Tuesday, August 2, 2016

Luka Sejarah dalam Cerita

Kritikus tak selalu tulus. Kritik dapat lahir dari ketidaksukaan semata, perasaan disaingi, atau ketidakmampuan menilai dengan jernih. Itulah yang terjadi pada Pak Orok—nama samaran, bukan nama sebenarnya—yang mengkritik buku yang baru saja terbit, ditulis pengarang muda bernama Ishak. Kritik yang dimuat surat kabar itu, oleh Ishak dianggap memutarbalikkan maksudnya yang sebenarnya sehingga ia dianggap pengkhianat oleh rakyat.

Anggapan Ishak itu ia sampaikan kepada Satilawati, tunangannya. Karena kritik itu, Ishak memutuskan pergi, menjauh dari keramaian. Ishak jadi kecil hati, ia telah mengorbankan banyak uangnya agar bukunya itu terbit, dan ia merasa sudah melahirkan karya baru yang mewakili semangat zamannya. Ia pun beranggapan, Satilawati tidak akan selalu mendukungnya—“Tunangan pengarang tentu tidak suka membaca roman tunangannya sendiri” (halaman 25). Tapi Satilawati tidak rela bila Ishak pergi meninggalkannya, sudah telanjur mencintainya, walaupun Ishak menganggap akan ada orang lain yang akan mencintai gadis itu. Satilawati pun jengkel, menyebut Ishak pengarang pengecut: “Sedikit diserang kritik orang, engkau hendak melarikan diri” (halaman 27).

Itulah bagian awal kisah dalam cerita “Kejahatan Membalas Dendam” (KMD) yang berupa drama empat babak. Cerita atau drama ini adalah cerita terpanjang di buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma karya Idrus, mungkin sama panjangnya dengan cerita berjudul “Surabaya”. Sebelum cerita sampai di tengah, pembaca sudah diberitahu, bahwa Pak Orok tak lain adalah ayah Satilawati. Ia juga seorang pengarang, tapi oleh Ishak dianggap kolot.

KMD dan sebelas cerita lain di buku ini menyuguhkan kisah-kisah yang terjadi saat Indonesia belum dan sudah merdeka. Menarik, ada beberapa cerita dengan tokoh utama pengarang di buku ini. Sosok pengarang yang muncul dalam tiga cerita, yaitu KMD, “Ave Maria” (AM), dan “Jalan Lain ke Roma” (JLkR) bernasib kurang mujur.

Di KMD, pengarang memiliki kemungkinan dikucilkan dan gagal menikah. Di AM, cerita pertama di buku ini, dikisahkan Zulbahri, seorang mantan pengarang yang “karyanya banyak juga diterbitkan”, tapi “belum dikenal umum” (halaman 16). Ia menikah dengan Wartini, dan di bulan kedelapan setelah menikah, sepasang manusia itu kedatangan orang yang berpeluang merenggut cinta mereka. Zulbahri hidup seperti orang gila setelah rumah tangganya terancam bubar. Di JLkR, Open, pengarang yang berkali-kali berganti-ganti profesi pernah digebuki penguasa setelah karyanya dianggap membahayakan.

Pilihan Idrus menghadirkan beberapa cerita tentang pengarang sangat mungkin terpengaruh oleh kehidupannya sendiri. Di KMD, terbaca apa yang menjadi hasratnya: “Pengarang-pengarang muda Indonesia ini sedang menyiapkan diri untuk menyambut Indonesia merdeka... Pengarang muda Indonesia sekarang selalu berusaha menciptakan hasil kesusasteraan internasional, diakui oleh seluruh dunia... kedudukan pengarang-pengarang Indonesia merdeka harus sama dengan kedudukan pengarang-pengarang negara lain” (halaman 73).

***

Buku ini berisi dua belas cerita yang dibagi dalam tiga bagian. Pertama Zaman Jepang, terdiri dari satu cerita berjudul “Ave Maria” dan satu naskah drama berjudul “Kejahatan Membalas Dendam”. Kedua Corat-Coret di Bawah Tanah, terdiri dari tujuh cerpen, yaitu “Kota-Harmoni”, “Jawa Baru”, “Pasar Malam Zaman Jepang”, “Sanyo”, “Fujinkai”, “Oh... Oh... Oh!”, dan “Heiho”. Ketiga Sesudah 17 Agustus 1945, terdiri dari tiga cerpen, yaitu ”Kisah Sebuah Celana Pendek”, “Surabaya”, dan “Jalan Lain ke Roma”.

Cerpen-cerpen di bagian Corat-Coret di Bawah Tanah memotret ketidakadilan sosial yang menindas rakyat Indonesia pada zaman Jepang. “Di Bawah Tanah”—tiga kata yang digunakan untuk menampung tujuh cerpen di dalamnya, sangat mungkin terilhami situasi yang melanda rakyat Indonesia pada masa itu: Jepang menugasi banyak mata-mata di mana-mana saat menduduki Indonesia.

Kisah tentang mata-mata—atau intervensi diam-diam Jepang dalam banyak aspek kehidupan—ada di cerpen “Fujinkai” dan “Sanyo”. Di cerpen “Fujinkai”, tokoh utamanya, Nyonya Sastra, mengadakan semacam rapat, mengundang ibu-ibu datang ke rumahnya. Di situ ia berpidato, dan pidatonya semata-mata tentang kehebatan Jepang. Dalam cerpen “Sanyo” dikisahkan penjual kacang dan es lilin yang mengobrol tentang “sanyo”, penasihat di tiap-tiap departemen semasa Jepang berkuasa. Obrolan itu membuat Kadir, si penjual kacang bertanya-tanya, apa atau siapa sebenarnya “sanyo”? Sampai seorang pembeli datang kepadanya dan si penjual es lilin, dan kedatangannya membuatnya terancam karena ia adalah mata-mata.

Dalam cerpen “Kota-Harmoni” dikisahkan tentang orang Jepang yang merasa superior saat menumpang sebuah trem bau terasi, juga diisi orang-orang dari berbagai kalangan. Cerpen “Jawa Baru” sangat terasa nuansa retorisnya, latarnya saat Jepang mulai menguasai Jawa. Lewat cerpen itu, Idrus mengkritik pemerintah Jepang yang merampas hasil bumi, terutama beras, sehingga rakyat sengsara: “Kehidupan susah di Jakarta, di Plered, di seluruh Pulau Jawa. Semua orang menengadahkan tangan ke langit, minta rezeki dari Tuhan yang mahakuasa, seperti Tuhan lupa memberi mereka rezeki. Setiap tahun padi menguning juga, beras digiling juga, Tuhankah yang salah?” (halaman 89).

Cerpen bernuansa satir paling kental adalah “Pasar Malam Zaman Jepang” dan “Oh... Oh... Oh...!”. Di cerpen pertama dikisahkan tentang seorang pria kurus yang bernasib malang karena kalah main rolet (semacam judi) yang diselenggarakan “dengan bantuan Sendenbu” (halaman 90). Sendenbu adalah barisan propaganda milik Jepang, kegiatan-kegiatan yang mereka bantu adakan bermacam-macam: sandiwara, musik, juga olahraga. Ia mempertaruhkan semua hartanya, bahkan menjual bajunya, celananya, untuk berjudi. Sampai akhirnya yang melekat di badannya hanya celana pendek dan kaus dalam. Di cerpen kedua dikisahkan perempuan muda yang menyembunyikan beras di balik kutang, dan berasnya diambil orang yang menyamar sebagai agen polisi.

Cerita-cerita dalam bagian Corat-coret di Bawah Tanah memang lucu namun mengentak kesadaran, mengundang simpati. Tapi, beberapa cerita terkesan buru-buru. Ada yang retorikanya terasa lebih kental ketimbang realitas yang berusaha disuguhkan. Ada juga tokoh yang mengambil peran penting dalam plot atau esensi cerita, tapi dikisahkan sedikit saja latar belakang atau kehadirannya. Laki-laki yang mengaku sebagai mata-mata dan mendatangi Kadir si penjual kacang dan penjual es lilin dalam “Heiho” tidak diberi deskripsi atau narasi sebelum kedatangannya yang mendadak. Agen polisi dalam cerita “Oh... Oh... Oh...!” pun hanya disebut sekali sebelum ia mendatangi wanita di kereta, tanpa embel-embel identitas atau keterangan lain yang membuat pembaca bisa lebih mahfum pada tindakannya. Mungkin, itulah alasannya Idrus melabeli cerita-cerita itu sebagai “Corat-Coret”.

Cerita yang berhasil mengangkat benda menjadi simbol perjuangan adalah “Kisah Sebuah Celana Pendek”. Kusno dibelikan ayahnya sebuah celana baru agar ia sukses melamar pekerjaan sebagai juru tulis. Tapi Kusno tak meraih impian menjadi juru tulis. Ia menurunkan harapannya: dari juru tulis menjadi portir, dari portir menjadi opas. Menjadi opas membuat celana barunya makin lama makin rusak. Malang nasib Kusno, kesusahan yang beruntun dan gaji yang kecil membuatnya tak mampu membeli celana baru.

Cerpen “Surabaya” mengisahkan pergolakan yang terjadi di Surabaya saat revolusi besar-besaran terjadi. Cerita ini mendapatkan komentar paling banyak dari H.B. Jassin yang menulis Pengantar (Kata Pendahuluan) di cetakan keenam, bahwa lewat ceritanya Idrus mengkritik dengan menuliskan realitas yang terjadi pada masa itu (halaman 8).

Apa yang Idrus lakukan dianggap H.B. Jassin sebagai suatu terobosan, bahwa pengarang tidak boleh terjebak pada “sentimen-sentimen yang chauvinstis” (halaman 8-9). Pemuda-pemuda Indonesia disebutnya bertingkah seperti koboi (disebut “cowboy”), salah satunya: “... penduduk Surabaya bertindak seperti cowboy-cowboy dalam cafe-cafe, menciumi gadis-gadis dan revolvernya...” (halaman 140). Cerpen “Surabaya”, dengan demikian, muatan ideologisnya merupakan wujud dari yang dinyatakan sosok pengarang dalam drama “Kejahatan Membalas Dendam”—bahwa pengarang, sedapat mungkin menyuguhkan cerita yang realistis, mewakili suasana dan kehidupan zamannya.

***

Dalam cerita-cerita Idrus, beras sebagai makanan pokok begitu berharga di zaman itu. Rakyat bertani, tapi beras diambil pemerintah. Hiburan, olahraga, musik, bahkan dikuasai pemerintah dan menjadi alat propaganda. Salah bicara, salah bertanya, nasib naas menanti; dan kematian menjadi hukuman yang tampak begitu mudah diberikan bagi pelanggaran yang terhitung ringan. Membeli celana baru bahkan sangat susah dan mahal. Bahkan di rapat-rapat kecil, pidato yang disampaikan kepada yang hadir di rapat sudah didikte Jepang.

Cerpen-cerpen Idrus menjadi rekam-jejak yang menyadarkan kita bahwa bangsa ini sebenarnya tidak kalah di bawah kekuasaan asing. Kekayaan bumi kita dirampas, rakyat kita takluk dan dibunuhi—kita orang-orang kalah. Namun semangat hidup dan keinginan merdeka tidak pernah pudar. Di sejarah versi para penguasa atau penindas yang menang, cerita-cerita ini menjadi lawan. Seperti yang dikatakan Emha Ainun Najib dalam sebuah cuitannya di Twitter beberapa tahun silam: “Sejarah adalah milik mereka yang menang. Pengetahuan kita tentang Hitler tergantung pada siapa yang mengalahkan Hitler.”

Cerpen-cerpen Idrus hampir semuanya bernada humor, walaupun di balik humor itu tragedilah yang terjadi dan berusaha ia sajikan. Humor dalam ceritanya tak membuat kita tergelak-gelak, tapi merenung. Sejarah menorehkan luka di masa lalu, dan Idrus telah menjadi saksi yang peka dan peduli, menulis cerita-cerita itu agar pembaca di masa kini tak lupa—bahwa untuk menjadi bangsa merdeka, dulu kita benar-benar sengsara. (*)

Data Buku:

Judul: Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
Penulis: Idrus
Penerbit: Balai Pustaka
Tahun: 1978
Tebal: 167 halaman

Review buku “Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma” karya Idrus, ditulis Sidik Nugroho, Juli 2016

2 comments:

  1. Thanks pak...ini sangat bermanfaat untuk mengenalkan karya sastra Indonesia pada anak saya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah mampir, Bu. Salam untuk Dhira. :-)

      Delete

Terima kasih sudah membaca, apalagi sampai mau berkomentar. Semua komentar akan saya usahakan tanggapi balik.