Tuesday, June 12, 2018

Napas Terakhir


Cerpen Sidik Nugroho


langit adalah kesukaan ibu, anakku
karena warna langit berganti, tak abadi
ibu ingin berbisik kepada langit, putriku
untuk menaungimu, selalu, sampai nanti

SEPERTI biasa, sore itu aku dan anak gadisku berkeliling dengan sepeda unta yang seumuran denganku. Ia selalu senang bila kuajak melintasi jalan-jalan di perumahan yang kami tinggali di pinggir Kota Malang, menghirup udara sore. Selalu saja kami melihat beberapa tetangga yang berleha-leha di depan rumah mereka menanti datangnya malam. Mereka suka tersenyum dan bertegur sapa.
“Pak, sore ini cerah sekali, ya! Nggak seperti kemarin!” katanya riang dari belakangku ketika kubonceng.
“Ya, sangat cerah. Lihatlah, langit di atasmu, bintang-bintang mulai kelihatan!” kataku sambil memandang ke atas, mengamati beberapa awan tipis yang berarak pelan.
Aku merasakan gerakan di belakangku. Kuyakin ia tengah mendongakkan kepalanya. Dinda, putri kecilku, selalu saja menghiburku. Ia suka mengajakku bicara tentang apa saja, termasuk tentang langit. Ia juga suka bernyanyi-nyanyi kecil. Setelah seharian bekerja sebagai tukang bangunan, Dindalah yang menghiburku.
Ketika langit makin gelap, kami mampir ke sebuah warung tenda. Di sana dijual bermacam-macam gorengan, kopi, teh, dan jahe. Dinda suka minum jahe, aku suka minum kopi. Kami berdua menyukai gorengan yang sama: ubi goreng.
Malam itu, Dinda bertanya lagi tentang ibunya. Sebelumnya Dinda hanya tahu kalau ia telah meninggal. Berkali-kali ia menanyakan sebabnya. Aku enggan menceritakannya, lebih menyukai untuk menyimpan semua ingatan tentang istriku di benakku.
Sampai malam itu, aku merasa desahan napas istriku seolah-olah masih dekat, sedekat pakaian yang kukenakan. Tak terhitung sudah berapa kali ia datang di mimpiku. Dari mimpi yang menggambarkan asmara kami di padang berbunga-bunga indah, hingga mimpi tentang perjalanan kami ketika mendaki sebuah gunung—ia terpeleset, hendak masuk jurang, dan aku menyelamatkannya.
Sejak ia tiada, aku suka menyendiri bila tak bersama Dinda atau kalau Dinda sudah tidur. Aku tahu diri, dengan penghidupan yang pas-pasan, lebih baik menahan hasrat menikah lagi.
“Pak, Ibu meninggal gara-gara apa?” tanya Dinda, menyentak lamunanku.
Oh, betapa ingin segera kukisahkan! Tapi aku takut Dinda masih belum bisa paham. Namun, saat kutatap matanya, ia tampak siap mendengarkanku. Ia—rasanya bahkan siap walau kisah ibunya tertutur pilu.
“Hm... makan saja ubi gorengmu, Nak. Habiskan,” kataku mengalihkan perhatiannya.
Ia melahap ubi gorengnya, meminum jahenya. Aku menimbang-nimbang lagi, bercerita atau tidak tentang ibunya. Takut, bila kisahku menyedihkan hatinya. Dan, ada ganjalan lain yang kadang menggangguku: bila aku jujur, yang itu berarti membuka aibku sendiri, apakah ia akan membenciku? Namun ia makin besar, umurnya sudah sepuluh tahun. Mau tak mau memang ia harus tahu apa yang terjadi pada ibunya.
“Pak, ceritakanlah tentang Ibu,” ulangnya setelah menghabiskan jahe.
Aku menghela napas panjang. Kutatap matanya dan kukatakan, “Ya... nanti, setelah kita pulang ke rumah, bapak cerita.”
Dinda mengangguk dan tersenyum. Senyumnya persis ibunya.

“PR-mu sudah selesai, Nak?” tanyaku ketika kami memasuki pekarangan rumah.
“Sudah, Pak. Sekarang tinggal menyiapkan buku-buku untuk besok.”
“Siapkanlah. Setelah itu, buatkan bapak teh hangat, nanti bapak akan cerita.”
“Baik, Pak!” Ia terlihat bersemangat. 
Aku masih ragu, mengisahkannya atau tidak. Beberapa saat kemudian, Dinda menghampiriku di kursi panjang yang ada di teras depan rumah kami, membawa secangkir teh hangat. Ia duduk di sampingku. Sambil menatap angkasa yang kelam, kukenang ibunya.
“Ibumu orang yang tak banyak bicara,” kataku membuka pembicaraan. Dinda menarik napas panjang. “Tapi dia pernah bilang, dulu, kalau sudah punya anak, akan lebih suka dipanggil Bunda, atau Ibunda, sama seperti ia memanggil ibunya.”
“Mm, Ibunda... bagus, Pak!” seru Dinda.
“Ibumu orang yang menyadarkan bapak tentang kasih sayang. Dia... sebuah mukjizat.”
“Mukjizat? Apa itu, Pak?” tanya Dinda keheranan menatapku.
“Mukjizat artinya... sesuatu yang mengherankan, ajaib, tidak terduga, ya... semacam itulah,” jelasku, agak kesulitan menemukan kata-kata yang lebih pas.
Dinda mengangguk-angguk, tapi tatapannya menyiratkan kebingungan.
“Begini, Dinda,” kataku sambil mengatur napas. “Bapak dulu bukan orang baik. Bapakmu ini pencuri alias maling setelah dipecat dari perusahaan bapak. Bapak putus asa, hidup tanpa harapan. Namun, karena ibumu, bapak berubah. Bapak kadang heran dengan perubahan itu.”
Dinda mengangguk-angguk. “Berubah bagaimana, Pak?”
“Saat kamu di kandungan Ibu, bapak tidak punya uang membayar kontrakan rumah. Di tengah desakan itu, bapak hampir ketahuan mencuri sepeda motor. Ketika ibumu mengetahui hal itu, dia...,” aku berhenti sejenak, “melakukan sesuatu yang tidak pernah bapak lupakan.”
Aku menyeruput teh buatan Dinda.
“Sambil menyeka keringat di dahi bapak setelah gagal mencuri, dia membawa sebuah kotak. Dibukanya kotak itu, ditunjukkannya kepada bapak sebuah kalung emas. Ibumu berkata, itulah harta terakhir yang dia miliki. Kalung itu adalah pemberian ibunya, nenekmu, yang disimpannya untuk berjaga-jaga kalau di kelahiranmu nanti dia butuh uang untuk operasi atau lainnya.”
“Lalu?” tanya Dinda.
“Ibumu malah menyuruh bapak menjual kalung itu untuk membayar kontrakan. Dari situlah bapak mulai berubah, Nak.” Leherku agak memanas. Aku seperti tak kuat untuk melanjutkan kisah itu. Lalu kisah itu sedikit kualihkan.
“Ibumu suka mengarang sajak sederhana, Dinda. Banyak yang bapak simpan, tapi ada satu yang selalu bapak bawa ke mana-mana.” Aku mengambil dari dompetku sebuah kertas kecil berwarna oranye yang kulaminating, kuberikan kepada Dinda.
Dinda membacanya sambil mengerutkan dahi. “Aku masih belum paham sajak ini, Pak. Aku cuma bisa menangkap, intinya... Ibu menyukai langit.”
“Simpanlah itu. Suatu saat kau akan bisa lebih memahaminya.”
Dinda mengangguk-angguk. Beberapa saat kemudian matanya ia sipitkan. Ia juga tersenyum tipis sebelum berkata, “Bapak kan juga suka melihat langit! Kita kan suka jalan-jalan kalau sore sampai malam!”
Aku tertawa dan mengelus rambutnya.
Dinda membaca lagi kertas oranye itu, lalu meletakkannya di meja. “Nah, lalu, kenapa Ibu sekarang nggak ada, Pak?” tanyanya.
Oh, tiba juga bagian itu, bagian tersulit untuk dikisahkan!
“Waktu Ibu melahirkan kamu... dia sangat kesakitan. Dia mengeluarkan banyak darah. Waktu lahir badanmu berat, Nak, hampir empat kilogram. Dokter mengatakan Ibu sebaiknya operasi, tapi...,” aku berhenti sesaat.
“Uang... sudah nggak ada, Pak?” tanya Dinda polos, walau matanya tampak memerah.
Aku mengangguk lemas beberapa kali. “Kemudian, empat hari setelah kamu lahir... Ibu pergi, tidak pernah kembali....”
Mata Dinda berkaca-kaca. Aku menepuk pundaknya. “Jangan sedih, Dinda. Itulah kejadian yang sebenarnya,” kataku pelan, menenangkannya.
Malam makin kelam, kami beberapa saat terdiam.
“Oh iya, sajak empat baris itu dibuat ibumu sehari sebelum dia meninggal. Waktu itu ibumu juga kebetulan memang dirawat di rumah sakit yang dari jendelanya tampak matahari terbenam. Ia membuat sajak ini buatmu. Karena itu, simpan baik-baik.”
Dinda menatapku keheranan. Bibirnya terbuka dan matanya terbelalak. Namun matanya menyipit perlahan. Ia tersenyum tipis ketika meraih kertas itu dan membaca sekali lagi sajak empat baris di kertas oranye itu. Dinda memejam beberapa detik, meresapi kisahku.

DUA belas tahun berlalu. Dinda mewarisi segala yang ada pada ibunya—senyumnya, wajahnya, pun caranya berbicara. Ia hampir menyelesaikan kuliahnya. Sejak tiga tahun lalu aku menjadi pemilik sekaligus penjaga warung kelontong kecil yang kubuka di depan rumahku. Bila tak ada kuliah atau kesibukan lain, Dinda membantuku. Dinda telah menemukan belahan hatinya, tahun depan akan menikah.
Hari mulai gelap. Ketika hendak keluar rumah melanjutkan membuka toko, langkahku terhenti. Tampak Dinda sedang memegang kertas sambil duduk di kursi di teras. Oh, kertas oranye itu—sajak itu! Mataku panas ketika melihat kepalanya terangkat, lalu mengembuskan napas begitu panjang.
Dinda menatap langit yang muram. Gerimis baru saja usai. Cakrawala berwarna ungu dan oranye. Bintang-bintang mulai tampak, dan kedinginan makin meninggi di pinggir kota ini. Dinda memasukkan kertas itu ke dalam dompetnya, lalu menantikan malam dan kekasihnya tiba.
Pacar Dinda datang, mereka pergi berkencan. Aku tak jadi membuka toko. Aku berdiam di kamar, membaca beberapa sajak lain yang pernah dibuat istriku. Aku mengenang kayuhan sepeda unta rentaku, kopi dan jahe, ubi goreng, nyanyian-nyanyian kecil Dinda saat ia masih kecil.
Malam kian gelap, kurasa sebentar lagi aku terlelap. (*)

Cerita untuk Ibu, yang berjuang tiga hari tiga malam ketika melahirkanku, 
dimuat di majalah Hidup edisi 3 Juni 2018