? Tanpa bermaksud seksis, sederhana saja alasannya: kebanyakan kaum pria lebih suka melihat-lihat, berkeliling, atau berjalan-jalan sendiri bila istrinya sedang berbelanja. Bagi (sebagian besar) istri, ditemani suami berbelanja jadi terasa istimewa.

Lalu, bagaimana dengan suami yang memutuskan menjadi sosok yang suka menemani istri berbelanja? Guyonan dan kekaguman itu tentu tak pernah terlontar. Saat hal-hal yang baik, luhur, atau mulia menjadi biasa, kebaikan malah bisa terasa hambar. Itulah kesan terkuat ketika menonton film Nyai Ahmad Dahlan.

Nyai Ahmad Dahlan (berikutnya disebut Nyai Dahlan, diperankan Tika Bravani) adalah sosok yang dekat dengan tiga kata itu: baik, luhur, dan mulia. Di bagian awal film, saat melihat beberapa teman wanitanya sembunyi-sembunyi menonton orang sedang mengaji, ia menyarankan agar teman-temannya diperbolehkan ikut. Teman-temannya yang sering bersamanya pun diajaknya rajin menabung saat mereka bertumbuh remaja.

Ketika sudah menikah dengan Kiai Dahlan (David Chalik), saat bertemu dengan petani perempuan yang sedang hamil, Nyai Dahlan pun memberi wejangan. Petani itu, yang mengenakan kalung dari bawang putih sebagai jimat untuk menolak bahaya, diberitahunya untuk bergantung kepada Tuhan. Kemudian, di dapur, waktu mengobrol dengan pembantunya, ia mengingatkan agar bila kelebihan makanan harus mau berbagi dengan orang yang kekurangan.

Begitulah kebaikan demi kebaikan lainnya pun terus bergulir di sepanjang film—dalam wejangan, dalam dakwah, juga dalam keseharian Nyai Dahlan.

Namun, saya terkesan dengan adegan ketika Kiai dan Nyai Dahlan berada di kamar. Di situ, Kiai Dahlan mengutarakan niatnya membangun Muhammadiyah. Terhadap niat itu Nyai Dahlan menyatakan siap mewakafkan hidupnya. Di situ sorot kamera bergerak tepat, wajah Nyai Dahlan ditampilkan terang; sementara wajah Kiai Dahlan redup, nyaris gelap—ya, ini film tentang Nyai Dahlan!

Adegan lain yang menghibur adalah pelajaran bahasa Latin. Di papan, seorang guru menulis ‘ajam’ (ejaan lama) sambil menggambar ayam. Di antara para wanita yang belajar ada yang menyahut, huruf-huruf itu dibaca ‘pitik’ (bahasa Jawa untuk ayam) karena belum bisa membaca, hanya melihat gambar. Murid-murid lainnya pun tergelak. Setelah semua tertawa, sebuah lagu tentang hakikat belajar dalam bahasa Jawa terlantun merdu.

Selebihnya, tak banyak adegan memukau. Datar, dan malah menimbulkan kesan yang samar tentang Nyai Dahlan. Bila menyebut Ahmad Dahlan, orang akan langsung mengenalnya sebagai pendiri Muhammadiyah. Saya yang tidak akrab dengan sosok Nyai Dahlan sebelumnya jadi merenung setelah menonton film ini: Jadi, siapa sebenarnya Nyai Dahlan yang mau ditunjukkan dalam film ini?

Kalau ia penting sebagai pendamping suami yang bervisi memajukan pendidikan bercorak Islam, mestinya beragam konflik yang mereka temui saat pendirian Muhammadiyah bisa dikisahkan lebih banyak. Atau kalau ia penting sebagai sosok pendiri Aisyiyah, yang berdiri pada 19 Mei 1917, mestinya perjuangan dan kiprahnya di organisasi yang mengangkat derajat perempuan itu diberi porsi lebih besar. Di biopik ini penonton disuguhi kisah dari kecil hingga dewasa yang rentang masanya sangat panjang. Porsi tiap masa nyaris sama, tanpa ada penekanan penting tentang suatu peristiwa yang (diharapkan dapat) identik dengan sosok Nyai Dahlan.

Padahal, peluang untuk memunculkan konflik atau dramatisasi di film ini sebenarnya cukup banyak. Bila dikembangkan lebih jauh, pertentangan Kiai Dahlan dengan orang-orang di Banyuwangi yang tidak mau menerima ajarannya, musuh misterius mirip ninja yang melempar surat kaleng, atau tentara-tentara Jepang yang menyerang pribumi bisa mempertebal latar atau suasana perjuangan di dalam film ini.

Kurangnya dramatisasi dalam skenario—atau mungkin malah peniadaan dramatisasi dalam beberapa peristiwa tertentu—membuatnya datar mirip film dokumenter, bukan film cerita. Padahal Tika Bravani berakting bagus, terutama saat ia menjadi Nyai Dahlan yang tua. Ia tampil lebih karismatis, berwibawa, dan gigih melanjutkan perjuangan suaminya. Biopik ini kehilangan daya pikat karena skenarionya tampak terlalu membawa beban berat menampilkan Nyai Dahlan sebagai sosok penting dan mulia, berjasa bagi agama dan bangsa; tapi di sisi lain kurang menonjolkan kiprahnya yang paling signifikan dalam perjuangan bangsa maupun Muhammadiyah. (*)


DATA FILM


Judul : Nyai Ahmad Dahlan

Sutradara : Olla Atta Adonara

Produser: Dyah Kalsitorini, Widyastuti, Siti Muthmainah

Penulis: Dyah Kalsitorini

Pemeran: Tika Bravani, David Chalik, Cok Simbara

Rilis: 24 Agustus 2017


CATATAN PUBLIKASI

Ulasan ini dimuat di Litera.id, 7 September 2017. Ulasan bisa diakses di sini: http://litera.id/2017/09/07/nyai-ahmad-dahlan-biopik-yang-datar-dan-terlalu-penuh-kebaikan/