Cerita horor memancing rasa penasaran seseorang tentang dunia lain dan kematian. Stephen King, dalam prakatanya di buku kumpulan ceritanya berjudul Night Shift menyatakan: "Mungkin hal tersebut (rasa penasaran pembaca) disebabkan berita buruk yang selalu dibawa penulis horor: 'Kau akan mati,' katanya." Dia menambahkan bahwa "... daya tarik besar fiksi horor dari zaman ke zaman adalah bahwa kisah-kisah menakutkan itu merupakan gladi kotor untuk kematian kita sendiri."
Makhluk-makhluk mengerikan, teror, kejahatan, dan kengerian adalah hal-hal yang umumnya ada pada cerita horor. Drakula, vampir, tuyul, atau makhluk mengerikan apa pun yang tak pernah disaksikan manusia dalam kehidupannya, dalam cerita horor menjadi hidup, seakan-akan diberi napas oleh para kreatornya. Manusia pun dikepung kengerian saat membaca atau menonton horor, namun mereka bertahan mengikuti kisah-kisah itu karena hatinya samar-samar menyadari, suatu ketika sebentuk ketakutan—dalam jenis dan cara yang lain—juga akan menghampiri mereka. Pengusiran kuasa dan pengaruh setan dalam film Exorcist dan Conjuring, makhluk-makhluk halus yang menghuni kuburan dalam The Graveyard Book karangan Neil Gaiman, seakan-akan hendak mempertegas suatu ide kepada para penikmat horor: dunia atau sosok yang tidak nyata barangkali nyata.
Ersta
Andantino dalam karyanya berjudul Wuni,
Sebuah Legenda Tanah Jawa (setelah ini disebut Wuni saja) menyajikan seserpih kisah yang berhubungan dengan genderuwo,
jin atau makhluk halus yang akrab di telinga banyak orang Jawa. Di novel Wuni, sosok genderuwo tidak muncul
sebagai pusat cerita, hanya dikisahkan sekilas.
Cerita
Wuni berawal dari kepulangan Jaka,
tokoh utama, ke Klaten dari Bogor atas perintah pamannya bernama Pakde Sunar. Di
Bogor, Jaka bekerja bersama rekannya bernama Yudhis membangun studio foto
kecil-kecilan sambil menunggu lowongan pegawai negeri sipil dibuka. Kepulangannya
ke Klaten berkaitan dengan penyerahan harta warisan dari Mbah Putri Sumi, salah
satu istri kakeknya yang bernama Soentoro. Soentoro, sang kakek yang sudah
almarhum adalah orang kaya-raya, beristri tiga, semasa hidup memiliki usaha
dagang yang sukses dan tanah yang luas.
Kekayaan
Soentoro diperoleh dengan bantuan magis genderuwo. Suatu ketika Soentoro menyerahkan Mbah Putri Sumi kawin dengan genderuwo;
dari perkawinan itu lahirlah anak—setengah manusia, setengah makhluk gaib—yang
hidupnya terjebak di dunia nyata dan alam gaib, tinggal di Alas Ledhok, Gunung
Merapi.
Jaka
adalah keturunan Soentoro yang diramalkan dan dipercaya akan mampu mengelola
kekayaan Soentoro. Sejak lahir, Jaka membawa tanda yang diramalkan Soentoro:
memiliki toh (semacam tompel) putih yang berbulu di punggung kirinya. Jaka
dipercaya akan memulihkan kekayaan yang diperoleh Soentoro dari hasil berhubungan
dengan makhluk gaib.
Jaka
juga diramalkan akan mengelola kekayaan itu dengan bijak, sekaligus menjadi
ahli waris terbesar: mendapat separo bagian keseluruhan harta warisan. Sosok
Jaka menarik, menjadi masuk akal ketika ia ditakdirkan menjadi ahli waris:
ayahnya guru yang jujur, tidak gila harta, membesarkan Jaka dalam
kesederhanaan. Dengan latar belakang keluarga demikian, serta karakter
pribadinya yang "lurus", Jaka tampil menjadi "penebus" bagi
kekelaman masa lalu leluhurnya.
Kepulangan
Jaka ke Klaten, ke Desa Wuni, tempat Mbah Putri Sumi tinggal, ternyata memicu
reaksi negatif dari keluarga yang iri kepadanya, yakni Paklik Renggo. Reaksi
ini diwujudkan dalam berbagai bentuk serangan magis: paku-paku, bola api, atau
perubahan cuaca secara mendadak di alam sekitar Jaka. Jaka juga harus
berhadapan dengan seorang anak Paklik Renggo yang menculik dan
menyembunyikannya saat ia mengurus berkas-berkas untuk peralihan warisan.
Di
sinilah Ersta dengan apik membangun ketegangan dalam novelnya: konflik yang
harus dihadapi Jaka berasal dari dunia gaib dan dunia nyata. Namun, ia tak
sendiri menghadapi semua itu. Ia dibantu Yudhis, kawannya di Bogor yang suatu
ketika mampir ke Klaten, dan seorang "utusan" yang misterius.
Kehadiran "utusan" misterius yang juga menjadi magnet bagi cerita
ini. Ia muncul secara terang-terangan, juga di dalam mimpi Jaka.
Selain
itu, Ersta adalah pencerita yang tidak terburu-buru membangun ketegangan magis
atau supranatural. Ia membangun narasi dan deskripsi yang memikat perihal
tempat-tempat yang menjadi latar dalam cerita ini. Ketegangan magis sebenarnya
sudah dimulai sejak bagian awal, saat ada sosok misterius yang duduk di samping
Jaka dalam perjalanan di kereta. Namun, dalam perkembangannya, ketegangan itu
muncul sedikit demi sedikit karena terpendam oleh dua konflik yang dihadapi
Jaka: keluarga yang menentangnya mendapat harta warisan dan dua gadis yang
memikat hatinya.
Namun,
novel yang dilabeli "a breath-taking
true story" ini terkesan kabur kandungan kisah nyatanya. Apakah ini
pengalaman seseorang yang dikisahkan kepada Ersta? Atau ada bagian-bagian
tertentu saja yang benar-benar terjadi di sini, sementara yang lainnya rekayasa?
Atau, yang nyata adalah ketegangan dalam dunia nyata dan magis yang dialami
Jaka? Atau, yang nyata adalah perkawinan manusia dengan genderuwo? Sayang,
pembaca tidak diberi keterangan apa-apa hingga novel berakhir di bagian Epilog.
Hanya ada keterangan di bagian awal bahwa " kesamaan nama orang, tempat,
dan yang lain hanya kebetulan semata."
Novel
Wuni dibanjiri istilah, kata, dan
dialog berbahasa Jawa (diberi keterangan berbahasa Indonesia di catatan kaki),
menjadikannya kental dengan nuansa Jawa. "Wuni", selain merupakan
nama desa, adalah nama pohon. Pohon ini buahnya kecil, mirip kopi, berwarna
merah. Di beberapa tempat, pohon itu juga disebut "buni". Konon, di
pohon inilah genderuwo suka tinggal.
Wuni patut
disimak hingga akhir. Wuni memenuhi
syarat sebagai novel horor yang umumnya menyajikan kejutan-kejutan tak terduga.
Di karyanya ini Ersta berhasil membangun sebuah cerita yang khas: horor berpadu
dengan cerita atau sosok genderuwo yang dikenal luas oleh masyarakat
turun-temurun. (*)
Resensi oleh Sidik Nugroho
Judul: Wuni, Sebuah Legenda Tanah Jawa | Penulis: Ersta Andantino | Penerbit: Javanica | Tahun: 2015 | Tebal: 332 halaman
Resensi oleh Sidik Nugroho
Judul: Wuni, Sebuah Legenda Tanah Jawa | Penulis: Ersta Andantino | Penerbit: Javanica | Tahun: 2015 | Tebal: 332 halaman
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah membaca, apalagi sampai mau berkomentar. Semua komentar akan saya usahakan tanggapi balik.