Pada bulan Maret 2013 saya menemukan buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” yang ditulis oleh Cindy Adams di Perpustakaan SMA Santu Petrus, Pontianak. Ada beberapa hal menarik yang saya temukan di buku ini. Beberapa hal itu akan saya bagikan di sini, untuk mengenang kembali Soekarno, bapak republik Indonesia yang kita cintai.
***
1. Kolonialisme, Pidato Pertama Soekarno, dan Ijazah
“Dan begitulah, sekalipun aku harus mempersembahkan seluruh hidupku untuk menghancurkan kekuasaan kolonial, rupanya aku harus berterima kasih pula kepada mereka atas pendidikan yang kuterima.”
1. Kolonialisme, Pidato Pertama Soekarno, dan Ijazah
“Dan begitulah, sekalipun aku harus mempersembahkan seluruh hidupku untuk menghancurkan kekuasaan kolonial, rupanya aku harus berterima kasih pula kepada mereka atas pendidikan yang kuterima.”
~ “Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, halaman 94
Tak lama setelah Soekarno bertemu dengan Marhaen, seorang
petani miskin di Bandung, pemikiran-pemikirannya tentang sosialisme mulai
menjadi suatu konsep yang nantinya muncul dalam pidato-pidatonya. Ia sering
menyebut rakyat kecil sebagai Marhaen: sosok yang miskin, hidup sederhana, tapi
memiliki sebidang tanah kecil yang digarapnya dengan upaya sendiri untuk
menafkahi keluarga. Marhaen adalah sosok yang mewakili rakyat Indonesia secara
luas: rakyat yang sedang ditindas oleh keserakahan kolonialisme; rakyat yang
berdikari; rakyat yang bila menemukan kesulitan hidup dapat menemukan solusinya
lewat gotong-royong, saling membantu dengan sesamanya.
Pada tahun 1922, di Bandung diadakan rapat rakasa, Radicale
Concentratie. Saat itu Soekarno menjadi mahasiswa di Sekolah Teknik Tinggi di
Bandung. Di rapat ini orang-orang dari berbagai partai dan organisasi
kebangsaan berkumpul bersama, memprotes berbagai persoalan yang terjadi. Namun,
dalam pengamatan Soekarno: “Mereka semua membicarakan omong kosong. Seperti
biasa mereka meminta-minta. Mereka tidak menuntut” (halaman 89).
Soekarno pun tampil beda dengan semangat yang menyala-nyala.
Inilah kali pertama ia berpidato hingga di kemudian hari ia dikenal sebagai
Singa Podium. Berpidato dengan berapi-api sudah terbentuk sekian lama dalam
angan-angan dan impiannya. Ketika kesempatan itu tiba, ia pun menyampaikan
pidato yang membakar semangat para pendengarnya. Ia menghimbau agar orang-orang
yang berkumpul di sana tidak melakukan “politik berlutut”, mengemis lewat
petisi kepada pemerintah kolonial untuk mendirikan sekolah.
“Kalau Belanda tetap menutup mulut kita dan kita tidak
diperbolehkan untuk mencari jalan keluar bagi perasaan- perasaan kita yang
sudah penuh, maka saudara-saudara, nyonya-nyonya dan tuan-tuan, suatu saat akan
terjadi pula ledakan dengan kita. Dan manakala perasaan kita meletus, Den Haag akan
terbang ke udara. Dengan ini saya menantang Pemerintah Kolonial yang membendung
perasaan kita,” katanya (halaman 90).
Pidato yang berapi-api ini membuat Soekarno segera dikenal,
namun harus berurusan dengan hukum. Presiden (disebut juga di buku ini sebagai
Rektor Magnificus) dari Sekolah Teknik Tinggi di Bandung, Prof. Ir. G. Klopper
M.E., memanggil Soekarno dan memberikan peringatan agar ia tak banyak berurusan
dengan dunia politik, berkonsentrasi pada studi teknik yang ditempuhnya. Saat
dipanggil, Soekarno berjanji untuk tidak berpidato lagi di hadapan rakyat
banyak.
Saat diwisuda dan menerima ijazah, profesor itu menyatakan
sesuatu yang tak akan dilupakan Soekarno seumur hidupnya: “Ir. Sukarno, ijazah
ini dapat robek dan hancur menjadi abu di satu saat. Ia tidak kekal. Ingatlah,
bahwa satu-satunya kekuatan yang bisa hidup terus dan kekal adalah karakter
dari seseorang. Ia akan tetap hidup dalam hati rakyat, sekalipun sesudah mati”
(halaman 95).
2. Utari, Inggit, dan Fatmawati
“Inggit dalam masa selanjutnya dari hidupku ini sangat baik kepadaku. Dia adalah ilhamku. Dialah pendorongku. Dengan Inggit berada di sampingku aku melangkah maju memenuhi amanat menuju cita-cita.”
2. Utari, Inggit, dan Fatmawati
“Inggit dalam masa selanjutnya dari hidupku ini sangat baik kepadaku. Dia adalah ilhamku. Dialah pendorongku. Dengan Inggit berada di sampingku aku melangkah maju memenuhi amanat menuju cita-cita.”
~ “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, halaman 83, 84
Tiga istri Soekarno yang banyak dikisahkan di dalam buku
“Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” adalah Utari, Inggit, dan
Fatmawati. Selain mereka bertiga, ada pula istri-istri Soekarno yang lain,
namun tidak banyak dikisahkan di dalam buku ini. (Hartini, misalnya, hanya
dikisahkan sekilas di halaman 18 dan 19, saat Soekarno menjamu beberapa tamu
penting dari luar negeri.)
Utari, istri pertama Soekarno, adalah anak dari
Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam. Waktu Soekarno sekolah di HBS, ia
tinggal sebagai anak kos (saat itu istilahnya “bayar makan”) di rumahnya. Tak
lama setelah istri Pak Tjokro meninggal, seorang saudara Pak Tjokro memberi
saran kepada Soekarno agar menghibur Pak Tjokro dengan menikahi Utari, anaknya,
yang baru berumur 16 tahun.
Perkawinan mereka tidak bahagia. Soekarno menyatakan, “Aku
ingin diibui oleh teman hidupku. Kalau aku pilek, aku ingin dipijitnya. Kalau
aku lapar, aku ingin memakan makanan yang dimasaknya sendiri. Manakala bajuku
koyak, aku ingin isteriku menambalnya. Dengan Utari keadaannya terbalik. Aku
yang menjadi orang tuanya, dia sebagai anak” (halaman 79). Akhirnya, Utari
dikembalikan kepada ayahnya pada tahun 1922, setahun setelah Soekarno menikah
dengannya.
Di Bandung, Soekarno bertemu dengan Inggit Ganarsih, istri
Haji Sanusi. Inggit adalah ibu kos Soekarno saat ia kuliah di Sekolah Teknik
Tinggi di Bandung. Haji Sanusi, dalam pemandangan Soekarno adalah suami yang
tidak bertanggung jawab, suka berjudi dan main bilyar. Kedekatan mereka berdua
akhirnya membuat Haji Sanusi dan Inggit bercerai. Inggit pun menjadi milik
Soekarno.
“Keluargaku tak pernah menyuarakan satu perkataan mencela
ketika aku berpindah dari isteriku yang masih gadis kepada isteri lain yang
selusin tahun lebih tua daripadaku. Apakah mereka menekan perasaannya karena
perbuatanku, ataupun merasa malu kepada Pak Tjokro, aku tak pernah
mengetahuinya.
“Inggit yang bermata besar dan memakai gelang di tangan itu
tidak mempunyai masa lampau yang gemilang. Dia sama sekali tidak terpelajar,
akan tetapi intelektualisme bagiku tidaklah penting dalam diri seorang
perempuan. Yang kuhargai adalah kemanusiaannya. Perempuan ini sangat
mencintaiku” (halaman 83).
Soekarno sangat bahagia dengan kehadiran Inggit. Cita-cita politik Soekarno makin tajam pada tahun-tahun pernikahannya dengan Inggit. Saat menikah dengan Inggit, Soekarno pun melalui tahun-tahun yang sulit: dipenjara di Banceuy dan Sukamiskin; diasingkan ke Pulau Bunga, Ende; lalu diasingkan ke Bengkulu. Inggit setia mendampingi Soekarno di saat-saat ini, menjadi pelipur lara yang tabah.
Soekarno sangat bahagia dengan kehadiran Inggit. Cita-cita politik Soekarno makin tajam pada tahun-tahun pernikahannya dengan Inggit. Saat menikah dengan Inggit, Soekarno pun melalui tahun-tahun yang sulit: dipenjara di Banceuy dan Sukamiskin; diasingkan ke Pulau Bunga, Ende; lalu diasingkan ke Bengkulu. Inggit setia mendampingi Soekarno di saat-saat ini, menjadi pelipur lara yang tabah.
Namun, satu hal yang menyedihkan Soekarno adalah
kemandulannya.
Saat diasingkan di Bengkulu, Soekarno bertemu Fatmawati yang
umurnya lebih muda 22 tahun darinya. Hubungan ini membuat Inggit cemburu dan
minta cerai. Puncak perkelahian mereka terjadi pada suatu malam setelah
Soekarno menemani seorang kawannya ke Rumah Geisha: “Sekembali di rumah, Inggit
mengamuk seperti orang gila. Dia berteriak-teriak kepadaku. Barang-barang
beterbangan dan sebuah cangkir mengenai pinggir kepalaku” (halaman 287-288).
Perpisahan Soekarno dengan Inggit tidak banyak diceritakan
dalam buku ini. Namun, saya sedih juga membaca bagian ini:
“Setelah perceraian telah disepakati bahwa Inggit kembali ke
kota kelahirannya…. Hatiku senantiasa dekat pada isteriku dan aku tidak akan
membiarkannya pergi seorang diri. Karena itu Inggit kutemani. Hari sudah tinggi
ketika kami kembali dalam keadaan letih, merasa badan kami tidak enak, dan
sesampai di rumah kami mendapati serombongan wanita yang akan bertamu kepada
Inggit. Sejam lamanya mereka berkunjung, sekalipun tidak banyak yang
dipercakapkan. Kuingat di waktu itu aku merasakan kegelisahan yang amat sangat.
Saat yang melelahkan sekali. Kemudian aku mengiringkan Inggit ke Bandung,
membongkar barang-barangnya, meyakinkan diri kalau-kalau ada sesuatu yang
kurang, lalu aku mengucapkan selamat tinggal kepadanya” (halaman 288-289).
Inggit mendampingi Soekarno pada saat-saat ia berjuang
meraih kemerdekaan, menemukan visi atas bangsa yang dipimpinnya. Fatmawati
mendampingi Soekarno pada saat-saat revolusi sedang sangat bergejolak: sejak
masa pendudukan Jepang hingga agresi militer Belanda. Keduanya berperan
penting, walau bagi saya sosok Inggit tetap lebih menarik.
Dengan Fatmawati Soekarno bahagia karena memiliki anak. Pada
bulan Juni 1943, ia mendapatkan anaknya yang pertama, Guntur Soekarnoputra.
Dari Fatmawati, lahir pula empat anak Soekarno lainnya. Fatmawati menjahit
bendera merah putih yang dikibarkan saat Indonesia merdeka pada 17 Agustus
1945.
3. Soekarno, Pelacur, dan Kita
“Pak, kami merasa bahagia karena rakyat kita memuliakan Bapak, tapi dalam hal ini kami masih ragu apakah wajar kalau gambar Presiden kita digantungkan di dinding rumah pelacuran. Apa yang harus kami kerjakan? Apakah akan kami pindahkan gambar Bapak dari dinding-dinding itu?”
3. Soekarno, Pelacur, dan Kita
“Pak, kami merasa bahagia karena rakyat kita memuliakan Bapak, tapi dalam hal ini kami masih ragu apakah wajar kalau gambar Presiden kita digantungkan di dinding rumah pelacuran. Apa yang harus kami kerjakan? Apakah akan kami pindahkan gambar Bapak dari dinding-dinding itu?”
“Tidak,” jawabku. “Biarkanlah aku di sana.”
~ “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, halaman
4-5)
Pelacur berperan penting dalam perjuangan Soekarno mewujudkan visinya. Mungkin hal ini aneh atau tabu di mata sebagian orang. Tapi, memang demikianlah adanya yang tertulis di buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” ini.
Dalam catatan kali ini, saya melakukan hal yang berbeda
dengan dua catatan pendek sebelumnya. Bila dua catatan sebelumnya semata-mata
bertumpu pada buku Soekarno itu, kali ini saya akan menggunakan beberapa hal
lain seputar pelacur untuk dijadikan bahan refleksi.
Pada 4 Juli 1927, dengan dukungan enam orang kawannya dari
Algemeene Studieclub Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Sejak
saat itu, Soekarno semakin sering berpidato. “1928 adalah tahun propaganda dan
pidato,” katanya (halaman 113). Karena sering muncul di hadapan publik, ia
menjadi sasaran Belanda.
“Mereka mengintipku seperti berburu binatang liar. Mereka
melaporkan setiap gerak-gerikku. Sangat tipis harapanku agar bisa luput dari
intipan ini. Kalau para pemimpin dari kota lain datang, aku harus mencari
tempat rahasia untuk berbicara. Seringkali aku mengadakan pertemuan penting di
bagian belakang sebuah mobil dengan merundukkan kepala. Dengan begini polisi
tidak dapat mendengar atau melihat apa yang terdjadi. Kami harus menjalankan
cara penipuan yang demikian itu” (halaman 115).
Karena sering sembunyi-sembunyi, Soekarno pun menemukan
lokalisasi atau tempat pelacuran sebagai tempat yang aman untuk mengadakan
rapat dengan teman-teman separtainya. Kadang mereka pergi sendiri-sendiri,
kadang dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka berada di sana pada jam 8 atau 9
malam. “Dalam gerakan PNI-ku di Bandung terdapat 670 orang dan mereka adalah
anggota yang paling setia dan patuh daripada anggota lain yang pernah
kuketahui. Kalau menghendaki mata-mata yang jempolan, berilah aku seorang
pelacur yang baik. Hasilnya mengagumkan sekali dalam pekerjaan ini. Tak dapat
dibayangkan betapa bergunanya mereka ini” (halaman 117).
Pelacur-pelacur ini dimanfaatkan Soekarno untuk menggoda
polisi Belanda. Bila berhasil menggoda, para pelacur pun mulai beraksi,
mengorek semua keterangan yang berkaitan dengan “dapur” politik Belanda,
terutama yang berkaitan dengan aktivitas Soekarno.
***
Dalam buku ini Soekarno mengaku pernah membaca Alkitab,
terutama saat berada di penjara Sukamiskin: “Aku membaca dan membaca kembali
Injil. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak asing lagi bagiku. Aku
seringkali mengulang mempelajarinya” (halaman 158). Saya tidak tahu pasti,
apakah ia pernah membaca tentang Rahab, seorang pelacur di kitab Yosua, di
Perjanjian Lama, yang dimanfaatkan dua pengintai Israel untuk memata-matai
penduduk Yerikho sebelum mereka menyerang kota itu.
Lalu, di Perjanjian Baru, di Injil Yohanes, juga dikisahkan
tentang Yesus yang mengampuni seorang wanita yang tertangkap basah melakukan
dosa zinah yang hendak dirajam beramai-ramai. Yesus hanya menulis di tanah,
juga tak melemparinya batu.
Sebagian dari kita mungkin berpikir bahwa pelacur adalah
sampah masyarakat. Namun, di mata Soekarno, kedudukan mereka tetap memiliki
martabat. Ini yang mempertegas lagi suatu kebenaran berharga yang kadang
diabaikan oleh banyak orang: seseorang dilihat bukan dari statusnya, tapi dari
kemampuan yang dia miliki dan manfaat yang ia berikan lewat hidupnya.
Saya jadi teringat Iwan Fals yang pernah menulis sebuah lagu
berjudul “Lonteku”. Salah satu penggalan liriknya berbunyi: “Lonteku, terima
kasih atas pertolonganmu di malam itu.”
Terakhir, saya pun jadi teringat pada lagu “Kupu-kupu Malam”
yang dinyanyikan Titiek Puspa. Sepenggal lirik di lagu ini, kiranya menjadi
cermin bagi kita yang memandang hina para pelacur:
“Dosakah yang dia kerjakan? Sucikah mereka yang datang?”
4. Revolusi dan Pemerintahan Baru: Yang Menggetarkan dan Menggelikan
Bab paling menggetarkan di buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” adalah bab ke-27, “Revolusi Mulai Berkobar”. Di bab ini Soekarno mengisahkan pesta kecilnya saat diangkat menjadi presiden tak lama setelah Indonesia merdeka. Badannya sedang tidak sehat waktu itu, di jalan dia bertemu tukang sate yang tidak mengenakan baju. Dia memesan sate 50 tusuk, jongkok di tepi jalan, dan memakan satenya dengan lahap.
4. Revolusi dan Pemerintahan Baru: Yang Menggetarkan dan Menggelikan
Bab paling menggetarkan di buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” adalah bab ke-27, “Revolusi Mulai Berkobar”. Di bab ini Soekarno mengisahkan pesta kecilnya saat diangkat menjadi presiden tak lama setelah Indonesia merdeka. Badannya sedang tidak sehat waktu itu, di jalan dia bertemu tukang sate yang tidak mengenakan baju. Dia memesan sate 50 tusuk, jongkok di tepi jalan, dan memakan satenya dengan lahap.
Setelah merdeka, masalah baru pun muncul. Belanda membonceng
Sekutu, datang lagi ke Indonesia. Di Jakarta, ketegangan terjadi di mana-mana.
Pada bulan September dan Desember 1945 ada 8000 rakyat yang telah terbunuh
untuk mempertahankan kemerdekaan.
Saat pergi ke Surabaya, Soekarno menyaksikan hal-hal
mengerikan: “Kota itu menjadi kota neraka. Di setiap penjuru jalan terjadi
pertempuran hebat satu-lawan-satu. Mayat bergelimpangan di mana-mana.
Tubuh-tubuh yang telah dipenggal dan dicincang bertumpuk-tumpuk, yang satu di
atas yang lain. Kematian sedang bersimaharajalela di jalan-jalan. Rakyat
Indonesia menembak-nembak, menikam dan membunuh dengan galak” (halaman 353).
Di Surabaya, Soekarno meminta rakyat untuk menghentikan
perang. Ia mengupayakan perundingan dengan pihak Sekutu dan Belanda untuk
melaksanakan gencatan senjata. Namun, peperangan besar pada 10 November 1945 tidak
dapat dielakkan. “10 November dimulailah serangan balasan kami…. Di jalan-jalan
perempuan dan anak-anak dibom, orang-orang tua ditembaki dari udara. Jalan
keluar tertutup oleh timbunan mayat yang tidak bisa diangkat oleh karena hujan
bom terus-menerus tak henti-hentinya selama berhari-hari” (halaman 355).
***
Jakarta dan Surabaya menjadi bulan-bulanan Belanda dan
Sekutu. 4 Januari 1946, Soekarno pun memutuskan untuk memindahkan ibukota RI ke
Yogyakarta. Di Yogyakarta inilah ia mulai membentuk sistem pemerintahan. Banyak
kejadian lucu yang dikisahkan di sini.
Misalnya, keterbatasan orang-orang yang ditunjuk Soekarno
untuk menduduki jabatan tertentu. Mereka dulunya orang-orang desa yang
sederhana, dan kemudian diberi tanggung jawab untuk mengemban tugas di republik
yang baru. Salah satunya adalah dr. Leimena yang diangkat menjadi menteri.
Soekarno pernah bertemu Leimena semasa perang, dokter itu mengobati sakit
kepalanya. Mereka bertemu lagi setelah merdeka. Leimena disebut Soekarno
sebagai “… salah seorang yang paling jujur yang pernah kutemui…. seorang yang
jujur seperti Yesus dari Nazaret” (halaman 369).
Kekayaan Leimena tidak banyak. Lucu sekali, Soekarno
menyebutnya hanya memiliki sehelai celana dalam. “Bajunya tidak lebih dari dua
helai…. Satu dipakainya, satu masuk cucian” (halaman 369).
Hal menggelikan lainnya adalah kisah tentang ajudan Soekarno
yang pertama di halaman 373. Karena dia ajudan presiden, dia diberi pangkat
letnan; dulunya dia preman. Seorang penasehat Soekarno menyeletuk, “Ini tidak mungkin.
Ratu Juliana dari Negeri Belanda yang memerintah 10 juta manusia mempunyai
ajudan seorang kolonel. Bagaimana pandangan orang nanti melihat Soekarno,
presiden RI yang memerintah 70 juta, dengan ajudan yang hanya berpangkat
letnan?”
“Betul juga,” kata Soekarno. “Sudah berapa lama engkau
menjadi letnan?”
“Satu setengah jam, Pak.”
“Nah, negara kita ini baru lahir dan tumbuhnya cepat. Mulai
sore ini engkau menjadi mayor.”
Ada juga kisah lucu tentang rakyat yang tidak tahu benar apa
itu “merdeka” di halaman 374. Rakyat cuma tahu: setiap orang merdeka, dan
dengan seenaknya mereka naik kereta api. Waktu mereka diminta membayar, ada
yang bingung dan menampakkan wajah heran: “Lho, kita kan sudah merdeka?”
Demikian pula dengan kisah ujian untuk masuk Angkatan Udara
di halaman 375. Angkatan Udara dimulai dari beberapa buah pesawat terbuat dari
kayu yang sudah bobrok. Pertanyaan satu-satunya yang diajukan untuk orang yang
berminat menjadi Angkatan Udara adalah: “Saudara berani naik pesawat terbang
kita?” Kalau dia menjawab iya, maka diterimalah dia di Angkatan Udara.
5. Soekarno dan Wanita
Hal yang paling menggelikan namun sekaligus mengejutkan dalam buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” ini adalah pandangan dan kisah-kisah Soekarno tentang wanita. Ia banyak menyampaikan tentang hal ini di bagian awal dan menjelang akhir buku.
5. Soekarno dan Wanita
Hal yang paling menggelikan namun sekaligus mengejutkan dalam buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” ini adalah pandangan dan kisah-kisah Soekarno tentang wanita. Ia banyak menyampaikan tentang hal ini di bagian awal dan menjelang akhir buku.
Saat berkunjung pertama kali ke Amerika pada tahun 1956, ia
menyatakan bahwa satu hal yang paling berbeda antara dirinya dengan Amerika adalah
cara pemilihan tokoh politik untuk memegang pemerintahan.
“Cara orang Amerika adalah bersalaman dengan para ibu dan mencium anaknya. Cara Soekarno: bersalaman dengan anaknya dan mencium ibunya,” katanya (halaman 418).
“Cara orang Amerika adalah bersalaman dengan para ibu dan mencium anaknya. Cara Soekarno: bersalaman dengan anaknya dan mencium ibunya,” katanya (halaman 418).
Cara penyambutan tamu di Irian Barat juga sangat mengesankan
Soekarno karena adanya peran wanita yang erotis. “Di Irian Barat seorang gadis
setengah telanjang berdiri di jalan masuk ke desa dan para tamu diharapkan
mencium susunya. Secara simbolis mereka memberi tamu memakan susu ibu sebagai
bentuk persembahan yang paling murni. Seorang kawan telah disambut menurut adat
ini, kemudian berkelakar kepadaku: ‘Haaa, Pak, sekarang sekarang kami mengerti
mengapa bapak mati-matian memperoleh kembali Irian Barat!'” (halaman 420)
Saat Soekarno ada di Amerika, ia berjalan-jalan di toko
serba ada. Nyonya Eric Johnston, janda dari raja film, menemani Soekarno ke
sebuah toko besar di California. Saat berada di sana, ia teringat pada pesan
istrinya, minta dibelikan kutang (halaman 419-420):
“Gadis penjual itu mengambil beberapa buah (kutang), akan
tetapi aku lupa ukuran istriku. Akhirnya Nyonya Johnston mendesak dengan
hormat, ‘Paduka yang Mulia dipersilakan memilihnya.’
“Apakah bisa dikumpulkan ke sini semua gadis penjual, supaya
aku bisa menentukan ukurannya?
“Maka berpawailah gadis-gadis itu di hadapanku dan dengan
caraku yang sangat sopan aku meneliti mereka satu demi satu sambil berkata,
‘Tidak, engkau terlalu kecil… Oh, engkau kebesaran…’ Kemudian aku menunjuk
seorang wanita dan menyatakan, ‘Ya, engkau cocok sekali. Saya akan mengambil
ukuranmu. Tolonglah.’
“Ternyata kemudian barang itu sangat pas pada istriku.”
***
Bila membaca buku ini, pada bagian awal pun kita akan segera
tahu bahwa kesukaan Soekarno adalah wanita. Ia memilih Cindy Adams sebagai penulis
otobiografi-nya karena mudah terkesan dengan wanita ini. Di kaver belakang buku
ini ditunjukkan foto mereka berdua yang sedang berbicara. Cindy Adams
sungguhlah seorang wanita yang cantik.
Di bagian awal buku ini, Soekarno tampaknya berang karena
pandangan pers yang miring kepadanya. Ia seolah-olah ingin menyatakan bahwa
menyukai wanita adalah hiburan tersendiri baginya. Ia pun menyampaikan semacam
alasan (sekaligus apologi) untuk hal ini (halaman 11-12), bahwa hal-hal
demikian dilakukannya agar hidupnya menjadi bahagia:
“‘Majalah Tuan ‘Time’ dan ‘Life’ terutama sangat kurang ajar
terhadap saya,’ katanya kepada Presiden Kennedy. ‘Coba pikir, ‘Time’ menulis:
Sukarno tidak bisa melihat rok wanita tanpa bernafsu. Selalu mereka menulis
yang jelek-jelek.’
“Sekalipun aku dan Presiden Kennedy telah mengadakan
pertemuan pendapat, persetujuan dalam lingkungan kecil ini tidak pernah
tersebar dalam pers Amerika Serikat. Masih saja, hari demi hari, mereka
menggambarkanku sebagai pengejar cinta.
“Ya, ya, ya, aku mencintai wanita. Ya, itu kuakui. Akan
tetapi aku bukanlah seorang anak pelesiran sebagaimana mereka tudukkan padaku.
Di Tokyo aku telah pergi dengan kawan-kawan ke suatu Rumah Geisha. Tiada
sesuatu yang melanggar susila mengenai Rumah Geisha itu. Orang sekadar duduk,
makan-makan, bercakap-cakap dan mendengarkan musik. Hanya itu. Akan tetapi
dalam majalah-majalah Barat digembar-gemborkan seolah-olah aku ini Le Grand
Seducteur.
“Tanpa hiburan-hiburan kecil ini aku akan mati. Aku
mencintai hidup. Orang-orang asing yang mengunjungi istanaku menyatakan bahwa
aku menyelenggarakan ‘suatu istana yang menyenangkan’. Ajudan-ajudanku
mempunyai wajah-wajah yang senyum. Aku berkelakar dengan mereka, menyanyi
dengan mereka. Bila aku tidak memperoleh kegembiraan, nyanyian dan sedikit
hiburan kadang-kadang, aku akan dibinasakan oleh kehidupan ini. Umurku sudah 64
tahun. Menjadi Presiden adalah pekerjaan yang membikin orang lekas tua…. Karena
itu, sesekali aku harus lari dari keadaan ini, supaya aku dapat hidup
seterusnya.
“Banyak kesenangan yang sederhana telah dirampas dariku.
Misalnya, di masa kecilku aku telah mengelilingi pulau Jawa dengan sepeda.
Sekarang perjalanan semacam itu tidak dapat kulakukan lagi, karena tentu tidak
sedikit orang yang akan mengikutiku.”
6. Hidup di Hati Rakyat
“Tanpa rakyat aku tidak berarti apa-apa. Kalau aku mati, kuburkanlah Bapakmu menurut agama Islam dan di atas batu kecil engkau tulislah kata-kata sederhana: Di sini beristirahat Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.”
~ “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, halaman
472
Soekarno kadangkala pergi tanpa tanda pengenal ke tempat-tempat di mana rakyat berkumpul. Dengan berkemeja dan kacamata hitam, ia merasa dirinya lain, tak mudah dikenali. “Kududuk seorang diri di pinggir trotoar dan menikmati jajanku (sate) dari bungkus daun pisang. Sungguh saat-saat yang menyenangkan” (halaman 14).
Suatu hari ia pergi bersama seorang komisaris polisi. Mereka
berputar-putar di tengah rakyat dan tak ada seorang pun yang memperhatikan
mereka. Ia bertemu dengan seorang laki-laki dan berkata, “Dari mana diambil
batubata ini dan bahan konstruksi yang sudah dipancangkan ini?”
Sebelum pria itu menjawab, seorang perempuan berteriak
setelah mendengar suara Soekarno: “Heee… itu suara Bapak! Orang ini Bapak!” Tak
lama kemudian ratusan lalu ribuan orang berdatangan dari segala penjuru
(halaman 14).
Soekarno juga suka minum kopi, minuman rakyat. Ia suka
mengajak kawan-kawannya minum kopi. Tak lama setelah ia menjadi pimpinan PNI,
ada sebuah kisah yang menarik tentang kopi. Ia kedatangan teman, namanya
Sutoto. Ia sedang tak punya uang untuk mengajak temannya itu minum kopi. Saat
mereka lagi mengobrol, seorang wartawan lewat di depan rumahnya. Wartawan itu
sedang mencari tulisan untuk korannya. Soekarno menawarkan diri menulis.
Soekarno tawar-menawar dengan wartawan itu: berapa honor
tulisannya. Akhirnya tercipta sepakat, ia dibayar 2 rupiah. Ia membuatkan
tulisan untuk wartawan itu selama 15 menit. Setelah tulisan itu jadi, ia pun
mengajak Sutoto dan Inggit, istrinya, minum kopi dan makan peuyeum (halaman
120).
Soekarno memang suka menulis sejak remaja, saat ia
bersekolah di HBS, Surabaya. Ia menulis untuk majalah Sarekat Islam, “Oetoesan
Hindia”. Ia sering menggunakan nama samaran karena tulisan-tulisannya menentang
kolonialisme Belanda. Ia berkata ada 500 lebih tulisannya di majalah-majalah
itu (halaman 68). Saat dibuang di Pulau Bunga, Ende, Soekarno menulis 12 cerita
sandiwara pada tahun 1934-1938 (halaman 181).
***
Saat menjadi presiden, Soekarno juga sering mengundang
orang-orang minum kopi. Ia mengadakan jam kerja terbuka. “Pagi-pagi dari jam 7
sampai jam 9 puluhan orang yang tidak diundang secara resmi turut minum kopi.
Mereka adalah menteri-menteri, penasehat, pembesar tinggi, atau penerbit yang
baru kutugaskan mencetak Injil dalam bahasa Indonesia, atau pemahat patung yang
baru saja ditunjuk untuk menciptakan monumen Angkatan Bersenjata, atau arsitek
yang minta persetujuan rencana gedung bertingkat yang baru….” (halaman 440).
Soekarno adalah bapak bangsa yang hidup dengan kemelaratan
dan kemiskinan pada masa kecilnya. Ia adalah wakil yang ideal dari kondisi
rakyat jelata pada zamannya. Inilah yang tampaknya tidak bisa ia lupakan
sepanjang hayatnya, bahkan ketika ia sudah menjadi presiden. Rakyat jelata
selalu ada di hati Soekarno. “Aku adalah kepunyaan rakyat. Aku harus melihat
rakyat, aku harus mendengarkan rakyat dan bersentuhan dengan mereka. Perasaanku
akan tenteram kalau berada di antara mereka,” katanya (halaman 11-12).
“Aku ingin bercampur dengan rakyat. Itulah yang menjadi
kebiasaanku. Akan tetapi aku tidak dapat lagi berbuat demikian. Seringkali aku
merasakan badanku seperti akan lemas, napasku akan berhenti, apabila aku tidak
bisa keluar dan bersatu dengan rakyat jelata yang melahirkanku” (halaman 13).
***
Penutup
21-03-2013, hari terakhir membaca “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”. Lega rasanya menamatkan buku ini dalam dua minggu. Tidak banyak buku yang meninggalkan kesan mendalam setelah selesai dibaca — buku ini adalah salah satunya.
21-03-2013, hari terakhir membaca “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”. Lega rasanya menamatkan buku ini dalam dua minggu. Tidak banyak buku yang meninggalkan kesan mendalam setelah selesai dibaca — buku ini adalah salah satunya.
Otobiografi selalu perlu ditelaah dengan cara
membandingkannya dengan buku atau sumber lain — tidak ditelan mentah-mentah.
Oleh karena itulah hal-hal yang masih perlu dikaji lebih jauh (terutama secara
akademis) tidak saya tampilkan di sini. Misalnya, perbedaan pendapat antara
Soekarno dengan Hatta atau Syahrir. Di buku ini beberapa kali disebutkan bahwa
Soekarno selalu berseberangan pemikiran dengan keduanya. Saya berharap ada
waktu khusus bagi saya untuk membaca lebih banyak tentang “perseteruan” mereka
di panggung politik.
Sidik Nugroho, Maret 2013
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteaku selalu terkesima setiap kali membaca resensi2 dan buku2 sang proklamator ini. Sampai2 preview beliau aku masukkan ke salah satu tulisan di blogku. walapun hanya sekilas tapi berkesan.
ReplyDeletei'm book blogger
www.katamahdi.com