Tuesday, July 11, 2017

Moralitas, Boikot, dan LGBT

Sidik Nugroho*)

Ron Woodroof, artis rodeo, divonis dokter mengidap AIDS, punya waktu hidup tinggal 30 hari. Karena vonis itu ia gelisah, berusaha mengobati dirinya dengan segala cara sampai ia bertemu dokter di Meksiko yang menjual obat-obat alternatif. Karena merasakan pengaruhnya—usianya lebih lama daripada vonis dokter—ia pun menjual obat-obat alternatif itu di Dallas kepada orang-orang yang mengidap HIV/AIDS, dibantu waria bernama Rayon.    

Awalnya, Ron adalah homofobia. Ia begitu sinis—bahkan jijik—melihat Rayon. Namun, karena Rayon membantunya mendapatkan pembeli obat-obat alternatif itu, hubungan keduanya makin akrab.

Di dalam film ditampilkan Rayon yang mengubah penampilannya ketika Ron menghadap ayahnya untuk meminta tambahan uang menjalankan bisnisnya: ia mengenakan pakaian pria, sebelumnya selalu berpakaian dan merias diri seperti wanita. Di adegan lain juga ditampilkan Ron dan Rayon berpelukan setelah mereka mendapatkan sejumlah uang untuk melanjutkan bisnisnya.

Dengan latar tahun 1980-1990-an, kisah Ron dan Rayon dalam film Dallas Buyers Club (2013) yang diangkat dari kisah nyata menyuguhkan potret persahabatan yang dinamis sekaligus tak terduga, selain menyinggung isu-isu yang lebih “besar” seperti kekeliruan penanganan medis untuk pengobatan HIV/AIDS atau kecenderungan para lelaki Dallas yang macho dan membenci waria atau transgender.

Di sepanjang zaman, tak sedikit orang seperti Ron, hidup dalam penilaian miring tentang suatu kaum sebelum benar-benar mengenalinya. Philip Yancey, seorang penulis kenamaan, ketika masih kecil mengenal seorang pria yang mengesankan, ia kisahkan dalam bukunya Keajaiban Kasih Karunia (1999).

Pria itu sering dipanggil Big Harold. Ia suka mengawasi anak-anak yang riang gembira bermain komidi putar. Ia juga meluangkan waktu bermain catur bersama mereka. Namun, di balik sikap ramahnya, Big Harold suka menghakimi orang lain.

Ia juga membenci orang kulit hitam, sama sekali tidak bisa toleran pada mereka. Ia mengkritik dengan tajam segala sesuatu yang amoral dalam pandangannya lewat surat-surat yang ditulisnya. Ia berhasil menjadi pendeta di sebuah gereja kecil di Afrika. Namun, di balik surat dan khotbah-khotbahnya yang menyuarakan moralitas, Big Harold ternyata menyimpan misteri lain.

Ia melakukan phone-sex, juga berlangganan majalah porno. Ia bahkan menggunting beberapa bagian majalah porno itu, dan mengirimkan guntingan itu kepada beberapa wanita, sambil menuliskan, “Ini yang akan kulakukan padamu.” Moralitas yang begitu kuat ia suarakan dalam khotbah dan surat-suratnya ternyata tak pernah mengubah kondisi hatinya sendiri yang rapuh—bahkan bisa dibilang bobrok.

Ron dan Big Harold adalah contoh orang yang (pernah) menerapkan suatu standar moral untuk menilai kualitas kepribadian seseorang. Mereka menentang keras orang yang orientasi seksualnya berbeda seperti LGBT (lesbian, gay, biseks, dan transgender), juga percabulan dan perzinahan di luar ikatan resmi pernikahan. Dan pada kasus Big Harold ada suatu realitas yang menyedihkan: polisi moral tertawan oleh kejahatannya sendiri.

Belakangan, isu LGBT kembali menyeruak karena ada seruan boikot dari beberapa kalangan, dimulai dari Anwar Abbas, Ketua Bidang Ekonomi PP Muhammadiyah. Seruan itu ia sampaikan karena Starbucks memiliki ideologi bisnis dan pandangan hidup yang tak sesuai dengan ideologi bangsa, pun Howard Schultz selaku CEO Starbucks mendukung gerakan gay atau LGBT (Detik.com, 30-06-2017).

Alih-alih memboikot Starbucks karena isu LGBT, tidakkah terpikir untuk memboikotnya karena alasan lain yang lebih relevan atau spesifik? Karena selain Starbucks, cukup banyak perusahaan luar negeri lainnya yang beroperasi di tanah air dan mendukung gerakan LGBT. Dan perusahaaan-perusahaan itu cukup akrab di kehidupan kita—dari media sosial, ponsel, minuman, hingga sepatu.

Seruan boikot ini pun secara tidak langsung menjadi indikasi, bahwa secara sosial, mau tidak mau, kaum LGBT perlu selalu siap menerima kenyataan: di banyak tempat, di berbagai lapisan masyarakat atau komunitas di Indonesia, mereka (akan) ditolak. Tempat, komunitas, atau masyarakat tersebut menolak mereka karena adanya anggapan umum yang telah dianut: kaum LGBT abnormal.

Jangankan kaum LGBT, orang yang terlambat menikah juga bisa merasakan perlakuan kurang menyenangkan di masyarakat. Saya sendiri mengalaminya. Kalau hadir di pertemuan keluarga besar, Lebaran, Natal, bertemu teman-teman lama, atau di resepsi pernikahan, selalu saja pertanyaan itu muncul: “Kapan menikah?”

Dulu saya termasuk yang ‘sensi’ kalau mendengar pertanyaan itu karena belum menikah. Tapi, mengingat anggapan umum yang berlaku di situ—bahwa pria berumur mendekati kepala empat biasanya sudah punya anak balita—mau bagimana lagi? Lama-lama jadi terbiasa. Masyarakat atau komunitas di berbagai tempat yang saya kunjungi, sejauh yang saya amati, hanya bisa (langsung) maklum kalau yang tidak menikah adalah biarawan atau biarawati. Di luar status itu, siap-siap saja menerima cibiran dan tak jarang tuduhan miring.

Kaum LGBT tentu akan mengalami pertentangan dan konflik yang lebih berat. Pertanyaannya, siap tidak mereka dikucilkan atau bahkan diintimidasi? Febrie Hastiyanto dalam esainya berjudul LGBT dan Norma Baru (2015) mempertanyakan prospek LGBT untuk “menjadi norma baru, atau setidaknya menjadi norma yang diterima sebagai salah satu norma hubungan sosial dan biologis berdasar gender”.

Prospek itu tampaknya sangat kecil. Salah satu indikasinya, tahun lalu, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir menyatakan bahwa kelompok LGBT bisa merusak moral bangsa. Pernyataannya itu dipicu oleh makin merebaknya komunitas LGBT di beberapa universitas di Indonesia. Ada juga indikasi lain, seperti pelarangan bedah buku yang ditulis Irshad Manji, novelis lesbian, beberapa tahun silam. Pemerintah tampaknya tak ingin tinggal diam ketika kaum LGBT menunjukkan eksistensi lewat sebuah acara atau kegiatan yang bersifat publik.

Pada akhirnya, kehadiran kaum LGBT pun menjadi tantangan tersendiri bagi kaum heteroseksual. Memperlakukan kaum LGBT secara wajar dalam kehidupan sehari-hari bisa ditempuh dengan cara menepis fobia bahwa mereka berbahaya. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang berorientasi LGBT, dan itu perlu dikenali kalau sering berinteraksi sosial, bukannya mengucilkannya.

Dalam berinteraksi, sebagian orang mungkin akan seperti Ron, berubah penilaiannya terhadap waria setelah mengenalnya. Dan sebagian mungkin seperti Big Harold, yang selalu yakin bahwa standar moral tertentu harus sama pada semua orang. Pilihan tiap orang dalam memperlakukan orang lain tentu berbeda-beda.

Begitu juga kopi yang dipilih untuk diminum. Tulisan ini—sama seperti banyak tulisan saya lainnya—dibuat di warung kopi sederhana di tepi jalan, segelas kopi cuma Rp5000,00.

*) Penulis lepas, penyuka film, dan penyuka kopi yang belum pernah ngopi di Starbucks

(Keterangan: gambar diambil dari cinemablend.com)

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah membaca, apalagi sampai mau berkomentar. Semua komentar akan saya usahakan tanggapi balik.