AKHIR 2006, seorang penulis yang
mengikuti lomba menulis novel yang diadakan sebuah lembaga di Jakarta merenungi
nasib di kantor pos sambil minum es teh. Ia kalah, merasa perjuangan menulisnya
sia-sia. Sebelum tahun itu—mulai 2003—ia berkarya, membuat beberapa puisi dan
cerpen. Ia mengirimkan karya-karyanya dari kantor pos, tapi banyak yang ditolak
redaktur koran dan majalah. Hanya empat puisi dimuat sebuah koran dan beberapa
cerpen dimuat majalah-majalah remaja.
Selang beberapa waktu setelah kekalahan
itu, penulis itu kembali berkarya, menulis cerpen, artikel, juga novel. Ia
mulai agak jarang ke kantor pos karena beberapa koran, majalah, dan penerbit menerima
kiriman naskah lewat surel. Ia juga menunggu-nunggu pemuatan karyanya, hampir
tiap Minggu pagi ke lapak koran dekat rumahnya, kemudian (melakukan seperti
yang dicatat Maman S. Mahayana, atau Pak Maman): “berpura-pura membacai berita
politik dan olahraga sambil berdebar-debar berharap namanya muncul” di koran yang
ia kirimi naskah.
Sampai sekarang penulis itu masih
berkarya. Ia menulis beberapa buku, dan sesekali menulis di media cetak dan online. Setelah membaca catatan Pak
Maman, penulis itu tergerak menulis tanggapan yang anda baca sekarang.
Ada dua kesan yang bagi saya tampak
dominan dalam catatan Pak Maman. Pertama, anggapan Pak Maman bahwa koran adalah
media yang lebih tinggi kedudukannya daripada Facebook (FB) atau media sosial
lainnya dalam menahbiskan seseorang menjadi sastrawan tidak realistis dan
menunjukkan sikap kurang terbuka terhadap perubahan zaman. Kedua, Pak Maman
memberikan tudingan negatif terhadap sastra(wan) FB atau media sosial lainnya
tanpa disertai cukup bukti. Supaya kesan tak menjadi sekadar kesan, berikut
uraian yang saya harapkan memadai untuk menjadi refleksi bersama, atau mungkin
perbincangan lebih lanjut.
Posisi
Koran
Menurut Pak Maman, pemuatan karya di
koran membuat “masyarakat perlahan-lahan dapat melabeli seseorang—yang
secara konsisten dan berkelanjutan—sebagai penyair, cerpenis, atau kritikus”. Ini
sepenuhnya benar, kalau ditulis dan disiarkan ke publik sepuluh tahun lalu. Manakala
minat masyarakat terhadap koran semakin menurun dari hari ke hari, anggapan itu
kini jadi tampak meragukan.
Memang, dengan proses kurasi-seleksinya,
koran dan majalah menjadi media yang menguji “keseriusan berkarya dan kesabaran
(pengarang) menunggu”, walaupun tidak semua koran melakukan proses yang ketat.
Koran yang tidak menyediakan honor bagi penulis sastra, misalnya, sangat
mungkin dikirimi lebih sedikit naskah.
Proses kurasi-seleksi yang sangat
longgar pada koran-koran tak berhonor tentu membuat masyarakat tidak terlalu
berharap mendapat suguhan karya bermutu. Dengan demikian, posisi koran—yang masih
melaksanakan proses kurasi-seleksi dengan ketat—masih penting, terutama bagi penulis
yang menggantungkan hidup lewat publikasi karya di media cetak. Semua penulis
tampaknya mengamini: semakin prestisius sebuah media cetak, semakin besar honor
yang disediakan.
Namun, sudah menjadi rahasia umum,
menulis di beberapa koran juga menguras energi dan emosi. Koran yang prestisius
jumlahnya makin sedikit. Banyak koran yang tidak atau lalai membayar honor
penulis, juga tidak memberitahukan sebelum atau sesudah karya penulis dimuat
sehingga beberapa kali terjadi pemuatan ganda. Kondisi seperti itu tentu
membuat FB bisa lebih diminati, atau paling tidak menjadi alternatif.
“Tak dapat
dimungkiri, hadirnya media sosial telah memberi kemungkinan lain bagi
perkembangan sejumlah bidang ilmu, termasuk sastra,” catat Pak Maman. Namun,
dari beberapa pernyataannya yang lain, ia tampak memungkiri bahwa FB dan media
sosial lain bisa menjadi media alternatif publikasi sastra. Pak Maman, dengan
semua nama yang disebutkannya, masih tenggelam dalam kejayaan sastra masa lalu.
Tudingan
Negatif
Agak disayangkan, Pak Maman menyebut
banyak nama sastrawan dan redaktur yang baginya sudah membuat dan melahirkan
karya berkualitas, namun tak menyebut satu nama pun yang ia tuding membuat
karya “instan, ahistori, narsistik, tanpa seleksi, tanpa kritik (yang baik)”.
Sebagai seorang kritikus, yang juga memiliki akun FB (masih aktifkah
digunakan?), anggapan ini terburu-buru dan kurang berdasar. Dengan menyebut
satu atau beberapa nama atau karya yang bisa mewakili tudingannya, tentu akan
jauh lebih baik. Mengapa lebih memilih memuji nama-nama yang disebut, padahal
mereka yang disebut semuanya bukan “Generasi Facebook” seperti judul catatan?
Pak Maman juga mengatakan, karya-karya
di FB “ada juga yang potensial dan bergizi”, tapi mendahului dengan “sisanya”. Kata
‘sisa’ tampaknya mewakili sikapnya yang pesimis terhadap sastra(wan) FB.
Alih-alih memberikan contoh karya sastra FB yang patut dikritik, atau
‘sisa’-nya yang layak diapresiasi, Pak Maman di bagian akhir malah menyarankan
agar pengguna FB “bersikap santun; tak asal jeplak dengan mengeluarkan kosakata
kebun binatang atau isi toilet.”
Sebagai alternatif koran, FB dan media
sosial lainnya justru memungkinkan lebih banyak eksplorasi atas berbagai hal
yang terjadi di masyarakat, termasuk sastra. Adanya diskusi tentang karya
sastra—juga dunia atau ilmu sastra—di FB malah bisa mengajak publik meninjau
kembali, mendiskusikan, atau mempertanyakan berbagai hal, termasuk sastra(wan)
yang oleh sebagian kalangan dianggap lebih “mapan”, berkelas lebih tinggi, atau
selama beberapa waktu dijadikan panutan, misalnya. Atau, perlukah ada pemilihan
terhadap 33, 44, atau 55 sastrawan yang paling mumpuni karyanya, atau kiprahnya
paling fantastis? Atau, terkontaminasikah penghargaan dan festival-festival
sastra yang dihelat di tanah air dari kecenderungan pertemanan atau politik
sastra?
Tudingan-tudingan Pak Maman mungkin bisa
menjadi tidak negatif bila Pak Maman juga memberi batasan pada hal-hal yang
sedang dibahas. Misalnya, celotehan tidak bisa disejajarkan dengan karya. Di
FB, di mana orang (lebih) bebas mengeluarkan apa saja, tentu perlu ada pemilahan:
mana karya, mana bukan. Menganggap celotehan sebagai karya, atau
sebaliknya—tanpa identifikasi-klasifikasi yang jelas—membuat catatan Pak Maman
lebih terkesan retoris, diakhiri dengan ujaran mirip motivator, dan tak
menawarkan wacana yang menggugah. Itu!
*)
Novelis, pengguna media sosial, dan pembaca sastra koran
(Catatan ini adalah tanggapan atas
Catatan Kebudayaan “Sastra(wan) Generasi Facebook” yang ditulis Maman S.
Mahayana, dimuat Kompas, Sabtu, 22
April 2017. Saya kirimkan 24 April 2017. Kompas
tidak memuat tulisan ini, mengembalikannya 8 Juni 2017.)
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah membaca, apalagi sampai mau berkomentar. Semua komentar akan saya usahakan tanggapi balik.