Tuesday, June 4, 2019

Mengajarkan Ideologi, Membentuk Jati Diri


Saat menyaksikan demonstrasi yang berujung pada kericuhan 22 Mei 2019 lalu, kita mungkin bertanya-tanya, apakah tujuan final dari demonstrasi itu? Sulit untuk meyakini bahwa para demonstran itu berjuang demi keadilan. Lalu, doktrin, ajaran, atau ideologi apa yang menggerakkan mereka? Pancasila? Tampaknya tidak mungkin.

Ideologi dapat muncul dari keyakinan bahwa yang diperjuangkan di dalamnya adalah yang terbaik, paling ideal, atau mampu menjawab semua persoalan dan memberikan solusi dalam masyarakat yang tengah “sakit” karena menganut ideologi lain. Tapi dalam pelaksanaannya, alih-alih berjuang bagi kepentingan rakyat, ideologi hanyalah ilusi. Ketika diterapkan, kemungkinannya untuk menimbulkan chaos dan perpecahan tidaklah kecil.

Ideologi pun dapat menyuburkan ilusi di sekelompok orang yang berpemikiran sama, bahwa masa depan yang bisa diraih sebuah bangsa atau komunitas akan lebih baik, adil, makmur, dan sebagainya. Padahal, ideologi dapat menjadi kepanjangan tangan nafsu segelintir orang untuk berkuasa, dibungkus rapi dalam berbagai ajaran tentang keadilan, kesejahteraan, atau kemakmuran.

Pemikiran tentang keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran pun sering dikaitkan dengan dengan agama. Orang dapat menjadi radikal dalam memahami dan menerapkan dogma agama, lalu memperlakukan orang lain yang berbeda agama dengan sikap intoleran karena dianggap tak sebanding atau sehaluan. Teuku Kemal Fasya (2016) mencatat bahwa di masyarakat, agama kerap menjadi pengetahuan sosial publik yang lebih besar pengaruhnya dibandingkan “rasionalitas pengetahuan” (vernunft) dan “naluri intelektual” (verstand)---dua istilah yang digunakan Immanuel Kant.

Sistem demokrasi yang selama ini sudah dan sedang berjalan pun dianggap tak menyejahterakan rakyat oleh para penyeru ideologi baru. Apalagi ketika sistem demokrasi terbukti berperan melahirkan pemimpin yang korup; selama berpuluh-puluh tahun pada masa Orde Baru kekayaan negara ini dinikmati para penguasa yang doyan melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Kebencian terhadap sistem demokrasi pun meluas ke ranah yang lebih luas, membuat para penganut ideologi anti-Pancasila sampai memiliki keyakinan revolusioner bahwa konstitusi perlu diganti. Bercita-cita mengganti sistem demokrasi, konstitusi, dasar negara, bahkan ideologi, itulah ciri organisasi masyarakat (ormas) atau paham radikal yang memperjuangkan perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara sampai ke akar-akarnya, yang lebih tepat disebut “radikal-intoleran”.

Pembubaran ormas berideologi anti-Pancasila yang beritanya santer dua tahun lalu bisa saja menuai tepukan tangan. Masyarakat senang, pemerintah pun dinilai berupaya menjaga kedaulatan bangsa.  Namun, karena yang dihadapi adalah ormas radikal-intoleran, yang notabene memperjuangkan perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara sampai ke akar-akarnya, pembubaran itu juga bisa memantik pertanyaan-pertanyaan lain yang berangkat dari realitas politik, kenegaraan, hukum, dan keadilan, misalnya: Akankah korupsi akan tetap merajalela? Akankah hukum akan kian adil ditegakkan? Dan seterusnya.

Membubarkan ormas radikal-intoleran dan anti-Pancasila adalah tindakan mencegah kerusakan dari luar, dan pemerintah perlu juga melakukan perbaikan dari dalam. Membenahi “bagian dalam” dapat dilakukan dengan memberi perhatian lebih besar bagi keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran. Pendidikan ideologi pun perlu menjadi prioritas. Dengan begitu nasionalisme mempunyai alasan untuk terus dipupuk dan berkembang. Pun, dengan begitu nalar demokrasi yang kuat dapat terpelihara: bahwa dengan ideologi Pancasila yang sudah ada, kesejahteraan sosial dan keadilan dapat terwujud.

Ideologi dan pendidikan

Kita khawatir akan kehadiran dan pergerakan ormas radikal-intoleran yang dapat menimbulkan disintegrasi bangsa. Namun, yang kadang diabaikan adalah sekularisme yang menjadi-jadi. Remaja dan pemuda sekarang tak sedikit yang makin menggilai budaya barat atau asing. Beberapa kali ditemukan siswa tak hafal lima sila dalam Pancasila. Padahal Pancasila memiliki sejarah panjang, lahir lewat proses yang menguras energi dan pemikiran bapak-bapak bangsa, disusun untuk menjadi dasar bagi tujuan negara yang ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945.

Gagasan atau gerakan untuk menggantikan Pancasila baik sebagai ideologi maupun dasar negara muncul beberapa kali dalam sejarah. Setelah Indonesia merdeka, antara tahun 1957-1959, ada pemikiran yang berkembang di Dewan Konstituante untuk merumuskan kembali dasar negara dan memilih alternatif selain Pancasila. Pancasila tetap tak tergoyahkan.

Muhidin M. Dahlan (2016) mengisahkan, suatu ketika, dalam sebuah seminar, Jenderal Try Sutrisno menerangkan hakikat Pancasila; bahwa Pancasila bukan sosialisme, apalagi komunisme; bahwa Pancasila bukan kapitalisme, dan seterusnya. Saat tiba giliran Gus Dur berbicara, ia menyeletuk, seperti menyimpulkan, bahwa Pancasila adalah ideologi yang “bukan-bukan”---tentu dengan maksud bercanda.

Walaupun diucapkan dengan nada bercanda, Gus Dur tampaknya hendak menegaskan, bahwa Pancasila adalah ideologi yang unik, khas milik Indonesia. Pancasila merupakan gabungan beberapa ideologi, darinya banyak pelajaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang bisa digali.

Namun sayang, pada zaman Orde Baru, Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang tampaknya dihelat juga demi menjabarkan keunikan ideologi itu, dilaksanakan dengan cara yang kaku, kurang menggugah. Kini, saat pengaruh budaya asing semakin kuat akibat globalisasi dan perkembangan teknologi informasi, perlu ada upaya untuk kembali mengajarkan Pancasila sebagai dasar negara karena di dalamnya ada nilai-nilai penting yang mencirikan jati diri bangsa.

Nilai-nilai Pancasila dapat ditanamkan lewat ilmu sejarah, dengan mengisahkan proses kelahiran dan perumusannya yang panjang. Atau lewat ilmu kenegaraan (PPKn), menggali nilai-nilai dalam Pancasila yang dapat dijadikan pandangan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat-saat ini, nilai-nilai Pancasila yang perlu digali adalah toleransi dan kebersamaan.

Sejak pilkada DKI Jakarta 2017 berlangsung---bahkan sejak pilpres 2014---hingga kini, bangsa kita terpecah ke dalam dua golongan yang kadang saling berseberangan pemikiran, dan tak jarang juga saling hujat. Perbedaan pandangan dan narasi di antara dua kubu dapat membawa bangsa kita selalu berada di persimpangan, tak kunjung melangkah bersama.

Di sinilah guru berperan penting, mengingatkan siswa-siswinya bahwa Indonesia itu satu, seperti sila ketiga Pancasila. Persatuan dan kesatuan tak bisa diraih kalau tidak ada toleransi yang mewujud dalam sikap tenggang rasa dan tepa selira. Guru dalam taraf pendidikan dasar dan menengah perlu men-transfer spirit Pancasila ke dalam diri siswa kalau tak rela melihat generasi muda bangsa ini makin radikal-intoleran, atau gandrung pada budaya kebarat-baratan.

Pada hari lahirnya Pancasila, semoga guru, sebagai salah satu ujung tombak kemajuan bangsa, dapat merenungi lagi sejarah panjang kelahiran dan eksistensi Pancasila, juga menggali lagi nilai-nilai Pancasila yang bisa menjadi solusi untuk permusuhan berkepanjangan. Semoga kemajemukan yang menjadi jati diri bangsa ini lestari dengan terus adanya toleransi; rakyat Indonesia (kembali) menghargai dan mengamalkan Pancasila, dasar negara yang lahir dari cita-cita luhur bapak-bapak bangsa. (*)

Dimuat di Media Indonesia


No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah membaca, apalagi sampai mau berkomentar. Semua komentar akan saya usahakan tanggapi balik.