Tuesday, April 24, 2018

Cerpen: Aphiemi*)

oleh Sidik Nugroho

TIDAK ada yang lebih indah selain Minggu pagi. Itulah yang Bayu rasakan, setidaknya dua bulan terakhir. Bersama Vita, putri kecilnya yang berumur dua tahun, Bayu selalu menyusuri pematang sawah yang berada tak jauh dari tempat tinggal mereka bila Minggu pagi tiba. Pada hari-hari lain, ia sibuk bekerja.

Pematang itu tingginya sekitar empat puluh sentimeter dari permukaan sawah yang terbentang di kanan dan kirinya, lebarnya sekitar dua puluh sentimeter. Beberapa Minggu terakhir, Vita tak ingin digandeng dari belakang ketika melintasinya. Ia berjalan pelan-pelan sambil merentangkan kedua tangannya, kadang-kadang berjingkat-jingkat.

Bayu selalu berada selangkah di belakangnya, mengawasinya. “Awas... hati-hati jatuh!” kata Bayu, kalau pijakan Vita sudah terlalu ke samping kiri atau kanan.

Setelah berjalan sekitar tiga puluh meter di pematang sawah, mereka akan sampai di sebuah kebun tak berpagar. Di kebun itu ada banyak pohon pepaya dan cabai. Bila sampai di situ, Vita selalu berseru dengan kata-kata yang masih belum begitu jelas, “Alo pepaya, aku atang agi... Alo cabe... apa kabaw?” Di situ Vita sering minta digendong agar ia bisa memegang buah-buah pepaya. 

Setelah menyapa buah-buah di kebun, Bayu dan Vita duduk di batu hitam besar dan datar, melihat ikan-ikan kecil yang ada di parit di samping sawah. Kadang-kadang ada bebek yang berenang di parit itu. Sambil duduk di situ, Bayu selalu mengajarinya mengenal warna. “Vita!” kata Bayu sambil menunjuk sawah, “apa warnanya?”

“Ijau!”

“Kalau ini?” tanya Bayu sambil menepuk batu yang mereka duduki.

“Itam!”

“Kalau itu, di atas sana?” tanya Bayu sambil menunjuk langit.

“Biyu!”

Setelah belajar warna, mereka pun kembali ke rumah. Sebelum pulang, biasanya Vita menyapa semua yang ia lihat, berpamitan. Vita sangat gembira bila melihat kupu-kupu. “Dadah bebek, aku puyang duyu!” Di mata Vita, kupu-kupu, burung, bebek, cabai, pepaya, atau sawah akan mendengarkannya, memberi izin kepadanya, atau menantikan kembali kedatangannya—semuanya ia pamiti.

***

PAGI itu, setelah Bayu dan Vita menyusuri pematang sawah, Nindy, istri Bayu, mengeluh, “Mas, hari ini aku nggak ikut ke gereja. Kepalaku pusing dari tadi subuh.”

“Oh, ya udah kalau gitu. Aku sama Vita aja ke gereja. Sekarang,” kata Bayu sambil melihat jam dinding, “aku mandi dulu. Masih setengah jam lagi. Masih cukup.”

“Nanti kalau dia rewel gimana?” tanya Nindy.

“Biasanya dia bobok kalau jam sepuluh, kan? Paling juga nanti di sana dia bobok.”

Setelah Bayu mandi, dan Vita dimandikan Nindy, mereka berdua pun siap ke gereja. Ibadah akan dimulai jam sembilan. “Vita, mama nggak ikut ke gereja,” kata Nindy. “Mama di rumah aja. Vita nanti nggak boleh ribut, ya? Kalau ngantuk, bobok.”

Vita mengangguk, tersenyum lebar. Tapi Bayu tidak yakin sepenuhnya, Vita memahami pesan ibunya. Dia hanya berharap, gadis itu tidak rewel kalau mulai mengantuk. “Moga-moga suara musik di gereja menenangkannya,” kata Bayu saat meninggalkan Nindy.

***

SETENGAH jam berlalu di gereja, Vita mengikuti ibadah dengan khidmat. Ia sering bertanya kalau mendengarkan suara musik, “Apa itu, Pa?”, atau “Papa nyanyi apa?”. Bayu berkali-kali menempelkan telunjuk di bibir sambil mendesis, “Ssst...,” agar putrinya tenang. Kalau Bayu duduk, ia duduk di samping Bayu; kalau Bayu berdiri, ia berdiri di kursi panjang dari papan.

Saat pastor menyampaikan khotbah, mata Vita mulai sayu. Bayu mengeluarkan botol susu yang Nindy bawakan dari tas kecil, lalu menggendong gadis kecil itu. “Mimik, ya? Habis itu bobok,” bisik Bayu sambil memasukkan ujung botol susu ke mulut Vita.

Mulut Vita bergerak-gerak, matanya makin lama makin sipit.

“Pengampunan adalah bagian dari iman. Tak mungkin orang bisa mengampuni bila ia tak beriman kepada Tuhan—Tuhan tak kelihatan, pengampunan sulit dinalar. Adakah dendam di hatimu? Ampuni. Adakah kepahitan dalam jiwamu? Lepaskan.”

Mata Vita terpejam seiring kata-kata pastor itu. Hingga khotbah berakhir, Vita masih terlelap. Dan tak lama setelah khotbah selesai...

“BYAR!!! PRANG!!! DUARRR!!!”

Beberapa bom molotov dilemparkan ke dalam gereja dari luar. Kaca jendela pecah, kursi terbakar, orang-orang berteriak-teriak di segala penjuru. Ada sebuah bom yang menghantam dinding gereja dekat Bayu duduk di kursi belakang. Pecahan botol bom dan api yang menjalar dari bensin di dalamnya mengenai punggung dan kaki Vita yang sedang terlelap dalam dekapan Bayu.

Vita pun terbangun, menangis sejadi-jadinya. Baju bergambar Hello Kitty yang Vita kenakan terbakar di bagian punggungnya, dan kakinya melepuh.

***

VITA dirawat tiga hari di rumah sakit. Selain Vita, ada tiga anak dan dua orang dewasa yang menjadi korban serangan tak terduga pagi itu. Hingga Vita keluar dari rumah sakit, kabar seputar motif pelaku pengeboman masih simpang siur. Saat pastor yang berkhotbah Minggu itu mendatangi Bayu, Nindy, dan Vita pada hari kedua Vita dirawat di rumah sakit, ia tersenyum lebar. “Adik manis akan segera sembuh. Siapa namamu?”

“Vita, Pastor.” Nindy yang menjawab.

“Vita...,” katanya sambil memejam sejenak. “Hidup, kehidupan. Semoga jiwamu terus hidup tanpa dendam, Nak.” Sebelum berlalu ia menyentuh dahi Vita dengan jempolnya, lalu membuat tanda salib.

“Kenapa dia, Pa?” tanya Vita, setelah pastor itu berlalu, lalu memegangi dahinya.

Bayu tak menjawab, memandangi Nindy dan Vita bergantian.

***

“ALO cabe... apa kabaw?” kata Vita begitu sampai di kebun di seberang sawah itu. Ia sampai di sana digendong Bayu. Perban menutupi punggung dan kakinya, ia masih tertatih-tatih kalau berjalan. Pelaku pengeboman masih terus diselidiki, ada dugaan melakukannya karena salah menafsirkan ajaran agama. Sambil memandang Vita, Bayu merenung, anak-anak tak membutuhkan agama untuk bergembira, mereka memerlukan imajinasi. Apakah orang dewasa hanya membutuhkan agama untuk bergembira, sehingga mereka lupa berimajinasi?

Di batu hitam tempat duduk langganan mereka, Bayu menunjuk makhluk hidup yang terbang ke arah mereka, lalu berseru, “Vita, ada kupu-kupu!”

“Alo kupu-kupuuu!” Vita berseru, matanya berbinar-binar.

Mata Vita terus mengamati kupu-kupu itu sampai lenyap dari pandangannya. Dari pematang sawah, dua manusia itu pun pulang ke rumah. (*)   
           
Cerita untuk Intan Olivia Marbun, dimuat di Majalah Hidup, 8 April 2018.

Catatan:
*) Aphiemi: kata dalam bahasa Yunani yang di dalam Alkitab yang diterjemahkan sebagai "mengampuni"; kata ini juga berarti "membiarkan pergi", "melepaskan", "meninggalkan", atau "menghapuskan".

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah membaca, apalagi sampai mau berkomentar. Semua komentar akan saya usahakan tanggapi balik.