Cerpen Sidik Nugroho
langit adalah kesukaan ibu, anakku
karena warna langit berganti, tak abadi
ibu ingin berbisik kepada langit, putriku
untuk menaungimu, selalu, sampai nanti
SEPERTI
biasa, sore itu aku dan anak gadisku berkeliling dengan sepeda unta yang
seumuran denganku. Ia selalu senang bila kuajak melintasi jalan-jalan di
perumahan yang kami tinggali di pinggir Kota Malang, menghirup udara sore.
Selalu saja kami melihat beberapa tetangga yang berleha-leha di depan rumah
mereka menanti datangnya malam. Mereka suka tersenyum dan bertegur sapa.
“Pak,
sore ini cerah sekali, ya! Nggak seperti kemarin!” katanya riang dari
belakangku ketika kubonceng.
“Ya,
sangat cerah. Lihatlah, langit di atasmu, bintang-bintang mulai kelihatan!”
kataku sambil memandang ke atas, mengamati beberapa awan tipis yang
berarak pelan.
Aku
merasakan gerakan di belakangku. Kuyakin ia tengah mendongakkan kepalanya. Dinda,
putri kecilku, selalu saja menghiburku. Ia suka mengajakku bicara tentang apa
saja, termasuk tentang langit. Ia juga suka bernyanyi-nyanyi kecil. Setelah
seharian bekerja sebagai tukang bangunan, Dindalah yang menghiburku.
Ketika
langit makin gelap, kami mampir ke sebuah warung tenda. Di sana dijual bermacam-macam
gorengan, kopi, teh, dan jahe. Dinda suka minum jahe, aku suka minum kopi. Kami
berdua menyukai gorengan yang sama: ubi goreng.
Malam
itu, Dinda bertanya lagi tentang ibunya. Sebelumnya Dinda hanya tahu kalau ia
telah meninggal. Berkali-kali ia menanyakan sebabnya. Aku enggan
menceritakannya, lebih menyukai untuk menyimpan semua ingatan tentang istriku
di benakku.
Sampai
malam itu, aku merasa desahan napas istriku seolah-olah masih dekat, sedekat
pakaian yang kukenakan. Tak terhitung sudah berapa kali ia datang di mimpiku. Dari
mimpi yang menggambarkan asmara kami di padang berbunga-bunga indah, hingga
mimpi tentang perjalanan kami ketika mendaki sebuah gunung—ia terpeleset,
hendak masuk jurang, dan aku menyelamatkannya.
Sejak
ia tiada, aku suka menyendiri bila tak bersama Dinda atau kalau Dinda sudah
tidur. Aku tahu diri, dengan penghidupan yang pas-pasan, lebih baik menahan
hasrat menikah lagi.
“Pak,
Ibu meninggal gara-gara apa?” tanya Dinda, menyentak lamunanku.
Oh,
betapa ingin segera kukisahkan! Tapi aku takut Dinda masih belum bisa paham.
Namun, saat kutatap matanya, ia tampak siap mendengarkanku. Ia—rasanya bahkan
siap walau kisah ibunya tertutur pilu.
“Hm...
makan saja ubi gorengmu, Nak. Habiskan,” kataku mengalihkan perhatiannya.
Ia
melahap ubi gorengnya, meminum jahenya. Aku menimbang-nimbang lagi, bercerita
atau tidak tentang ibunya. Takut, bila kisahku menyedihkan hatinya. Dan, ada
ganjalan lain yang kadang menggangguku: bila aku jujur, yang itu berarti membuka
aibku sendiri, apakah ia akan membenciku? Namun ia makin besar, umurnya sudah sepuluh
tahun. Mau tak mau memang ia harus tahu apa yang terjadi pada ibunya.
“Pak,
ceritakanlah tentang Ibu,” ulangnya setelah menghabiskan jahe.
Aku
menghela napas panjang. Kutatap matanya dan kukatakan, “Ya... nanti, setelah kita
pulang ke rumah, bapak cerita.”
Dinda
mengangguk dan tersenyum. Senyumnya persis ibunya.
“PR-mu
sudah selesai, Nak?” tanyaku ketika kami memasuki pekarangan rumah.
“Sudah,
Pak. Sekarang tinggal menyiapkan buku-buku untuk besok.”
“Siapkanlah.
Setelah itu, buatkan bapak teh hangat, nanti bapak akan cerita.”
“Baik,
Pak!” Ia terlihat bersemangat.
Aku
masih ragu, mengisahkannya atau tidak. Beberapa saat kemudian, Dinda
menghampiriku di kursi panjang yang ada di teras depan rumah kami, membawa
secangkir teh hangat. Ia duduk di sampingku. Sambil menatap angkasa yang kelam,
kukenang ibunya.
“Ibumu
orang yang tak banyak bicara,” kataku membuka pembicaraan. Dinda menarik napas
panjang. “Tapi dia pernah bilang, dulu, kalau sudah punya anak, akan lebih suka
dipanggil Bunda, atau Ibunda, sama seperti ia memanggil ibunya.”
“Mm,
Ibunda... bagus, Pak!” seru Dinda.
“Ibumu
orang yang menyadarkan bapak tentang kasih sayang. Dia... sebuah mukjizat.”
“Mukjizat?
Apa itu, Pak?” tanya Dinda keheranan menatapku.
“Mukjizat
artinya... sesuatu yang mengherankan, ajaib, tidak terduga, ya... semacam
itulah,” jelasku, agak kesulitan menemukan kata-kata yang lebih pas.
Dinda
mengangguk-angguk, tapi tatapannya menyiratkan kebingungan.
“Begini,
Dinda,” kataku sambil mengatur napas. “Bapak dulu bukan orang baik. Bapakmu ini
pencuri alias maling setelah dipecat dari perusahaan bapak. Bapak putus asa,
hidup tanpa harapan. Namun, karena ibumu, bapak berubah. Bapak kadang heran
dengan perubahan itu.”
Dinda
mengangguk-angguk. “Berubah bagaimana, Pak?”
“Saat
kamu di kandungan Ibu, bapak tidak punya uang membayar kontrakan rumah. Di
tengah desakan itu, bapak hampir ketahuan mencuri sepeda motor. Ketika ibumu
mengetahui hal itu, dia...,” aku berhenti sejenak, “melakukan sesuatu yang
tidak pernah bapak lupakan.”
Aku
menyeruput teh buatan Dinda.
“Sambil
menyeka keringat di dahi bapak setelah gagal mencuri, dia membawa sebuah kotak.
Dibukanya kotak itu, ditunjukkannya kepada bapak sebuah kalung emas. Ibumu
berkata, itulah harta terakhir yang dia miliki. Kalung itu adalah
pemberian ibunya, nenekmu, yang disimpannya untuk berjaga-jaga kalau di
kelahiranmu nanti dia butuh uang untuk operasi atau lainnya.”
“Lalu?”
tanya Dinda.
“Ibumu
malah menyuruh bapak menjual kalung itu untuk membayar kontrakan. Dari situlah
bapak mulai berubah, Nak.” Leherku agak memanas. Aku seperti tak kuat untuk
melanjutkan kisah itu. Lalu kisah itu sedikit kualihkan.
“Ibumu
suka mengarang sajak sederhana, Dinda. Banyak yang bapak simpan, tapi ada satu
yang selalu bapak bawa ke mana-mana.” Aku mengambil dari dompetku sebuah kertas
kecil berwarna oranye yang kulaminating, kuberikan kepada Dinda.
Dinda
membacanya sambil mengerutkan dahi. “Aku masih belum paham sajak ini, Pak. Aku
cuma bisa menangkap, intinya... Ibu menyukai langit.”
“Simpanlah
itu. Suatu saat kau akan bisa lebih memahaminya.”
Dinda
mengangguk-angguk. Beberapa saat kemudian matanya ia sipitkan. Ia juga
tersenyum tipis sebelum berkata, “Bapak kan juga suka melihat langit! Kita kan
suka jalan-jalan kalau sore sampai malam!”
Dinda
membaca lagi kertas oranye itu, lalu meletakkannya di meja. “Nah, lalu, kenapa
Ibu sekarang nggak ada, Pak?” tanyanya.
Oh,
tiba juga bagian itu, bagian tersulit untuk dikisahkan!
“Waktu
Ibu melahirkan kamu... dia sangat kesakitan. Dia mengeluarkan banyak darah. Waktu
lahir badanmu berat, Nak, hampir empat kilogram. Dokter mengatakan Ibu
sebaiknya operasi, tapi...,” aku berhenti sesaat.
“Uang...
sudah nggak ada, Pak?” tanya Dinda polos, walau matanya tampak memerah.
Aku
mengangguk lemas beberapa kali. “Kemudian, empat hari setelah kamu lahir... Ibu
pergi, tidak pernah kembali....”
Mata
Dinda berkaca-kaca. Aku menepuk pundaknya. “Jangan sedih, Dinda. Itulah kejadian
yang sebenarnya,” kataku pelan, menenangkannya.
Malam
makin kelam, kami beberapa saat terdiam.
“Oh
iya, sajak empat baris itu dibuat ibumu sehari sebelum dia meninggal. Waktu itu
ibumu juga kebetulan memang dirawat di rumah sakit yang dari jendelanya tampak
matahari terbenam. Ia membuat sajak ini buatmu. Karena itu, simpan baik-baik.”
Dinda
menatapku keheranan. Bibirnya terbuka dan matanya terbelalak. Namun matanya menyipit
perlahan. Ia tersenyum tipis ketika meraih kertas itu dan membaca sekali lagi
sajak empat baris di kertas oranye itu. Dinda memejam beberapa detik, meresapi
kisahku.
DUA
belas tahun berlalu. Dinda mewarisi segala yang ada pada ibunya—senyumnya,
wajahnya, pun caranya berbicara. Ia hampir menyelesaikan kuliahnya. Sejak tiga
tahun lalu aku menjadi pemilik sekaligus penjaga warung kelontong kecil yang
kubuka di depan rumahku. Bila tak ada kuliah atau kesibukan lain, Dinda
membantuku. Dinda telah menemukan belahan hatinya, tahun depan akan menikah.
Hari
mulai gelap. Ketika hendak keluar rumah melanjutkan membuka toko, langkahku
terhenti. Tampak Dinda sedang memegang kertas sambil duduk di kursi di teras.
Oh, kertas oranye itu—sajak itu! Mataku panas ketika melihat kepalanya
terangkat, lalu mengembuskan napas begitu panjang.
Dinda
menatap langit yang muram. Gerimis baru saja usai. Cakrawala berwarna ungu dan
oranye. Bintang-bintang mulai tampak, dan kedinginan makin meninggi di pinggir
kota ini. Dinda memasukkan kertas itu ke dalam dompetnya, lalu menantikan malam
dan kekasihnya tiba.
Pacar
Dinda datang, mereka pergi berkencan. Aku tak jadi membuka toko. Aku berdiam di
kamar, membaca beberapa sajak lain yang pernah dibuat istriku. Aku mengenang
kayuhan sepeda unta rentaku, kopi dan jahe, ubi goreng, nyanyian-nyanyian kecil
Dinda saat ia masih kecil.
Malam
kian gelap, kurasa sebentar lagi aku terlelap. (*)
Cerita untuk Ibu, yang berjuang tiga hari tiga malam ketika
melahirkanku,
dimuat di majalah Hidup edisi 3 Juni 2018
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah membaca, apalagi sampai mau berkomentar. Semua komentar akan saya usahakan tanggapi balik.