Tuesday, July 30, 2019

Mencintai Buku dari Keluarga

Tiap 23 April ada peringatan Hari Buku Sedunia. Kemudian, tanggal 17 Mei, ada peringatan Hari Buku Nasional. Belakangan, ada pula Gernas Baku (Gerakan Nasional Orangtua Membacakan Buku) yang marak diberitakan media. Gernas Baku yang berada di bawah koordinasi Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga ini bertujuan agar orangtua terbiasa membaca buku bersama anak. Lewat membaca bersama, diharapkan terjalin hubungan sosial-emosional yang lebih mendalam antara anak dan orangtua, serta menumbuhkan minat baca anak sejak dini.

Dirjen PAUD dan Dikmas, Harris Iskandar, di laman SahabatKeluarga (27 Juli 2019), menyatakan bahwa mendongeng atau membacakan buku pada anak-anak memiliki beberapa manfaat. Pertama, meningkatkan minat dan kebiasaan anak pada kegiatan membaca buku yang pada akhirnya memperluas wawasan dan pengetahuan anak. Kedua, menjalin kedekatan antara orangtua dan anak-anaknya. Ketiga, ada pendidikan karakter yang ditanamkan pada anak dengan mendengarkan pelajaran moral yang ada di buku itu.

Berbagai peringatan dan gerakan tentang buku di atas mestinya membuat kita merenung lagi, sudahkah kita mencintai buku? Atau, masih pentingkah kehadiran buku dalam kehidupan kita? Di beberapa berita yang tersiar beberapa bulan belakangan disebutkan, minat baca di negara ini sangat rendah. Beberapa komunitas tampaknya peduli dengan situasi itu, dan berusaha menyebarkan semangat membaca dan menulis.

Ada yang pergi ke desa-desa sambil membagi-bagi buku, ada yang menggelar perpustakaan temporer di taman-taman kota pada Minggu pagi, ada yang mengadakan seminar atau talkshow dengan mengundang penulis sebagai narasumber, dan ada juga yang menjadikan kegiatan membaca sekaligus menulis untuk mencetak writerpreneur di mana-mana.

Efektifkah berbagai kegiatan tersebut? Tentu masih perlu dipertanyakan, diuji, dan ditelusuri lebih jauh. Yang jelas, kita tidak bisa menghindari kenyataan bahwa kita sudah jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain.

Buah renungan dan pemikiran

Pada masa lalu buku bernilai tinggi. Sekarang, saat teknologi makin maju, dan orang bisa mencetak buku di mana-mana, buku menjadi terkesan tak seberharga dulu. Pada zaman dulu, buku dekat dengan ilmu, hasil renungan dan pemikiran yang mendalam.

Pada masa kini, di era media sosial dan internet, makin banyak pekerja kreatif dalam tulis-menulis bermunculan. Suatu keadaan yang menggairahkan, namun juga perlu ditanggapi lebih cerdas, wajar, dan berimbang. Beberapa editor di penerbitan mengeluh karena menangani banyaknya naskah buku yang terus berdatangan; dan sayangnya, banyak naskah digarap asal-asalan oleh penulisnya.

Itulah persoalan yang muncul dari orang-orang yang dulunya tidak terlatih membaca dengan cermat, tapi ingin membuat buku. Saat gerakan literasi digembar-gemborkan di mana-mana, orang berbondong-bondong menerbitkan buku, namun ada yang tak melalui proses kreatif yang memadai. Karya tulis ada yang dibuat dangkal, asal-asalan, karena penulisnya terburu-buru dalam berproses. Dan sayangnya, tak banyak pula pembaca yang membaca suatu karya dengan mendalam.

Mudji Sutrisno, seorang rohaniwan, pernah mengesalkan pembacaan karya-karya sastra Indonesia yang dilakukan secara dangkal--itu yang dinyatakan Damhuri Muhammad dalam Darah-Daging Sastra Indonesia (2010). Senada dengannya, editor senior Penerbit Mizan, Hernowo, menyatakan dalam Mengikat Makna (2001) bahwa "membaca seperti itu (membaca dengan penuh penghayatan, yang disebutnya dengan istilah deep reading) bagaikan bertafakur--berpikir hati-hati, sistematis, dan mendalam." Ia juga menambahkan, "Apabila seseorang melakukan deep reading dengan benar, dia pasti 'menghasilkan' sesuatu."

"Hasil" yang dimaksud Hernowo di atas cenderung dikaitkan dengan aktivitas menulis; bahwa mereka yang doyan membaca akan mempunyai banyak bahan untuk menulis. Hal itulah yang perlu diperhatikan orang-orang yang ingin menulis buku. Namun, menurut hemat saya, "hasil" itu bisa lebih bervariasi. Membaca dengan mendalam, sambil merenung, akan menolong seseorang untuk menjadi lebih bijaksana. Ya, hasilnya tak selalu berupa produk tulisan; tapi pemikiran yang tertata, analitis, atau reflektif. Sayangnya, kita tidak dibiasakan untuk membaca sambil merenung, bahkan di sekolah.

Dimulai dari keluarga

Tidak dibiasakannya kegiatan membaca di sekolah membuat generasi muda saat ini seperti mengalami "mata rantai yang putus" dalam memahami sekaligus mereaksi berbagai persoalan. Belum mengenal sastra, belum mengenal hakikat atau esensi sebuah teks, orang sudah terbiasa menggunakan gadget. Lewat gadget, yang identik dengan ketergesaan dan hiburan, banyakkah orang yang membaca secara mendalam? Tampaknya sedikit.

Karena itulah beberapa persoalan yang perlu dikaji mendalam, didialogkan, atau dihayati, jadi gagal ketika orang lebih terbiasa menggunakan gadget ketimbang membaca buku. Gadget dan media sosial sering memancing orang untuk reaktif ketimbang reflektif.

Kita mudah membagi berita yang belum tentu benar, juga dihasut dengan posting yang provokatif. Kita kurang merenung, menghayati, berpikir, sekaligus mencermati. Buku, dengan realitas demikian, tampaknya tetap menjadi penting bagi orang yang ingin memiliki perspektif yang luas dan tak mudah mau terbawa arus.

Saat ini, manakala buku dan sumber pengetahuan lainnya mudah diakses, berbagai pilihan pun terbentang di depan kita. Di keluarga, agar anak-anak kita tak mudah termakan isu-isu yang menyesatkan, gampang berprasangka buruk terhadap pihak lain, atau terjerumus dalam pergaulan yang membahayakan, salah satu upayanya adalah dengan mengajaknya membaca buku. Buku akan menolong anak-anak untuk kreatif, imajinatif, sekaligus berpikir kritis. Gernas Baku pun mestinya menjadi gerakan kesadaran, bahwa dunia imajinasi mengandung keindahan dan kebaikan bagi anak-anak.

Astrid Lindgren, penulis cerita anak yang karya-karyanya hingga kini masih terus dibaca, menulis buku pertamanya, Pippi Longstocking, sebagai hadiah untuk ulang tahun anaknya yang kesepuluh pada tahun 1944. Kantor berita Swedia, TT, menyatakan bahwa buku-buku Astrid Lindgren lebih sering dipinjam di perpustakaan dan digemari di Swedia dibandingkan dengan pesaing-pesaing baru seperti Harry Potter. Buku-buku karyanya dianggap menggambarkan sebuah dunia bermuatan hubungan kasih sayang dan semangat yang tinggi.

Astrid telah meninggal pada tanggal 28 Januari 2002, dalam usia 94 tahun. Tentang dunia kepenulisan yang dibangunnya, suatu ketika ia berujar, "Jika saya telah membuat seorang anak yang sedih menjadi gembira, setidaknya saya telah menyelesaikan sesuatu dalam hidup saya." Meminjam istilah bahasa Latin, sebuah kisah yang baik hendaknya dulce et utile--indah dan bermanfaat. Kadang kala kita kehilangan dan melupakan banyak kisah yang indah dan bermanfaat bagi kehidupan. Kehidupan yang berjalan cepat dan penuh gejolak kerap membuat kita mengabaikan hal-hal yang semestinya dihayati dan direnungkan lebih mendalam. Lewat bukulah perenungan itu bisa kita peroleh.

Sudah barang tentu, buku-buku yang dibuat untuk anak-anak semestinya tampil menarik agar anak-anak mencintainya. Anak-anak lebih kecil, misalnya, lebih suka buku bergambar, tidak hanya berisi teks. Selain itu, ajakan membaca pun perlu disertai keteladanan. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya--orangtua yang suka membaca buku akan lebih mudah menularkan semangat membaca buku kepada anak-anaknya.

Sudahkah kita membaca buku hari ini?

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah membaca, apalagi sampai mau berkomentar. Semua komentar akan saya usahakan tanggapi balik.