Pramoedya Ananta Toer rasanya perlu bangkit dari kubur. Perburuan dan Bumi Manusia, dua film yang diangkat dari novelnya, dibincang
banyak kalangan. Ada yang mengapresiasi, ada yang mengkritik habis-habisan.
Pada film Bumi Manusia, kritik malah
terlontar jauh sebelum film ditayangkan, saat Iqbaal Ramadhan dipilih sebagai
aktor. Para pembaca Bumi Manusia atau
tetralogi Pulau Buru, atau pemuja karya-karya Pramoedya Ananta Toer,
menebak-nebak juga meragukan, apakah aktor yang sedang dipuja dedek-dedek gemes yang melambung berkat
film Dilan itu bakal cocok berakting
sebagai Minke, salah satu tokoh fiktif legendaris.
Di situs web Change.org bahkan sampai muncul petisi penolakan.
Sebagian bunyi petisi itu: “Kami tidak ada rasa membenci atau tidak suka kepada
sosok Iqbaal. Kami menolak Iqbaal memerankan Minke karena kami tidak melihat
aura sosok Minke ada padanya. Iqbaal sudah menjadi sosok yang begitu pas untuk
menjadi Dilan, dan identitas itu sungguh melekat tak bisa dipisahkan.”
Begitulah, sebelum sebuah film beredar pun bahkan ada yang sudah
membuat patokan, bahwa aktor tertentu cocok untuk film tertentu, tidak untuk
film yang lain. Ini lahir karena, antara lain, imajinasi seseorang dapat
terkotak-kotak oleh adanya asumsi dan ekspektasi.
Apalagi bila kedua hal itu dihubungkan dengan nama besar:
Pramoedya Ananta Toer. Nama yang sudah menjadi legenda itu pun tampaknya
menjadi beban tambahan bagi para sineas yang mengadaptasi filmnya: filmnya
harus bagus, kualitasnya sedapat mungkin sejajar dengan bukunya, dan
sebagainya. Hal ini membuat saya bertanya-tanya, sekaligus sedikit
berandai-andai, bagaimana jika orang tidak tahu bahwa yang sedang difilmkan
adalah karya Pramoedya Ananta Toer? Mungkin dari kisah berikut kita bisa
memetik sesuatu.
Suatu ketika, koran Inggris Sunday
Times membuat percobaan, mengirimkan dua naskah pembuka novel yang
terkenal. Satu naskah ditulis V.S. Naipaul, pemenang Nobel Sastra, berjudul In a Free State; dan lainnya berjudul Holiday karya Stanley Middleton yang
memenangkan Booker Prize. Dua naskah pembuka itu dikirimkan kepada dua puluh
penerbit dan agen dengan nama palsu.
Alhasil, hampir semua penerbit dan agen menolaknya. Dengan kata
lain, para editor senior di penerbitan yang terbiasa dengan banjirnya naskah,
tidak mengenali naskah-naskah yang berkilau itu. Itu pun dapat menjadi
indikasi, bahwa nama besar ada yang dikenal dan dikenang sebagai nama besar
semata; tak semua orang melek dengan karya-karya yang dilahirkan oleh seorang
yang bernama besar.
Nama besar pun, sayangnya sering dijadikan semacam “jaminan mutu”.
Padahal kita membutuhkan kritik, sebesar apa pun nama seorang kreator. Prestasi
atau capaian baru dalam seni bisa dicetak karena adanya kritik. Para seniman
dan kreator memerlukan kritik—tak hanya sanjungan, endorsement, atau tepukan tangan—agar tidak berkubang dalam pujian
semu, yang dapat membawanya ke dalam krisis inovasi.
Namun patut disayangkan pula bila kritik yang dilontarkan terhadap
suatu karya hanya lahir dari ketidaksukaan semata, ketidakmampuan menilai
dengan jernih, atau terlalu dibayang-bayangi oleh kemahabesaran nama yang
berhubungan dengan suatu karya adaptasi.
Kritik dan selera
Kenikmatan terbesar membaca buku atau menonton film, saya kira dapat
muncul dari semacam “pencarian tak terencana”: pergi mencari suatu karya (bisa
film atau buku) tanpa tahu pendapat orang tentang karya itu; tanpa mengenal
siapa penulis, sutradara, atau aktornya; bahkan tanpa harapan besar untuk puas
atau senang setelah menikmatinya. Dan setelah tuntas membaca atau menontonnya,
ternyata karya itu bagus.
Namun, tak bisa dimungkiri, di era informasi seperti saat ini,
pembaca buku atau penonton film tampaknya tergerak menikmati suatu karya karena
terlebih dulu membaca suatu ulasan atau rekomendasi. Dalam taraf tertentu,
pendapat orang lain tak hanya mempengaruhi pendapat seseorang tentang suatu
karya, bahkan bisa membuat seseorang mengambil keputusan menikmati karya
tersebut atau tidak. Ada orang yang mungkin membatalkan menonton film hanya
karena skornya rendah di situs web IMDb, Rotten Tomatoes, atau Metacritic. Ulasan,
rekomendasi, juga kritik yang kita baca, mempengaruhi selera kita terhadap buku
maupun film.
Pada film Bumi Manusia,
kritik berdatangan dari berbagai kalangan. Holy Adib di Beritagar.id (24/8/2019), dengan jeli mengkritik soal penggunaan
bahasa yang tidak pas. Ia mengatakan ada beberapa kata yang dipakai dalam film
tersebut yang tidak sesuai dengan latar belakang zamannya: “Kata-kata tersebut,
antara lain, ‘anda’ dan ‘sih’,” tulisnya. Dua kata itu dianggapnya ganjil
karena cerita dalam film Bumi Manusia
terjadi pada 1898-1918 di Surabaya, pada masa Hindia Belanda.
Pada film Perburuan, kritik
pun juga bermunculan. Salah satu yang berawal dari pengamatan mendetail
ditayangkan di Tirto.id (18/8/2019), ditulis Fasial Irfani. Dia menulis, “Mana
ada tentara Jepang gondrong dan pakai boot
tinggi ala serdadu Eropa? Kok bisa Supriyadi digambarkan memelihara brewok
tipis sementara seluruh serdadu PETA (Pembela Tanah Air, penulis) diwajibkan
klimis?”
Itu dua contoh kritik yang patut diperbincangkan lebih jauh, bukan
hanya di kalangan penonton, tapi juga para sineas yang terlibat dalam produksi
kedua film itu. Selain dua kritik itu, yang jauh lebih banyak beredar adalah
kritik-kritik sempalan. Saya sebut sempalan karena tidak panjang—bisa
berupa kiriman di Twitter atau Facebook yang bernada mengkritik, tapi tidak
didukung dengan data dan bukti-bukti pendukung, membuatnya tampak tak
proporsional.
Dan sayangnya, kritik yang tak proporsional itulah yang lebih
kerap muncul. Internet dan media sosial menjadi riuh karenanya. Semua orang
merasa menjadi pakar dalam menilai seni, namun melontarkan beragam penilaian
tanpa didukung cukup bukti atau dasar. Tim Nichols dalam buku Matinya Kepakaran mengingatkan tentang
bahaya yang dapat ditimbulkan oleh internet dan media sosial: “... perpaduan
hiburan, berita, pembicara dan partisipasi warga adalah kekacauan yang tidak
banyak memberi informasi kepada kita, dan malah menciptakan ilusi, sehingga
orang merasa telah mendapatkan informasi” (halaman 173).
Seorang kritikus semestinya menguasai seperangkat teori, konsep,
atau metode dalam memberikan penilaian. Atau kalau tidak menguasai dasar-dasar
yang ilmiah, seseorang bisa mengkritik berdasarkan common sense (akal sehat). H.B. Jassin, yang dikenal sebagai Paus
Sastra Indonesia, sering melontarkan kritik-kritiknya berdasarkan common sense.
Seorang H.B. Jassin bisa mengandalkan common sense dalam kritik-kritiknya karena ia adalah seorang
dokumentator sekaligus redaktur sastra di beberapa majalah. Itu yang mengasah
nalurinya untuk mengenali karya sastra yang mengandung keunikan atau kebaruan.
Yang juga perlu dicermati selain dasar bagi kritik adalah status
kritikus. Seorang kritikus tidaklah harus (mantan) seorang kreator atau pembuat
karya. Kalaupun ia pernah membuat karya, seseorang tetap bisa menjadi kritikus
walaupun karya yang ia buat dinilai buruk oleh orang lain, atau tak sebagus
karya orang lain yang ia kritik. Jadi, tidak patut bila seorang kreator
bertanya kepada pengkritik karyanya, “Memang kamu sendiri sudah membuat karya
apa?”
Contohnya Roger Ebert. Ia memulai karier sebagai kritikus film di
harian Chicago Sun-Times pada 1967.
Di luar statusnya sebagai kritikus film, apakah Roger Ebert seorang sineas,
pernah terlibat dalam pembuatan film? Ya, ia pernah menjadi penulis naskah
beberapa film, satu yang sering disebut-sebut adalah Beyond the Valley of the Dolls (1970). Oleh banyak kalangan, film
itu dinilai buruk secara artistik, juga tidak sukses secara komersial. Namun,
walaupun memiliki catatan sebagai penulis skenario film yang buruk, Roger Ebert
adalah kritikus film yang ulasannya ditunggu-tunggu.
Demikianlah, kritik terhadap karya seni sebaiknya dipandang
sebagai upaya memberikan argumen berdasar kuat—baik secara ilmiah maupun common sense. Dan yang perlu
digarisbawahi, yang berhak mengkritik bukanlah yang lebih senior atau yang punya
karya lebih bagus, tapi yang mampu berpikir logis dan objektif dalam menunjukkan
kekurangan suatu karya. Karya apa pun membutuhkan kritik, walaupun kritik
sering lebih susah diterima karena identik dengan tanggapan negatif.
Sejauh ini, dari pantauan saya, Bumi Manusia mendapatkan mixed
review: ada yang sangat menyukainya, dan sebaliknya. Saya, lewat tulisan
ini tak hendak memberi penilaian, atau menegaskan apakah menyukainya atau
tidak. Bumi Manusia, Perburuan, dan film-film adaptasi
lainnya—entah apa lagi nantinya—akan hadir di bioskop-bioskop di Tanah Air.
Kita kerap tidak bisa menduga, kritik dan apresiasi seperti apa yang bakal
muncul. Reaksi atas suatu karya kadang begitu riuh karena penuh pertentangan. Begitu
riuh, sampai-sampai saya berharap dapat mendengar pendapat Pramoedya Ananta
Toer, seperti yang saya tulis di awal. (*)
Sidik Nugroho
Penulis, Pendidik, dan Penikmat Film
Keterangan: Gambar diambil dari idntimes.com
Penulis, Pendidik, dan Penikmat Film
Keterangan: Gambar diambil dari idntimes.com
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah membaca, apalagi sampai mau berkomentar. Semua komentar akan saya usahakan tanggapi balik.