Tuesday, May 31, 2016

Mutilasi dan Dendam Masa Lalu

Resensi oleh Sidik Nugroho*)

Judul: Career of Evil (Titian Kejahatan)
Pengarang: Robert Galbraith
Penerjemah: Siska Yuanita
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun: 2016
Tebal: 552 halaman

DETEKTIF partikelir Cormoran Strike namanya kian melambung setelah memecahkan dua kasus yang dikisahkan dalam The Cuckoo’s Calling dan The Silkworm. Keberhasilan detektif bertungkai palsu itu diberitakan di berbagai media. Namun, selalu begitu—ketika sebuah nama meroket, ada saja yang menghalangi laju terbangnya. Suatu ketika, Robin Ellacott, sekretaris Cormoran, menerima kiriman tungkai wanita.

Di bagian awal pembaca sudah disuguhi konflik menggigit: pelaku mutilasi terbaca jelas motifnya. Bahwa selain mengidap gangguan jiwa, ia membenci Cormoran. Kiriman itu jelas-jelas merupakan sindiran sekaligus tantangan bagi Cormoran. Pelaku mutilasi mengajaknya bermain petak umpet: kalau kau tidak bisa menangkapku, maka karirmu sebagai detektif akan merosot. Dan benar saja—satu demi satu klien yang mempercayakan tugas pengintaian kepadanya mundur.

Kiriman tungkai wanita itu menuntun Cormoran mencurigai empat orang di masa lalunya yang mempunyai kemungkinan melakukan tindakan brutal, sekaligus memiliki dendam kepadanya saat ia masih menjadi tentara: Terence “Digger” Malley, Noel Brockbank, Donald Laing, dan Jeff Whittaker. Selain Robin, Cormoran dibantu Detektif Polisi Wardle dan Shanker, kawan masa kecilnya, mencari jejak si pelaku.

Novel ini menggunakan tiga sudut pandang utama. Pertama Cormoran Strike, kedua Robin Ellacott, dan ketiga pelaku mutilasi yang misterius. Novel ini menjadi tebal karena investigasi yang dilaksanakan Strike terhadap para terduga pelaku mutilasi dikisahkan dengan rinci—penuh strategi yang membutuhkan kecerdikan, juga melibatkan beberapa orang yang berstatus keluarga atau kenalan mereka. Investigasi Robin, rekannya, juga dikisahkan dengan rinci ketika ia sedang tidak bersama-sama Cormoran. Yang menarik adalah ketika Robin menyamar menjadi pengacara kecelakaan bernama Venetia Hall saat mencaritahu tempat tinggal seorang terduga pelaku mutilasi. Ia pandai menyamar, membuat Cormoran terkesan.

Pembaca juga akan dibawa “berkelana” ke tempat-tempat yang “gelap”, seperti klub malam yang menyuguhkan hiburan penari telanjang, juga panti pijat dengan layanan khusus. Di panti pijat itu, Thai Orchid Massage, Cormoran mengeluarkan uang tidak sedikit mencari jejak seorang terduga pelaku mutilasi karena ia dulu pernah menjadi tukang pukul di situ. “Dua ratus tiga puluh pound untuk nomor telepon lama. Kuharap hasilnya sepadan” (halaman 253).

Rangkaian penyelidikan yang dikisahkan dalam novel ini—juga pilihan pengarang memasukkan sudut pandang pelaku mutilasi di dalam cerita—sesuai dengan sebuah aturan (rules) yang dinyatakan S.S. Van Dine dalam artikelnya berjudul “Twenty Rules for Writing Detective Stories” yang dimuat American Magazine (September, 1928). Ia menulis: “Pembaca harus memiliki kesempatan yang sama dengan detektif untuk memecahkan misteri. Semua petunjuk mesti dinyatakan dan digambarkan dengan jelas.” Pengarang sudah menyebutkan pelaku mutilasi sebelum cerita berakhir—di bagian tengah cerita—walaupun ada bagian yang tersembunyi karena ada tambahan penyelidikan di bagian akhir yang menjadi titik penentu penyibak misteri.

Novel detektif ini berhubungan dengan psikologi, khususnya kejahatan seksual. Salah satu terduga pelaku mutilasi diduga kuat mengidap pedofilia, tertarik secara seksual pada anak-anak prapuber. Di awal penyelidikan, terduga pelaku mutilasi juga ada yang disinyalir mengidap acrotomophilia, jenis penyimpangan seksual yang pemuasannya didapat dari fantasi atau tindakan yang melibatkan orang yang diamputasi.

Selain konflik utama cerita, yaitu investigasi terhadap para terduga pelaku mutilasi, ada juga konflik-konflik kecil yang berasal dari kehidupan Robin: Matthew, tunangan Robin yang cemburu kepada Cormoran; Robin yang bimbang dengan kepastian pernikahannya karena mendapati Matthew pernah berselingkuh; Robin yang pernah mengalami masa lalu traumatik karena pernah diperkosa pria yang tak dikenalnya. Ada juga kisah hubungan asmara antara Cormoran dengan Elin, dan dua klien terakhir Cormoran yang menggunakan jasanya. Hal-hal ini juga membuat novel ini makin tebal, dan kadangkala agak mengganggu konsentrasi membaca karena ada beberapa bagian yang kurang signifikan terhubung dengan konflik utama.

Bagian yang agak kurang di(pilih untuk di)kembangkan pengarang adalah proses perubahan pikiran dan kepribadian si pelaku mutilasi sehingga ia bertindak keji. Dalam cerita ini, bab-bab khusus yang berisi serpihan-serpihan kisah tentang si pelaku mutilasi lebih menekankan pada kekejaman yang ia rencanakan, serta beberapa peristiwa dan pengalaman ketika melakukan tindak kejahatannya. Pengarang hendak membawa pembaca masuk dalam kengerian yang ada di pikiran sekaligus perbuatannya—tentang kepuasan membunuh, anggapan rendah terhadap wanita, juga proses membunuh dan memutilasi—tapi kurang menjabarkan mengapa pikiran keji itu menjangkiti otak si pembunuh hingga ia bertindak brutal. Hingga cerita berakhir, kesan yang kuat tentang si pembunuh adalah bahwa ia memang keji. Mengapa ia keji—nah, gambaran itu masih samar.

Sebagai pembanding, kalau pembaca pernah menonton film Psycho yang digarap Alfred Hitchcock, maka penonton akan tahu mengapa si pembunuh menjadi jahat. Di suatu bagian film—tidak disebutkan bagian awal, tengah, atau akhir, supaya tidak menjadi spoiler terhadap film itu—dijelaskan dengan gamblang, mengapa si pelaku menjadi sedemikian kejam dan tega membunuh. Penjelasan itu membuat penonton pun tahu, lebih paham, bahwa kekejaman si tokoh disebabkan karena ia dihantui rasa bersalah setelah seorang anggota keluarganya meninggal.

Pilihan pengarang untuk—mungkin secara tidak sengaja—menjelajahi konflik batin si pelaku mutilasi karena memang ia menganggap bahwa napas utama dari novel ketiga ini adalah upaya penjatuhan nama Cormoran Strike. Seperti yang tampak berikut: “Biro penyelidikan ini tak akan bertahan lama bila bau amis kegagalan dan keganjilan terus menguar dari kantornya... Tidak ada yang ingin mempekerjakan orang yang begitu terkenal karena pemberitaan negatif; tidak ada yang menyukai gagasan detektif yang begitu terkait erat dengan pembunuhan yang tak terpecahkan” (halaman 382).

Para terduga pelaku mutilasi awalnya tidak pernah diketahui di mana keberadaannya. Cormoran “... sudah delapan tahun tidak bertemu dengan Brockbank, sembilan tahun tidak bertemu dengan Laing, dan enam belas tahun dengan Whittaker” (halaman 64). Baru di halaman 300—sudah lebih dari setengah buku—dinyatakan di mana ketiga orang itu berada. Ini agak berbeda dengan cerita detektif lain yang ditulis lebih awal. Dalam And Then There Were None dan Murder on the Orient Express, misalnya, Agatha Christie mengisahkan pelaku pembunuhan adalah satu di antara beberapa orang yang berada di dekat korban dan lokasi pembunuhan. 

Novel ini juga lebih terkesan “masa kini”ada peristiwa-peristiwa besar yang terjadi beberapa tahun belakangan turut disebut dalam cerita: pernikahan Pangeran William dan Kate Middleton dan terbunuhnya Osama bin Laden. Kesan itu makin kuat karena media sosial seperti Facebook dan Instagram, Google Street View, dan forum diskusi tentang disabilitas dan psikologi di Internet juga menjadi media-media yang turut membantu penyelidikan.

Hampir semua bab novel ini diawali dengan kutipan lirik lagu dari Blue Öyster Cult. Kutipan lirik ini mengingatkan saya pada cerita-cerita Seno Gumira Ajidarma dalam buku kumpulan cerita Sepotong Senja untuk Pacarku yang diawali dengan kata-kata tempo dulu buatan Eddy Suhardy. Kutipan lirik lagu dan kata-kata tempo dulu itu terhubung dengan cerita secara unik dan bebas—bisa temanya, kejadian utamanya, gejolak batin tokohnya, atau lainnya. Sebagai contoh, saat Cormoran memikirkan tiga wanita yang dekat dengannya, Robin, Elin, dan Charlotte, lirik lagu yang dikutip di awal bab ke-40 (halaman 362) berasal dari lagu “Searchin’ for Celine”, tentang cinta: “... love is like a gun/ And in the hands of someone like you/ I think it’d kill.”

Di bagian Ucapan Terima Kasih, pengarang menyatakan, “Rasanya aku tidak pernah menulis novel seasyik aku menulis Career of Evil” (halaman 541). Mungkin itu pengakuan yang jujur. Robert Galbraith, alias J.K. Rowling, juga sudah merangkai kisah yang asyik dan layak diikuti hingga tuntas. Dan, lewat serial Cormoran Strike ia menegaskan bahwa dirinya bukan spesialis pengarang cerita sihir atau anak-anak. (*)

*) Novelis. Novelnya yang baru terbit berjudul Tewasnya Gagak Hitam (2016).