Tuesday, August 27, 2019

Film Adaptasi dan Beban Nama Besar


Pramoedya Ananta Toer rasanya perlu bangkit dari kubur. Perburuan dan Bumi Manusia, dua film yang diangkat dari novelnya, dibincang banyak kalangan. Ada yang mengapresiasi, ada yang mengkritik habis-habisan. Pada film Bumi Manusia, kritik malah terlontar jauh sebelum film ditayangkan, saat Iqbaal Ramadhan dipilih sebagai aktor. Para pembaca Bumi Manusia atau tetralogi Pulau Buru, atau pemuja karya-karya Pramoedya Ananta Toer, menebak-nebak juga meragukan, apakah aktor yang sedang dipuja dedek-dedek gemes yang melambung berkat film Dilan itu bakal cocok berakting sebagai Minke, salah satu tokoh fiktif legendaris.

Di situs web Change.org bahkan sampai muncul petisi penolakan. Sebagian bunyi petisi itu: “Kami tidak ada rasa membenci atau tidak suka kepada sosok Iqbaal. Kami menolak Iqbaal memerankan Minke karena kami tidak melihat aura sosok Minke ada padanya. Iqbaal sudah menjadi sosok yang begitu pas untuk menjadi Dilan, dan identitas itu sungguh melekat tak bisa dipisahkan.”

Begitulah, sebelum sebuah film beredar pun bahkan ada yang sudah membuat patokan, bahwa aktor tertentu cocok untuk film tertentu, tidak untuk film yang lain. Ini lahir karena, antara lain, imajinasi seseorang dapat terkotak-kotak oleh adanya asumsi dan ekspektasi.

Apalagi bila kedua hal itu dihubungkan dengan nama besar: Pramoedya Ananta Toer. Nama yang sudah menjadi legenda itu pun tampaknya menjadi beban tambahan bagi para sineas yang mengadaptasi filmnya: filmnya harus bagus, kualitasnya sedapat mungkin sejajar dengan bukunya, dan sebagainya. Hal ini membuat saya bertanya-tanya, sekaligus sedikit berandai-andai, bagaimana jika orang tidak tahu bahwa yang sedang difilmkan adalah karya Pramoedya Ananta Toer? Mungkin dari kisah berikut kita bisa memetik sesuatu.

Suatu ketika, koran Inggris Sunday Times membuat percobaan, mengirimkan dua naskah pembuka novel yang terkenal. Satu naskah ditulis V.S. Naipaul, pemenang Nobel Sastra, berjudul In a Free State; dan lainnya berjudul Holiday karya Stanley Middleton yang memenangkan Booker Prize. Dua naskah pembuka itu dikirimkan kepada dua puluh penerbit dan agen dengan nama palsu.

Alhasil, hampir semua penerbit dan agen menolaknya. Dengan kata lain, para editor senior di penerbitan yang terbiasa dengan banjirnya naskah, tidak mengenali naskah-naskah yang berkilau itu. Itu pun dapat menjadi indikasi, bahwa nama besar ada yang dikenal dan dikenang sebagai nama besar semata; tak semua orang melek dengan karya-karya yang dilahirkan oleh seorang yang bernama besar.

Nama besar pun, sayangnya sering dijadikan semacam “jaminan mutu”. Padahal kita membutuhkan kritik, sebesar apa pun nama seorang kreator. Prestasi atau capaian baru dalam seni bisa dicetak karena adanya kritik. Para seniman dan kreator memerlukan kritik—tak hanya sanjungan, endorsement, atau tepukan tangan—agar tidak berkubang dalam pujian semu, yang dapat membawanya ke dalam krisis inovasi.

Namun patut disayangkan pula bila kritik yang dilontarkan terhadap suatu karya hanya lahir dari ketidaksukaan semata, ketidakmampuan menilai dengan jernih, atau terlalu dibayang-bayangi oleh kemahabesaran nama yang berhubungan dengan suatu karya adaptasi.

Kritik dan selera

Kenikmatan terbesar membaca buku atau menonton film, saya kira dapat muncul dari semacam “pencarian tak terencana”: pergi mencari suatu karya (bisa film atau buku) tanpa tahu pendapat orang tentang karya itu; tanpa mengenal siapa penulis, sutradara, atau aktornya; bahkan tanpa harapan besar untuk puas atau senang setelah menikmatinya. Dan setelah tuntas membaca atau menontonnya, ternyata karya itu bagus.

Namun, tak bisa dimungkiri, di era informasi seperti saat ini, pembaca buku atau penonton film tampaknya tergerak menikmati suatu karya karena terlebih dulu membaca suatu ulasan atau rekomendasi. Dalam taraf tertentu, pendapat orang lain tak hanya mempengaruhi pendapat seseorang tentang suatu karya, bahkan bisa membuat seseorang mengambil keputusan menikmati karya tersebut atau tidak. Ada orang yang mungkin membatalkan menonton film hanya karena skornya rendah di situs web IMDb, Rotten Tomatoes, atau Metacritic. Ulasan, rekomendasi, juga kritik yang kita baca, mempengaruhi selera kita terhadap buku maupun film.

Pada film Bumi Manusia, kritik berdatangan dari berbagai kalangan. Holy Adib di Beritagar.id (24/8/2019), dengan jeli mengkritik soal penggunaan bahasa yang tidak pas. Ia mengatakan ada beberapa kata yang dipakai dalam film tersebut yang tidak sesuai dengan latar belakang zamannya: “Kata-kata tersebut, antara lain, ‘anda’ dan ‘sih’,” tulisnya. Dua kata itu dianggapnya ganjil karena cerita dalam film Bumi Manusia terjadi pada 1898-1918 di Surabaya, pada masa Hindia Belanda.  

Pada film Perburuan, kritik pun juga bermunculan. Salah satu yang berawal dari pengamatan mendetail ditayangkan di Tirto.id (18/8/2019), ditulis Fasial Irfani. Dia menulis, “Mana ada tentara Jepang gondrong dan pakai boot tinggi ala serdadu Eropa? Kok bisa Supriyadi digambarkan memelihara brewok tipis sementara seluruh serdadu PETA (Pembela Tanah Air, penulis) diwajibkan klimis?”

Itu dua contoh kritik yang patut diperbincangkan lebih jauh, bukan hanya di kalangan penonton, tapi juga para sineas yang terlibat dalam produksi kedua film itu. Selain dua kritik itu, yang jauh lebih banyak beredar adalah kritik-kritik sempalan. Saya sebut sempalan karena tidak panjang—bisa berupa kiriman di Twitter atau Facebook yang bernada mengkritik, tapi tidak didukung dengan data dan bukti-bukti pendukung, membuatnya tampak tak proporsional.

Dan sayangnya, kritik yang tak proporsional itulah yang lebih kerap muncul. Internet dan media sosial menjadi riuh karenanya. Semua orang merasa menjadi pakar dalam menilai seni, namun melontarkan beragam penilaian tanpa didukung cukup bukti atau dasar. Tim Nichols dalam buku Matinya Kepakaran mengingatkan tentang bahaya yang dapat ditimbulkan oleh internet dan media sosial: “... perpaduan hiburan, berita, pembicara dan partisipasi warga adalah kekacauan yang tidak banyak memberi informasi kepada kita, dan malah menciptakan ilusi, sehingga orang merasa telah mendapatkan informasi” (halaman 173).

Seorang kritikus semestinya menguasai seperangkat teori, konsep, atau metode dalam memberikan penilaian. Atau kalau tidak menguasai dasar-dasar yang ilmiah, seseorang bisa mengkritik berdasarkan common sense (akal sehat). H.B. Jassin, yang dikenal sebagai Paus Sastra Indonesia, sering melontarkan kritik-kritiknya berdasarkan common sense.

Seorang H.B. Jassin bisa mengandalkan common sense dalam kritik-kritiknya karena ia adalah seorang dokumentator sekaligus redaktur sastra di beberapa majalah. Itu yang mengasah nalurinya untuk mengenali karya sastra yang mengandung keunikan atau kebaruan.

Yang juga perlu dicermati selain dasar bagi kritik adalah status kritikus. Seorang kritikus tidaklah harus (mantan) seorang kreator atau pembuat karya. Kalaupun ia pernah membuat karya, seseorang tetap bisa menjadi kritikus walaupun karya yang ia buat dinilai buruk oleh orang lain, atau tak sebagus karya orang lain yang ia kritik. Jadi, tidak patut bila seorang kreator bertanya kepada pengkritik karyanya, “Memang kamu sendiri sudah membuat karya apa?”

Contohnya Roger Ebert. Ia memulai karier sebagai kritikus film di harian Chicago Sun-Times pada 1967. Di luar statusnya sebagai kritikus film, apakah Roger Ebert seorang sineas, pernah terlibat dalam pembuatan film? Ya, ia pernah menjadi penulis naskah beberapa film, satu yang sering disebut-sebut adalah Beyond the Valley of the Dolls (1970). Oleh banyak kalangan, film itu dinilai buruk secara artistik, juga tidak sukses secara komersial. Namun, walaupun memiliki catatan sebagai penulis skenario film yang buruk, Roger Ebert adalah kritikus film yang ulasannya ditunggu-tunggu. 

Demikianlah, kritik terhadap karya seni sebaiknya dipandang sebagai upaya memberikan argumen berdasar kuat—baik secara ilmiah maupun common sense. Dan yang perlu digarisbawahi, yang berhak mengkritik bukanlah yang lebih senior atau yang punya karya lebih bagus, tapi yang mampu berpikir logis dan objektif dalam menunjukkan kekurangan suatu karya. Karya apa pun membutuhkan kritik, walaupun kritik sering lebih susah diterima karena identik dengan tanggapan negatif.

Sejauh ini, dari pantauan saya, Bumi Manusia mendapatkan mixed review: ada yang sangat menyukainya, dan sebaliknya. Saya, lewat tulisan ini tak hendak memberi penilaian, atau menegaskan apakah menyukainya atau tidak. Bumi Manusia, Perburuan, dan film-film adaptasi lainnya—entah apa lagi nantinya—akan hadir di bioskop-bioskop di Tanah Air. Kita kerap tidak bisa menduga, kritik dan apresiasi seperti apa yang bakal muncul. Reaksi atas suatu karya kadang begitu riuh karena penuh pertentangan. Begitu riuh, sampai-sampai saya berharap dapat mendengar pendapat Pramoedya Ananta Toer, seperti yang saya tulis di awal. (*)

Sidik Nugroho
Penulis, Pendidik, dan Penikmat Film

Keterangan: Gambar diambil dari idntimes.com

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah membaca, apalagi sampai mau berkomentar. Semua komentar akan saya usahakan tanggapi balik.