Tuesday, October 10, 2017

Teror dan Ketakutan dari Sejarah Kelam

Ibu (Ayu Laksmi), mantan penyanyi, meninggal setelah bertarung cukup lama dengan penyakitnya. Saat sekarat, wajahnya begitu pucat, sudah seperti mayat. Sebelum meninggal ia dirawat, membunyikan lonceng kecil bila perlu bantuan. Di awal film, di tujuh menit pertama, ketakutan sudah disuguhkan. Ibu yang berwajah seperti mayat menatap langit-langit dengan tatapan aneh. Ia bahkan meninggal sambil membuka mata dan mulut.

Namun, hingga Ibu dimakamkan, Rini si anak tertua yang ganti menjadi ‘Ibu’ untuk adik-adiknya awalnya tampak tak menduga, keluarganya bakal mengalami kunjungan makhluk halus yang mirip arwah Ibu. Ketika bertemu dengan ustadz di kampungnya, Ayah (Bront Palarae) juga mengatakan bahwa mereka tak pernah menunaikan salat. Setelah Ibu meninggal dan dimakamkan, hal-hal ganjil mulai mendatangi Rini (Tara Basro) dan adik-adiknya, yaitu Tony (Endy Arfian), Bondi (Nasar Annuz), dan Ian (M. Adhiyat).

Rini mulai merasakan ada yang tak beres ketika neneknya jatuh ke dalam sumur dan meninggal. Rini mengantarkan surat yang ditulis neneknya untuk seorang kawannya yang menjadi penulis di majalah Maya. Dari kawan Nenek itu ia tahu, ada misteri yang tertimbun di keluarganya. Pria tua yang menulis di majalah Maya itu—mirip majalah Misteri—mengatakan bahwa ibunya dulu menjadi anggota sekte pengabdi setan.

Sampai di situ, penonton pun digiring memahami sejarah kelam keluarga Rini, diselingi berbagai penampakan dan teror yang mengejutkan di dalam dan sekitar rumah. Penampakan dan teror yang ada di film ini kebanyakan mirip dengan film-film bergenre serupa. Bayangan setan di cermin, kemunculan hantu dari sumur, kursi atau kursi roda yang bergerak sendiri, juga ruangan yang remang atau gelap sebelum hantu muncul adalah beberapa hal—atau katakanlah pola—yang sering muncul dalam film-film horor. Dan, pola itu makin komplit dengan latar rumah yang berada di desa, jauh dari keramaian—bahkan di dekat kuburan!

Film Pengabdi Setan yang digarap Joko Anwar ini merupakan remake dari film berjudul sama yang dirilis tahun 1980. Film ini tetap mengambil latar suasana kehidupan tahun 1980-an. Latar rumah, properti, juga kostum yang dikenakan pemain juga identik dengan yang digunakan masyarakat pada masa itu. Bagi penonton yang mengalami masa kecil dan remaja pada 1980-an, film ini juga menawarkan nostalgia yang menyenangkan, yaitu mendengarkan sandiwara radio. Di film, ada beberapa adegan ketika Tony (Endy Arfian) mendengarkan sandiwara radio pada malam hari. Radio itu menjadi biang ketakutan: menyala sendiri, berganti saluran sendiri, atau mengeluarkan suara Ibu yang sudah tiada.

Para aktor dan aktris bermain sangat luwes, dialog-dialognya pun efektif. Pengungkapan sejarah kelam keluarga—tentang Ibu yang menjadi pengabdi setan—disampaikan perlahan. Dialog di antara para pemain dalam keluarga Rini juga diselingi banyak humor di sana-sini—hal yang agak kurang lazim dalam film horor sebenarnya, namun jadi selingan yang menghibur karena waktunya pas, yaitu pada saat-saat keluarga saling bercengkerama.

Selain Tara Basro yang menjadi Rini, akting M. Adhiyat yang menjadi Ian pun mencuri perhatian. Ian sulit bicara, berwajah lucu karena sering tersenyum, dan sering berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat dengan anggota-anggota keluarga yang lain. Bahasa isyarat yang dilakukan tiap anggota keluarga kepada Ian awalnya juga menjadi biang kelucuan, lewatnya anggota-anggota keluarga kadang bercanda dengan Ian. (Supaya penonton paham, kata-kata yang dimaksudkan bahasa isyarat disajikan dalam bentuk teks.)

Namun, pada suatu malam, saat salah satu anggota keluarga mengalami semacam kerasukan setan, ia berkata kepada Ian dengan bahasa isyarat: “Aku ingin kamu mati.” Yang awalnya lucu jadi berubah menegakkan bulu kuduk! Adegan menyuguhkan teror lewat bahasa isyarat itu bagi saya sungguh sebuah ide brilian, kejutan tak terduga.

Film ini juga menyuguhkan, katakanlah, pandangan baru, bahwa ustadz juga bisa diserang setan dan mengalami nasib yang malang. Hal ini yang tampaknya jarang ditampilkan di film-film horor Indonesia lama, di mana ustadz selalu tampil sebagai sosok ‘sakti’ yang mengalahkan kekuatan setan. Kemalangan yang menimpa ustadz dalam film mengingatkan saya pada sosok pastur yang malang dalam film Exorcist (1973).

Di tangan Joko Anwar, Pengabdi Setan menjadi sebuah hiburan menegangkan yang tergarap optimal. Pemilihan pendukung nuansa film—selain properti dan kostum—seperti lagu dan musik latar pun dilakukan secara cermat. Dan yang menyenangkan, Pengabdi Setan tak terlalu banyak memberi ceramah untuk berubah menjadi pengabdi Tuhan yang saleh nan setia. Pengabdi Setan adalah kisah manusia-manusia yang malang, yang nyaris tak tahu arah untuk berdamai dengan masa lalu yang kelam—masa lalu yang tak pernah mereka hidupi dan kenali. (*)

Judul: Pengabdi Setan
Sutradara: Joko Anwar
Penulis: Joko Anwar
Pemain: Tara Basro, Bront Palarae, Endy Arfian, Nasar Annuz, M. Adhiyat, Ayu Laksmi
Rilis: 28 September 2017

Sidik Nugroho, penikmat film, situsnya di sidiknugroho.com

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah membaca, apalagi sampai mau berkomentar. Semua komentar akan saya usahakan tanggapi balik.