Ibu (Ayu Laksmi), mantan penyanyi,
meninggal setelah bertarung cukup lama dengan penyakitnya. Saat sekarat,
wajahnya begitu pucat, sudah seperti mayat. Sebelum meninggal ia dirawat,
membunyikan lonceng kecil bila perlu bantuan. Di awal film, di tujuh menit
pertama, ketakutan sudah disuguhkan. Ibu yang berwajah seperti mayat menatap
langit-langit dengan tatapan aneh. Ia bahkan meninggal sambil membuka mata dan
mulut.
Namun, hingga Ibu dimakamkan, Rini si
anak tertua yang ganti menjadi ‘Ibu’ untuk adik-adiknya awalnya tampak tak
menduga, keluarganya bakal mengalami kunjungan makhluk halus yang mirip arwah
Ibu. Ketika bertemu dengan ustadz di kampungnya, Ayah (Bront Palarae) juga
mengatakan bahwa mereka tak pernah menunaikan salat. Setelah Ibu meninggal dan
dimakamkan, hal-hal ganjil mulai mendatangi Rini (Tara Basro) dan adik-adiknya,
yaitu Tony (Endy Arfian), Bondi (Nasar Annuz), dan Ian (M. Adhiyat).
Rini mulai merasakan ada yang tak beres
ketika neneknya jatuh ke dalam sumur dan meninggal. Rini mengantarkan surat
yang ditulis neneknya untuk seorang kawannya yang menjadi penulis di majalah Maya. Dari kawan Nenek itu ia tahu, ada
misteri yang tertimbun di keluarganya. Pria tua yang menulis di majalah Maya itu—mirip majalah Misteri—mengatakan bahwa ibunya dulu
menjadi anggota sekte pengabdi setan.
Sampai di situ, penonton pun digiring memahami
sejarah kelam keluarga Rini, diselingi berbagai penampakan dan teror yang
mengejutkan di dalam dan sekitar rumah. Penampakan dan teror yang ada di film
ini kebanyakan mirip dengan film-film bergenre serupa. Bayangan setan di
cermin, kemunculan hantu dari sumur, kursi atau kursi roda yang bergerak
sendiri, juga ruangan yang remang atau gelap sebelum hantu muncul adalah
beberapa hal—atau katakanlah pola—yang sering muncul dalam film-film horor.
Dan, pola itu makin komplit dengan latar rumah yang berada di desa, jauh dari
keramaian—bahkan di dekat kuburan!
Film Pengabdi Setan yang
digarap Joko Anwar ini merupakan remake dari
film berjudul sama yang dirilis tahun 1980. Film ini tetap mengambil latar
suasana kehidupan tahun 1980-an. Latar rumah, properti, juga kostum yang
dikenakan pemain juga identik dengan yang digunakan masyarakat pada masa itu. Bagi
penonton yang mengalami masa kecil dan remaja pada 1980-an, film ini juga
menawarkan nostalgia yang menyenangkan, yaitu mendengarkan sandiwara radio. Di film,
ada beberapa adegan ketika Tony (Endy Arfian) mendengarkan sandiwara radio pada
malam hari. Radio itu menjadi biang ketakutan: menyala sendiri, berganti
saluran sendiri, atau mengeluarkan suara Ibu yang sudah tiada.
Para aktor dan aktris bermain sangat luwes,
dialog-dialognya pun efektif. Pengungkapan sejarah kelam keluarga—tentang Ibu
yang menjadi pengabdi setan—disampaikan perlahan. Dialog di antara para pemain
dalam keluarga Rini juga diselingi banyak humor di sana-sini—hal yang agak
kurang lazim dalam film horor sebenarnya, namun jadi selingan yang menghibur
karena waktunya pas, yaitu pada saat-saat keluarga saling bercengkerama.
Selain Tara Basro yang menjadi Rini,
akting M. Adhiyat yang menjadi Ian pun mencuri perhatian. Ian sulit bicara,
berwajah lucu karena sering tersenyum, dan sering berkomunikasi menggunakan
bahasa isyarat dengan anggota-anggota keluarga yang lain. Bahasa isyarat yang
dilakukan tiap anggota keluarga kepada Ian awalnya juga menjadi biang kelucuan,
lewatnya anggota-anggota keluarga kadang bercanda dengan Ian. (Supaya penonton
paham, kata-kata yang dimaksudkan bahasa isyarat disajikan dalam bentuk teks.)
Namun, pada suatu malam, saat salah
satu anggota keluarga mengalami semacam kerasukan setan, ia berkata kepada Ian
dengan bahasa isyarat: “Aku ingin kamu mati.” Yang awalnya lucu jadi berubah
menegakkan bulu kuduk! Adegan menyuguhkan teror lewat bahasa isyarat itu bagi
saya sungguh sebuah ide brilian, kejutan tak terduga.
Film ini juga menyuguhkan, katakanlah,
pandangan baru, bahwa ustadz juga bisa diserang setan dan mengalami nasib yang
malang. Hal ini yang tampaknya jarang ditampilkan di film-film horor Indonesia lama,
di mana ustadz selalu tampil sebagai sosok ‘sakti’ yang mengalahkan kekuatan
setan. Kemalangan yang menimpa ustadz dalam film mengingatkan saya pada sosok
pastur yang malang dalam film Exorcist
(1973).
Di tangan Joko Anwar, Pengabdi Setan menjadi sebuah hiburan
menegangkan yang tergarap optimal. Pemilihan pendukung nuansa film—selain
properti dan kostum—seperti lagu dan musik latar pun dilakukan secara cermat.
Dan yang menyenangkan, Pengabdi Setan
tak terlalu banyak memberi ceramah untuk berubah menjadi pengabdi Tuhan yang
saleh nan setia. Pengabdi Setan
adalah kisah manusia-manusia yang malang, yang nyaris tak tahu arah untuk berdamai
dengan masa lalu yang kelam—masa lalu yang tak pernah mereka hidupi dan kenali.
(*)
Judul: Pengabdi Setan
Sutradara: Joko Anwar
Penulis: Joko Anwar
Pemain: Tara Basro, Bront Palarae, Endy Arfian, Nasar Annuz, M. Adhiyat, Ayu Laksmi
Sutradara: Joko Anwar
Penulis: Joko Anwar
Pemain: Tara Basro, Bront Palarae, Endy Arfian, Nasar Annuz, M. Adhiyat, Ayu Laksmi
Rilis: 28 September 2017
Sidik Nugroho, penikmat film, situsnya
di sidiknugroho.com
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah membaca, apalagi sampai mau berkomentar. Semua komentar akan saya usahakan tanggapi balik.