Tuesday, June 20, 2017

Sastra(wan) dan Perubahan Zaman

Sidik Nugroho*)

AKHIR 2006, seorang penulis yang mengikuti lomba menulis novel yang diadakan sebuah lembaga di Jakarta merenungi nasib di kantor pos sambil minum es teh. Ia kalah, merasa perjuangan menulisnya sia-sia. Sebelum tahun itu—mulai 2003—ia berkarya, membuat beberapa puisi dan cerpen. Ia mengirimkan karya-karyanya dari kantor pos, tapi banyak yang ditolak redaktur koran dan majalah. Hanya empat puisi dimuat sebuah koran dan beberapa cerpen dimuat majalah-majalah remaja.

Selang beberapa waktu setelah kekalahan itu, penulis itu kembali berkarya, menulis cerpen, artikel, juga novel. Ia mulai agak jarang ke kantor pos karena beberapa koran, majalah, dan penerbit menerima kiriman naskah lewat surel. Ia juga menunggu-nunggu pemuatan karyanya, hampir tiap Minggu pagi ke lapak koran dekat rumahnya, kemudian (melakukan seperti yang dicatat Maman S. Mahayana, atau Pak Maman): “berpura-pura membacai berita politik dan olahraga sambil berdebar-debar berharap namanya muncul” di koran yang ia kirimi naskah.

Sampai sekarang penulis itu masih berkarya. Ia menulis beberapa buku, dan sesekali menulis di media cetak dan online. Setelah membaca catatan Pak Maman, penulis itu tergerak menulis tanggapan yang anda baca sekarang.

Ada dua kesan yang bagi saya tampak dominan dalam catatan Pak Maman. Pertama, anggapan Pak Maman bahwa koran adalah media yang lebih tinggi kedudukannya daripada Facebook (FB) atau media sosial lainnya dalam menahbiskan seseorang menjadi sastrawan tidak realistis dan menunjukkan sikap kurang terbuka terhadap perubahan zaman. Kedua, Pak Maman memberikan tudingan negatif terhadap sastra(wan) FB atau media sosial lainnya tanpa disertai cukup bukti. Supaya kesan tak menjadi sekadar kesan, berikut uraian yang saya harapkan memadai untuk menjadi refleksi bersama, atau mungkin perbincangan lebih lanjut.

Posisi Koran

Menurut Pak Maman, pemuatan karya di koran membuat “masyarakat perlahan-lahan dapat melabeli seseorang—yang secara konsisten dan berkelanjutan—sebagai penyair, cerpenis, atau kritikus”. Ini sepenuhnya benar, kalau ditulis dan disiarkan ke publik sepuluh tahun lalu. Manakala minat masyarakat terhadap koran semakin menurun dari hari ke hari, anggapan itu kini jadi tampak meragukan.

Memang, dengan proses kurasi-seleksinya, koran dan majalah menjadi media yang menguji “keseriusan berkarya dan kesabaran (pengarang) menunggu”, walaupun tidak semua koran melakukan proses yang ketat. Koran yang tidak menyediakan honor bagi penulis sastra, misalnya, sangat mungkin dikirimi lebih sedikit naskah.

Proses kurasi-seleksi yang sangat longgar pada koran-koran tak berhonor tentu membuat masyarakat tidak terlalu berharap mendapat suguhan karya bermutu. Dengan demikian, posisi koran—yang masih melaksanakan proses kurasi-seleksi dengan ketat—masih penting, terutama bagi penulis yang menggantungkan hidup lewat publikasi karya di media cetak. Semua penulis tampaknya mengamini: semakin prestisius sebuah media cetak, semakin besar honor yang disediakan.

Namun, sudah menjadi rahasia umum, menulis di beberapa koran juga menguras energi dan emosi. Koran yang prestisius jumlahnya makin sedikit. Banyak koran yang tidak atau lalai membayar honor penulis, juga tidak memberitahukan sebelum atau sesudah karya penulis dimuat sehingga beberapa kali terjadi pemuatan ganda. Kondisi seperti itu tentu membuat FB bisa lebih diminati, atau paling tidak menjadi alternatif.

“Tak dapat dimungkiri, hadirnya media sosial telah memberi kemungkinan lain bagi perkembangan sejumlah bidang ilmu, termasuk sastra,” catat Pak Maman. Namun, dari beberapa pernyataannya yang lain, ia tampak memungkiri bahwa FB dan media sosial lain bisa menjadi media alternatif publikasi sastra. Pak Maman, dengan semua nama yang disebutkannya, masih tenggelam dalam kejayaan sastra masa lalu.

Tudingan Negatif

Agak disayangkan, Pak Maman menyebut banyak nama sastrawan dan redaktur yang baginya sudah membuat dan melahirkan karya berkualitas, namun tak menyebut satu nama pun yang ia tuding membuat karya “instan, ahistori, narsistik, tanpa seleksi, tanpa kritik (yang baik)”. Sebagai seorang kritikus, yang juga memiliki akun FB (masih aktifkah digunakan?), anggapan ini terburu-buru dan kurang berdasar. Dengan menyebut satu atau beberapa nama atau karya yang bisa mewakili tudingannya, tentu akan jauh lebih baik. Mengapa lebih memilih memuji nama-nama yang disebut, padahal mereka yang disebut semuanya bukan “Generasi Facebook” seperti judul catatan?

Pak Maman juga mengatakan, karya-karya di FB “ada juga yang potensial dan bergizi”, tapi mendahului dengan “sisanya”. Kata ‘sisa’ tampaknya mewakili sikapnya yang pesimis terhadap sastra(wan) FB. Alih-alih memberikan contoh karya sastra FB yang patut dikritik, atau ‘sisa’-nya yang layak diapresiasi, Pak Maman di bagian akhir malah menyarankan agar pengguna FB “bersikap santun; tak asal jeplak dengan mengeluarkan kosakata kebun binatang atau isi toilet.”

Sebagai alternatif koran, FB dan media sosial lainnya justru memungkinkan lebih banyak eksplorasi atas berbagai hal yang terjadi di masyarakat, termasuk sastra. Adanya diskusi tentang karya sastra—juga dunia atau ilmu sastra—di FB malah bisa mengajak publik meninjau kembali, mendiskusikan, atau mempertanyakan berbagai hal, termasuk sastra(wan) yang oleh sebagian kalangan dianggap lebih “mapan”, berkelas lebih tinggi, atau selama beberapa waktu dijadikan panutan, misalnya. Atau, perlukah ada pemilihan terhadap 33, 44, atau 55 sastrawan yang paling mumpuni karyanya, atau kiprahnya paling fantastis? Atau, terkontaminasikah penghargaan dan festival-festival sastra yang dihelat di tanah air dari kecenderungan pertemanan atau politik sastra?

Tudingan-tudingan Pak Maman mungkin bisa menjadi tidak negatif bila Pak Maman juga memberi batasan pada hal-hal yang sedang dibahas. Misalnya, celotehan tidak bisa disejajarkan dengan karya. Di FB, di mana orang (lebih) bebas mengeluarkan apa saja, tentu perlu ada pemilahan: mana karya, mana bukan. Menganggap celotehan sebagai karya, atau sebaliknya—tanpa identifikasi-klasifikasi yang jelas—membuat catatan Pak Maman lebih terkesan retoris, diakhiri dengan ujaran mirip motivator, dan tak menawarkan wacana yang menggugah. Itu!

*) Novelis, pengguna media sosial, dan pembaca sastra koran

(Catatan ini adalah tanggapan atas Catatan Kebudayaan “Sastra(wan) Generasi Facebook” yang ditulis Maman S. Mahayana, dimuat Kompas, Sabtu, 22 April 2017. Saya kirimkan 24 April 2017. Kompas tidak memuat tulisan ini, mengembalikannya 8 Juni 2017.)

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah membaca, apalagi sampai mau berkomentar. Semua komentar akan saya usahakan tanggapi balik.