Tuesday, January 9, 2018

Sensor Mandiri, Kekerasan Remaja, dan Pendampingan Orangtua

TAHUN lalu, kasus-kasus kekerasan yang terjadi di kalangan remaja sungguh memprihatinkan. Kita mungkin masing ingat, pada 31 Maret, Krisna Wahyu Nurachmad (15 tahun), siswa SMA Taruna Nusantara, Magelang, ditemukan tewas di barak sekolahnya. Mundur ke belakang: Ahmad Andika Baskara (19 tahun), siswa jurusan Teknik Mesin kelas IX SMK Bunda Kandung tewas dalam tawuran di flyover Pasar Rebo, Jakarta, pada 14 Februari. Kemudian, pada 11 Maret, Edi Gilang Febriyanto (17 tahun) dari SMK Abdi Karya juga tewas pada tawuran di Pondok Gede, Bekasi.

Menjelang akhir September 2017, kekerasan remaja juga kembali menyita perhatian publik. Hilarius Christian Event Raharjo, siswa SMA Budi Mulia Bogor korban ‘Gladiator’ (duel satu lawan satu) yang meninggal 29 Januari 2016 lalu, makamnya dibongkar dan jenazahnya diautopsi untuk mengetahui penyebab kematiannya secara pasti. Pembongkaran makam dan autopsi dilakukan setelah ibu korban, Maria Agnes, menulis di media sosial tentang ketidakadilan yang ia rasakan.

Belum lagi kasus grup Facebook yang beberapa anggotanya adalah pengidap pedofilia yang mencari mangsa di grup tersebut. Juga, yang tak kalah memprihatinkan, beberapa kali beredar video di Internet, beberapa remaja—bahkan ada juga yang masih anak SD—yang memukuli temannya beramai-ramai. Yang dipukuli tak melawan walaupun menjadi sasaran kekerasan. Berbagai kasus kekerasan remaja itu pun mengundang tanya, apakah film atau tayangan di televisi turut mengambil peran? 

Sensor dan Rating

DALAM Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film (LSF) disebutkan bahwa sensor film merupakan penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada khalayak umum. Hal-hal yang disensor dalam sebuah film diatur dalam Pasal 29 yang membahas Pedoman Penyensoran dan dijabarkan lebih jelas di Pasal 30 tentang Kriteria Penyensoran.

Kata “penelitian” menjadi menarik dalam definisi itu. Sebuah film yang lulus sensor ternyata diteliti dulu. Setelah dinyatakan lulus sensor, film itu pun diberi rating atau penggolongan usia penonton, seperti yang disebutkan di Pasal 32. Ada empat golongan usia atau umur yang ditentukan, yaitu: film untuk penonton semua umur, berumur 13 tahun atau lebih, berumur 17 tahun atau lebih, dan berumur 21 tahun atau lebih. Pasal 33 hingga 37 menyebutkan berbagai syarat dan tolok ukur agar suatu film layak ditonton oleh golongan usia tertentu seperti yang diterakan di Pasal 32.

Bila dicermati, pasal dan ayat-ayat di atas—yang bisa dikatakan menjadi rambu-rambu bagi penyensoran dan rating—memuat agak banyak kata “tidak”, terutama di Pasal 33 yang mengatur film untuk ditonton semua umur dan Pasal 34 yang mengatur film untuk penonton berumur 13 tahun atau lebih. Beberapa di antaranya: “tidak mempertontonkan adegan kekerasan” dalam Pasal 33 huruf (d), “tidak mengandung adegan visual horor dan sadis” dalam Pasal 33 huruf (h), atau “tidak menampilkan adegan yang peka ditiru oleh usia peralihan dari anak-anak ke remaja” dalam Pasal 34 huruf (c). 

Kalimat yang diawali dengan kata-kata “tidak mempertontonkan”, “tidak mengandung”, atau “tidak menampilkan” dapat menjadi indikasi, bahwa peraturan tersebut dibuat untuk melindungi anak dan remaja selaku penonton. Ini tentunya disadari oleh keyakinan dan pengetahuan bersama, bahwa anak dan remaja adalah golongan usia yang rentan meniru apa yang ia tonton, entah itu baik atau buruk. 

Kekerasan Remaja

TIDAK mudah menyimpulkan dan memastikan, bahwa kekerasan yang dilakukan dan terjadi di kalangan remaja juga dipengaruhi film yang ditonton. Perlu ada kajian atau survei lebih mendalam tentang hal itu. Dan di Indonesia, selain film, tayangan yang mendapat tempat di masyarakat adalah sinetron. 

Dalam perkembangannya, sinetron beberapa kali mendapat rapor merah. Pada 2013-2014, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membuat pernyataan tentang sepuluh judul sinetron yang tidak layak tonton karena dianggap tidak mendidik, serta berpotensi memberikan pengaruh perilaku kekerasan terhadap anak. 

Komisioner KPI sebelum menyampaikan pernyataan itu menerima pengaduan cukup banyak, dari sekitar 1600 orang. Tidak sedikit orang yang jadi pesimistis dan waswas terhadap sinetron. Kita mungkin akrab dengan meme yang beredar luas, berisi gambar guru dan artis sinetron; di meme itu tertulis bahwa guru dibayar murah membentuk moral anak bangsa, sementara artis sinetron dibayar mahal merusaknya.

Walaupun demikian, ada suara lain yang menganggap bahwa sinetron berperan penting dalam industri film bila menengoknya secara historis. Totot Indrarto dalam catatan pembukaan di buku Katalog Film Indonesia 2008-2015 yang diterbitkan Pusat Pengembangan Perfilman, Kemdikbud, menyatakan, “Kita boleh saja mencaci sinetron, tapi dari situlah sesungguhnya tumbuh etos kerja dan embrio industri dalam memproduksi film.” Ia juga membandingkan pertumbuhan itu dengan Srimulat, kelompok komedi yang bertahan selama puluhan tahun dan tidak pernah kehabisan kreativitas karena dipaksa memproduksi lawakan. 

Pendampingan Orangtua 


INDUSTRI film yang bertumbuh pesat pun melahirkan tantangan baru. Kreativitas dan ekspresi yang hendak diwujudkan para sineas tentu juga makin beragam, selain perlu diawasi. Pemerintah—dalam hal ini LSF—telah menetapkan rumusan kerja penyensoran seperti yang tadi dibahas dalam peraturan di muka. Tantangan itu pun mendatangi pihak lain, yaitu orangtua, untuk melakukan sensor mandiri.

Walaupun LSF sudah menyensor dan merilis rating tiap film yang beredar, anak dan remaja tak serta-merta suka atau selalu mau menonton film yang sesuai golongan usia mereka. Rating pun bisa menjadi sangat lentur ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa anak dan remaja zaman sekarang akrab dengan gawai yang menjadi medium penyalur beragam jenis tontonan. Jadi, jelaslah di sini, orangtua memainkan peran terpenting dalam soal seleksi dan konsumsi film bagi keluarga. 

Berbagai kasus kekerasan terhadap anak dan remaja yang dipaparkan di awal dapat dicegah dari dalam keluarga. Untuk menghindarkan anak dan remaja menonton tayangan yang bukan untuk mereka, kepedulian orangtua tak bisa ditawar. Salah satu bentuk kepedulian itu adalah dengan mendampingi anak menonton. 

Orangtua yang memilihkan film dan tontonan yang menginspirasi dan bermanfaat untuk anak-anaknya akan membuat mereka jadi lebih menghargai kehidupan. Orangtua pun, misalnya, perlu memahami jenis-jenis rating, sesekali mendiskusikan film yang ditonton bersama anak, atau mencaritahu apa yang diserap dan dipahami anak dari sebuah film. 

Bila orangtua mau berkomunikasi dengan anak tentang film yang patut baginya, anak bisa memiliki pemahaman tentang moral dan pergaulan sosial. Dan yang tak kalah menarik adalah perbincangan yang lebih luas tentang film itu sendiri. Film menawarkan refleksi dan hiburan; dunia film adalah dunia imajinasi, penciptaan, dan pengetahuan. Membincang film dengan anak—bahkan dengan siapa pun—berarti membincang gagasan-gagasan tentang kreativitas dan imajinasi dalam kehidupan manusia. 


No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah membaca, apalagi sampai mau berkomentar. Semua komentar akan saya usahakan tanggapi balik.