Tony
Widiastono, mantan redaktur opini harian Kompas, bercerita bahwa suatu ketika
ia mendapat kiriman e-mail dari seorang penulis yang gigih. "Ini adalah
tulisan saya yang ke-150," kata penulis itu. "Saya sudah mengirim 149
opini selama ini. Bila naskah ini pun tetap ditolak, saya tak akan pernah
berhenti menulis." E-mail itu serta-merta membuat Pak Tony terpana. Ia pun
membalas e-mail itu, menyertakan beberapa pengarahan yang penting untuk
diperhatikan si penulis.
Inilah kisah yang disampaikan Pak Tony dalam seminar Guru Menulis di Media
Massa yang dihelat Kompas, Surya, dan Ikatan Guru Indonesia (IGI) beberapa
tahun lalu di gedung PDAM Surabaya. Dalam ceritanya, ada satu pengarahan yang
diberikannya kepada penulis itu, yang penting untuk disimak bersama. Itu
berkaitan dengan fokus dalam penulisan yang perlu diasah oleh setiap penulis
pemula.
Yang dimaksudkan dengan fokus adalah bagaimana seseorang mengeksplorasi suatu
hal (dalam hal di atas berarti sebuah tema atau bidang penulisan) yang menjadi
minatnya secara kontinyu. Seorang ahli syaraf, Richard Restaak, M.D. menyatakan
dalam bukunya Smart and Smarter bahwa jika kita teratur berlatih dan kemudian
dapat memainkan sebuah lagu dengan piano atau mengayunkan golf dengan benar,
maka kemampuan kita akan bertambah. Bukan hanya dalam hal piano atau golf, tapi
hal ini berlaku dalam hal-hal lain.
Kate DiCamillo, yang menulis buku Because of Winn Dixie (sudah difilmkan)
menulis dua halaman sehari. Ia melakukannya pada saat jam empat pagi. John
Petrucci, gitaris rock ternama dari grup band Dream Theater, mengaku berlatih
dua jam sehari untuk melatih empat teknik bergitar yang berbeda. Hasilnya,
mereka menjadi orang-orang dengan produktivitas dan kreativitas yang tinggi.
Karya-karya mereka diakui dunia.
Seringkali kita bosan dengan sesuatu yang dikerjakan rutin. Beberapa kalangan
bahkan tampaknya membenci kata "rutinitas" yang padahal sangat dekat
dengan kata "fokus". Sebagai dalih untuk berinovasi mereka kemudian
menggembar-gemborkan kedinamisan hidup: "Mari kita cari sesuatu yang
baru!" Padahal, tak jarang ajakan itu semata-mata berangkat dari kemalasan
untuk mengerjakan apa yang seharusnya kita kerjakan. Membiasakan kita lalai,
hidup tanpa fokus.
Tuesday, February 23, 2016
Tuesday, February 16, 2016
Membuat, Mengolah, dan Menerbitkan Tulisan | Catatan 7
"Saya
harap Anda dapat kepuasan saat membaca tulisan ini, sebagaimana saya puas saat
menulisnya."
~ Francis
Quarles, penyair Inggris
Sebuah buku
tentang tulis-menulis tampaknya memang tak perlu tebal, apalagi berkaitan
dengan penulisan kreatif. Dalam memoarnya yang terkenal, On Writing, Stephen King menyatakan
berkali-kali bahwa buku tentang tulis-menulis sebaiknya dibuat seringkas mungkin.
Semakin tebal buku itu, semakin banyak pula omong kosong yang termuat di
dalamnya, demikian kurang lebih ia menekankan.
Kegiatan atau
pekerjaan menulis berkaitan langsung dengan tindakan atau praktik. Semua
penulis yang menulis buku tentang penulisan tentunya berharap agar para
pembacanya segera menulis, bukan hanya berpikir atau berangan-angan menulis.
Demikian pula buku ini tampil dengan maksud yang gamblang sejak judulnya
dibaca: Keep Your Hand Moving!
Saat ini,
manakala dunia penerbitan dan perbukuan makin marak dengan munculnya banyak
penerbit dan buku baru, sebuah buku tentang menulis memang dibutuhkan.
Kata-kata yang menjadi judul buku ini diambil dari sebuah buku karya Natalie
Goldberg. Sebuah pemikiran utama yang dicetuskan oleh Natalie -- beliau
disebut-sebut sebagai pengarang yang berhasil dalam menggugah
kesadaran banyak pembacanya untuk membiasakan diri menulis -- yang dikedepankan
oleh Anwar adalah pentingnya setiap orang memacu diri untuk menulis tanpa
memperhatikan dan membimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan teknik menulis,
tata-bahasa, atau lainnya yang dapat menjadi penghalang.
Secara garis
besar, buku tipis ini memiliki dua landasan berpikir yang penting. Bagian
pertama adalah bagaimana pembaca mengasah keterampilan menulis dan menangani
naskah. Keep your hand moving adalah
seruan Anwar pada sidang pembaca -- utamanya pembaca pemula yang berniat
menekuni dunia penulisan -- agar mengedepankan suara hati saat menuangkan
gagasan dalam tulisan. Walaupun tulisan itu semrawut
dan tak jelas fokusnya, Anwar hendak menegaskan bahwa yang penting: tulislah!
Setelah
menulis, barulah para pembaca diajak untuk menyusuri kembali apa-apa saja yang
telah ditulisnya. Kali ini Anwar mengajak pembaca untuk mengembangkan dan
mendayagunakan kemampuannya mengolah naskah menjadi sebuah tulisan yang baik
dan bisa dinikmati.
Tulisan yang
baik dan bisa dinikmati adalah tulisan yang oleh penulisnya sendiri digarap
penuh kesungguhan. Sebagai seorang editor yang telah lama berpengalaman menangani
berbagai naskah, Anwar sering lelah melihat naskah-naskah yang tidak serius
digarap oleh penulisnya. Masih banyak penulis yang bergantung pada editor untuk
meneliti naskah -- penulis yang memprihatinkan, yang membaca naskahnya sendiri
tak sempat, atau mungkin malah tak berminat.
Padahal,
seorang penulis bertanggungjawab dalam menghasilkan naskah yang siap-baca.
Seorang penulis harus jadi orang pertama yang menikmati tulisannya, seperti
kutipan di atas. Anwar mengajak sidang pembaca untuk bukan hanya menulis, tapi
mengedit dan memoles tulisan agar tampil lebih indah, bahkan berbobot. Bila
kesalahan-kesalahan kecil seperti penggunaan tanda baca atau penyusunan kalimat
masih banyak dilakukan di sana-sini, maka seorang penulis sebenarnya masih belum
memberikan kemampuan terbaiknya.
Hal ini bukan
berarti tugas dan peran editor dikesampingkan. Namun, editor yang menjadi
penjembatan antara penulis dan pembaca pada nantinya memiliki peran lain yang
tak kalah penting, yaitu mengolah sebuah naskah dengan sedemikian rupa sehingga
pada nantinya bisa diminati oleh masyarakat -- selain tetap mengoreksi, memberi
saran, kritik dan masukan atas naskah yang dieditnya.
Bagian kedua
yang disampaikan dalam buku ini berkaitan dengan bagaimana seorang penulis
"menjual" naskahnya kepada media. Bagian ini perlu dicermati dengan
landasan berpikir bahwa seorang penulis yang baik semestinya memiliki keyakinan
bahwa karya tulisnya sudah tidak memiliki kesalahan sebelum dikirimkan untuk
dipublikasikan ke koran, majalah, atau untuk diterbitkan sebagai sebuah buku.
Anwar juga
menyingkapkan beberapa kemungkinan menerbitkan sebuah naskah. Di sinilah ia
tampak leluasa mengajak pembaca menyusuri bidang penulisan yang menjadi minat
masing-masing. Bukunya ini bisa dibaca oleh orang yang suka menulis tulisan
motivasi, inspirasi, sastra, bahkan artikel-artikel populer.
Hal lain yang
masih termasuk dalam bagian kedua adalah bahasannya tentang motivasi menulis.
Seorang penulis yang berniat agar karya-karyanya laku dijual harus memiliki
strategi mengurangi penolakan. Sebab penulis mana pun tak suka menghadapi hal
ini, walau pada kenyataannya hampir semua penulis pernah mengalami penolakan.
Inilah sebuah hal yang sering meresahkan penulis muda. Anwar menawarkan
beberapa solusi seperti membuat proposal sebelum naskah sebuah buku diajukan;
atau bahkan banting setir merambah bidang penulisan lain yang lebih
mendatangkan keuntungan bila naskah-naskah seorang penulis terlalu sering
mengalami penolakan.
Di sini Anwar
tak hanya melejitkan semangat menulis, membuat pembacanya berapi-api. Anwar
juga mengajak sidang pembaca berpikir realistis. Tak jarang, banyak orang
meninggalkan dunia penulisan gara-gara tak memiliki motivasi yang jelas dan
terencana, lalu putus asa. Bila seseorang merencanakan menulis sebagai sarana
meraih penghasilan, maka seseorang perlu mencari berbagai kemungkinan dan
mengenali tren yang membuat
tulisannya laku dijual. Bila seseorang menulis hanya untuk kesenangan dan
aktualisasi diri, tak perlulah mencoba-coba menjual tulisannya. (*)
Identitas
Buku
Judul: Keep Your Hand Moving || Penulis:
Anwar Holid || Penerbit: Gramedia Pustaka Utama || Tebal: 131 halaman || Cetakan
pertama, 2010
Tuesday, February 9, 2016
Membaca Ulang, Menulis Ulang | Catatan 6
You must write your first draft with your heart. You rewrite with your head. The first key to writing is... to write, not to think!"
-- dari film Finding Forrester
Finding Forrester, sebuah film yang berawal dari kecintaan terhadap dunia perbukuan dan kepenulisan, menunjukkan banyak hal penting seputar tulis-menulis pada penontonnya.
William Forrester, tokoh utama dalam film ini adalah seorang pemenang penghargaan Pulitzer lewat karyanya berjudul Avalon Landing. Namun, ia menghilang dan menyendiri setelah meraih penghargaan impian kebanyakan penulis Amerika itu. Sampai suatu ketika seorang pemuda kulit hitam bernama Jamal Wallace menemuinya. Mereka ternyata punya kesamaan minat. Sang pemuda lalu berguru padanya.
"Mulailah menulis. Mulailah dengan halaman pertama. Seringkali irama ketikan datang dari halaman pertama ke halaman kedua. Waktu kau merasakan kata-katamu, mulailah mengetiknya," kata William kepada Jamal, yang tampaknya menjadi aplikasi bagi kutipan di awal tulisan ini.
Ya, kutipan itu kiranya menjadi cermin bagi kemauan dan kemampuan para penulis yang kini makin marak saja bermunculan. Banyak orang, terutama anak muda, yang mau menulis (secara hati), namun belum semuanya benar-benar mampu (secara akal-pikiran) menghasilkan kualitas tulisan yang layak dikonsumsi masyarakat luas.
Di situs jejaring-pertemanan sosial, weblog, bahkan media-media cetak, kini mulai bermunculan para pekerja kreatif dalam tulis-menulis. Suatu keadaan yang amat menggairahkan, namun juga perlu ditanggapi secara lebih cerdas, wajar dan berimbang. Beberapa editor di penerbitan yang saya kenal mengaku kelelahan menangani banyaknya naskah fiksi yang terus berdatangan. Sayangnya, banyak naskah digarap asal-asalan oleh penulisnya.
Dari sinilah sebuah keadaan atas kondisi perbukuan di negeri ini -- baca juga: sastra -- menemukan sebuah persoalan: Banyak karya tulis yang dibuat dengan dangkal, karena penulisnya tak ingin menapaki sebuah proses kreatif membaca ulang dan menulis ulang karyanya. Dan sayangnya, tak banyak pula pembaca yang membaca suatu karya dengan mendalam.
Membaca dengan Mendalam
Mudji Sutrisno, rohaniwan kenamaan itu, pernah mengesalkan pembacaan karya-karya sastra Indonesia yang dilakukan secara dangkal. Kita kekurangan H.B. Jassin yang baru, yang memberikan apresiasi terhadap karya-karya sastra Indonesia tempo dulu. Kita kekurangan telaah dan kritik sastra yang proporsional karena perkembangan sastra yang begitu pesat, terutama dari segi jumlah, apalagi di era canggih-teknologi seperti saat ini. Kritik dan kritikus sastra bisa saja surut karena mengalami kesulitan untuk menemukan, membandingkan, dan membuat suatu telaah atau kritik atas karya-karya sastra yang kini makin beragam saja.
Kritikus sastra yang ada di negeri ini lebih banyak membuat karya untuk dikonsumsi di kalangan ilmuwan. "Sebagian besar peneliti sastra yang berlatar belakang akademik dan menguasai aspek metodologis, justru tidak tekun menyiarkan ulasan-ulasan mereka di media-media publik…," kata Damhuri Muhammad yang rajin menulis esai sastra. Para pembaca yang lebih awam, yang kadangkala membuat esai dan resensi di media cetak, karena terbatas dengan latar-belakang akademisnya, tak jarang juga menghasilkan ulasan yang dinilai "dangkal" oleh sebagian kalangan, meski ulasan itu dibuat dengan niat baik dan upaya memberikan apresiasi yang wajar.
Selain itu, kurangnya kritik sastra dalam perkembangan sastra Indonesia mutakhir, salah satunya disebabkan karena kurang adanya pembaca yang serius membaca karya sastra kita. Editor senior Penerbit Mizan, Hernowo, menegaskan, "... membaca seperti itu (membaca dengan penuh penghayatan, yang disebutnya dengan istilah deep reading) bagaikan bertafakur -- berpikir hati-hati, sistematis, dan mendalam." Ia juga menambahkan, "Apabila seseorang melakukan deep reading dengan benar, dia pasti 'menghasilkan' sesuatu."
Hal yang disampaikan Hernowo berkaitan dengan kegiatan membaca yang secara simultan dapat menghasilkan kegiatan menulis, yang kerap ia sebut sebut sebagai sebuah kegiatan "mengikat makna". Jadi, dari sini kita dapat pula membaca situasi ini: Apa yang dihasilkan oleh seorang penulis sebenarnya merupakan proyeksi dari apa yang telah ia terima dan serap.
Membaca sastra dan karya tulis lainnya dengan serius adalah sebuah tugas yang tidak main-main, apalagi bagi seorang penulis atau kritikus sastra. Itu beban dan tanggung-jawab moral yang berat. Di zaman saat internet menyajikan berita-berita super pendek tentang apa yang terjadi di berbagai belahan dunia, dan siaran berita di televisi menghadirkan flash-news selama semenit dan teks berjalan di layar bagian bawah, kita perlu menilik lagi ketahanan dan dedikasi kita mengunyah pelan-pelan sebuah karya sastra yang berbobot, karena kegiatan membaca semacam ini menyita waktu dan energi.
Menulis dengan Hati-hati
"Putting words on paper is easy. Making those words mean something and capture a reader is much more difficult," tulis seorang blogger.
Eric Sasono, kritikus film peraih penghargaan itu, pernah bersaksi bagaimana sebuah ulasan film ia buat dan kemudian publikasikan. Ia membuat sebuah ulasan setelah menonton sebuah film dengan memperhatikan berbagai aspek pendukungnya dengan jeli. Ia buat ulasan atas film itu, lalu ia endapkan ulasan itu. Sampai beberapa hari kemudian ia merasa sudah waktunya ulasan itu ia sentuh dan baca lagi, ia menulis ulang ulasan itu -- dengan bahasa yang lebih jernih dan tertata.
Saya pernah didatangi beberapa penulis yang mengaku baru saja menyelesaikan cerpen atau karya tulis lainnya. Mereka minta tolong agar semua hal yang bagi saya adalah suatu kesalahan penulisan, diperbaiki. Saya bertanya apakah mereka sendiri sudah membaca ulang karya mereka, mereka jawab tidak. Saya anggap inilah kesalahan yang fatal di kalangan penulis pemula.
William Faulkner, seorang pemenang Nobel Sastra, pernah menyatakan, "Penulis-penulis muda terlalu dungu mengikuti teori. Ajarlah dirimu sendiri melalui kesalahan-kesalahan yang pernah kaulakukan -- orang belajar dari kesalahan. Seniman yang baik tidak boleh berharap pada siapa pun yang mungkin dapat memberi nasihat padanya."
Tidak sedikit penulis yang begitu selesai menulis, langsung mengirim tulisannya ke redaktur atau penerbit. Semangatnya menggebu-gebu, ide dan inspirasi di kepala tidak pernah kering. Tangannya terus menulis segala sesuatu yang memantik gagasan untuk dituangkan dalam kata-kata. Puisi, cerpen, artikel, semua ditulis! Namun, di balik semua itu, salah tulis bertaburan di mana-mana. Inilah yang kerap menjadi alasan penolakan tulisan.
Arie Saptaji, seorang penulis dan penerjemah lepas, dalam makalahnya tentang menulis menyebutkan, "Perbaikan atau penulisan ulang adalah tugas penulis, bukan tugas editor." Setelah sebuah tulisan selesai, tulisan itu perlu diendapkan selama beberapa waktu dengan maksud agar si penulis dapat bersikap lebih objektif terhadap hasil karyanya, memeriksa kekurangan yang ada dalam tulisannya, dan selanjutnya melakukan perbaikan yang diperlukan.
Arie menjelaskan lebih lanjut tentang poin-poin yang perlu diperhatikan dalam perbaikan tulisan. Hal-hal itu menyangkut kejelasan, konsistensi, kebenaran, dan kerapian bahasa yang kita gunakan. Kita juga bisa menilik ulang sebuah hal lain, contohnya: apakah gaya bahasa kita sudah sesuai dengan sasaran pembaca yang kita tuju atau tidak.
Penulisan ulang mematangkan tulisan kita sehingga kita mendapatkan kepuasan yang lebih besar. Jangan sampai setelah tulisan kita terbit, kita kecewa menemukan banyak kesalahan tulis. Dan yang terpenting, penulisan ulang yang dilakukan dengan sungguh-sungguh akan memperbesar peluang untuk membuat editor jatuh hati pada tulisan kita. Seperti yang dinyatakan Alissa King: "You can write something incredibly good but the fact is, it can still be better. Go back with fresh eyes."
Penulis Serius, Pembaca Serius
"Api memperanakkan api," demikianlah kata pepatah. Kedua hal yang menjadi persoalan perbukuan (sastra) kita pada pemaparan di atas, kalau ditelisik dengan mendalam memang sangat berkaitan: seorang penulis yang menggarap karyanya dengan serius akan menemukan pembaca yang serius pula atas karyanya. Demikian pula sebaliknya: kurang adanya pembaca yang serius disebabkan karena kurang adanya penulis yang serius.
"Kebanyakan masyarakat kita, saat ini, memang lebih membutuhkan hiburan ketika membaca (sastra). Tapi saya percaya, ada pembaca yang tidak semata membutuhkan hiburan. Ada pembaca yang membutuhkan tantangan atas bacaan yang dihadapinya," kata Agus Noor, sastrawan yang dikenal sering menghasilkan karya-karya sastra serius dan berbobot.
Daripada pembaca atau kritikus, beban yang lebih berat memang diberikan bagi para penulis -- bila ia memang menulis sesuai panggilan jiwanya untuk memberikan warna baru bagi dunia perbukuan (dan sastra) di negeri ini. Beban itu datang dalam tuntutan baginya untuk membaca lebih banyak buku, membaca ulang karya tulisnya sendiri, dan menulis ulang karya tulisnya sendiri pula, sebelum nanti karyanya itu menghadirkan pencerahan dan kenikmatan membaca yang besar di antara sidang pembaca -- juga kritikus. (*)
(Gambar dari www.dailymail.co.uk)
-- dari film Finding Forrester
Finding Forrester, sebuah film yang berawal dari kecintaan terhadap dunia perbukuan dan kepenulisan, menunjukkan banyak hal penting seputar tulis-menulis pada penontonnya.
William Forrester, tokoh utama dalam film ini adalah seorang pemenang penghargaan Pulitzer lewat karyanya berjudul Avalon Landing. Namun, ia menghilang dan menyendiri setelah meraih penghargaan impian kebanyakan penulis Amerika itu. Sampai suatu ketika seorang pemuda kulit hitam bernama Jamal Wallace menemuinya. Mereka ternyata punya kesamaan minat. Sang pemuda lalu berguru padanya.
"Mulailah menulis. Mulailah dengan halaman pertama. Seringkali irama ketikan datang dari halaman pertama ke halaman kedua. Waktu kau merasakan kata-katamu, mulailah mengetiknya," kata William kepada Jamal, yang tampaknya menjadi aplikasi bagi kutipan di awal tulisan ini.
Ya, kutipan itu kiranya menjadi cermin bagi kemauan dan kemampuan para penulis yang kini makin marak saja bermunculan. Banyak orang, terutama anak muda, yang mau menulis (secara hati), namun belum semuanya benar-benar mampu (secara akal-pikiran) menghasilkan kualitas tulisan yang layak dikonsumsi masyarakat luas.
Di situs jejaring-pertemanan sosial, weblog, bahkan media-media cetak, kini mulai bermunculan para pekerja kreatif dalam tulis-menulis. Suatu keadaan yang amat menggairahkan, namun juga perlu ditanggapi secara lebih cerdas, wajar dan berimbang. Beberapa editor di penerbitan yang saya kenal mengaku kelelahan menangani banyaknya naskah fiksi yang terus berdatangan. Sayangnya, banyak naskah digarap asal-asalan oleh penulisnya.
Dari sinilah sebuah keadaan atas kondisi perbukuan di negeri ini -- baca juga: sastra -- menemukan sebuah persoalan: Banyak karya tulis yang dibuat dengan dangkal, karena penulisnya tak ingin menapaki sebuah proses kreatif membaca ulang dan menulis ulang karyanya. Dan sayangnya, tak banyak pula pembaca yang membaca suatu karya dengan mendalam.
Membaca dengan Mendalam
Mudji Sutrisno, rohaniwan kenamaan itu, pernah mengesalkan pembacaan karya-karya sastra Indonesia yang dilakukan secara dangkal. Kita kekurangan H.B. Jassin yang baru, yang memberikan apresiasi terhadap karya-karya sastra Indonesia tempo dulu. Kita kekurangan telaah dan kritik sastra yang proporsional karena perkembangan sastra yang begitu pesat, terutama dari segi jumlah, apalagi di era canggih-teknologi seperti saat ini. Kritik dan kritikus sastra bisa saja surut karena mengalami kesulitan untuk menemukan, membandingkan, dan membuat suatu telaah atau kritik atas karya-karya sastra yang kini makin beragam saja.
Kritikus sastra yang ada di negeri ini lebih banyak membuat karya untuk dikonsumsi di kalangan ilmuwan. "Sebagian besar peneliti sastra yang berlatar belakang akademik dan menguasai aspek metodologis, justru tidak tekun menyiarkan ulasan-ulasan mereka di media-media publik…," kata Damhuri Muhammad yang rajin menulis esai sastra. Para pembaca yang lebih awam, yang kadangkala membuat esai dan resensi di media cetak, karena terbatas dengan latar-belakang akademisnya, tak jarang juga menghasilkan ulasan yang dinilai "dangkal" oleh sebagian kalangan, meski ulasan itu dibuat dengan niat baik dan upaya memberikan apresiasi yang wajar.
Selain itu, kurangnya kritik sastra dalam perkembangan sastra Indonesia mutakhir, salah satunya disebabkan karena kurang adanya pembaca yang serius membaca karya sastra kita. Editor senior Penerbit Mizan, Hernowo, menegaskan, "... membaca seperti itu (membaca dengan penuh penghayatan, yang disebutnya dengan istilah deep reading) bagaikan bertafakur -- berpikir hati-hati, sistematis, dan mendalam." Ia juga menambahkan, "Apabila seseorang melakukan deep reading dengan benar, dia pasti 'menghasilkan' sesuatu."
Hal yang disampaikan Hernowo berkaitan dengan kegiatan membaca yang secara simultan dapat menghasilkan kegiatan menulis, yang kerap ia sebut sebut sebagai sebuah kegiatan "mengikat makna". Jadi, dari sini kita dapat pula membaca situasi ini: Apa yang dihasilkan oleh seorang penulis sebenarnya merupakan proyeksi dari apa yang telah ia terima dan serap.
Membaca sastra dan karya tulis lainnya dengan serius adalah sebuah tugas yang tidak main-main, apalagi bagi seorang penulis atau kritikus sastra. Itu beban dan tanggung-jawab moral yang berat. Di zaman saat internet menyajikan berita-berita super pendek tentang apa yang terjadi di berbagai belahan dunia, dan siaran berita di televisi menghadirkan flash-news selama semenit dan teks berjalan di layar bagian bawah, kita perlu menilik lagi ketahanan dan dedikasi kita mengunyah pelan-pelan sebuah karya sastra yang berbobot, karena kegiatan membaca semacam ini menyita waktu dan energi.
Menulis dengan Hati-hati
"Putting words on paper is easy. Making those words mean something and capture a reader is much more difficult," tulis seorang blogger.
Eric Sasono, kritikus film peraih penghargaan itu, pernah bersaksi bagaimana sebuah ulasan film ia buat dan kemudian publikasikan. Ia membuat sebuah ulasan setelah menonton sebuah film dengan memperhatikan berbagai aspek pendukungnya dengan jeli. Ia buat ulasan atas film itu, lalu ia endapkan ulasan itu. Sampai beberapa hari kemudian ia merasa sudah waktunya ulasan itu ia sentuh dan baca lagi, ia menulis ulang ulasan itu -- dengan bahasa yang lebih jernih dan tertata.
Saya pernah didatangi beberapa penulis yang mengaku baru saja menyelesaikan cerpen atau karya tulis lainnya. Mereka minta tolong agar semua hal yang bagi saya adalah suatu kesalahan penulisan, diperbaiki. Saya bertanya apakah mereka sendiri sudah membaca ulang karya mereka, mereka jawab tidak. Saya anggap inilah kesalahan yang fatal di kalangan penulis pemula.
William Faulkner, seorang pemenang Nobel Sastra, pernah menyatakan, "Penulis-penulis muda terlalu dungu mengikuti teori. Ajarlah dirimu sendiri melalui kesalahan-kesalahan yang pernah kaulakukan -- orang belajar dari kesalahan. Seniman yang baik tidak boleh berharap pada siapa pun yang mungkin dapat memberi nasihat padanya."
Tidak sedikit penulis yang begitu selesai menulis, langsung mengirim tulisannya ke redaktur atau penerbit. Semangatnya menggebu-gebu, ide dan inspirasi di kepala tidak pernah kering. Tangannya terus menulis segala sesuatu yang memantik gagasan untuk dituangkan dalam kata-kata. Puisi, cerpen, artikel, semua ditulis! Namun, di balik semua itu, salah tulis bertaburan di mana-mana. Inilah yang kerap menjadi alasan penolakan tulisan.
Arie Saptaji, seorang penulis dan penerjemah lepas, dalam makalahnya tentang menulis menyebutkan, "Perbaikan atau penulisan ulang adalah tugas penulis, bukan tugas editor." Setelah sebuah tulisan selesai, tulisan itu perlu diendapkan selama beberapa waktu dengan maksud agar si penulis dapat bersikap lebih objektif terhadap hasil karyanya, memeriksa kekurangan yang ada dalam tulisannya, dan selanjutnya melakukan perbaikan yang diperlukan.
Arie menjelaskan lebih lanjut tentang poin-poin yang perlu diperhatikan dalam perbaikan tulisan. Hal-hal itu menyangkut kejelasan, konsistensi, kebenaran, dan kerapian bahasa yang kita gunakan. Kita juga bisa menilik ulang sebuah hal lain, contohnya: apakah gaya bahasa kita sudah sesuai dengan sasaran pembaca yang kita tuju atau tidak.
Penulisan ulang mematangkan tulisan kita sehingga kita mendapatkan kepuasan yang lebih besar. Jangan sampai setelah tulisan kita terbit, kita kecewa menemukan banyak kesalahan tulis. Dan yang terpenting, penulisan ulang yang dilakukan dengan sungguh-sungguh akan memperbesar peluang untuk membuat editor jatuh hati pada tulisan kita. Seperti yang dinyatakan Alissa King: "You can write something incredibly good but the fact is, it can still be better. Go back with fresh eyes."
Penulis Serius, Pembaca Serius
"Api memperanakkan api," demikianlah kata pepatah. Kedua hal yang menjadi persoalan perbukuan (sastra) kita pada pemaparan di atas, kalau ditelisik dengan mendalam memang sangat berkaitan: seorang penulis yang menggarap karyanya dengan serius akan menemukan pembaca yang serius pula atas karyanya. Demikian pula sebaliknya: kurang adanya pembaca yang serius disebabkan karena kurang adanya penulis yang serius.
"Kebanyakan masyarakat kita, saat ini, memang lebih membutuhkan hiburan ketika membaca (sastra). Tapi saya percaya, ada pembaca yang tidak semata membutuhkan hiburan. Ada pembaca yang membutuhkan tantangan atas bacaan yang dihadapinya," kata Agus Noor, sastrawan yang dikenal sering menghasilkan karya-karya sastra serius dan berbobot.
Daripada pembaca atau kritikus, beban yang lebih berat memang diberikan bagi para penulis -- bila ia memang menulis sesuai panggilan jiwanya untuk memberikan warna baru bagi dunia perbukuan (dan sastra) di negeri ini. Beban itu datang dalam tuntutan baginya untuk membaca lebih banyak buku, membaca ulang karya tulisnya sendiri, dan menulis ulang karya tulisnya sendiri pula, sebelum nanti karyanya itu menghadirkan pencerahan dan kenikmatan membaca yang besar di antara sidang pembaca -- juga kritikus. (*)
(Gambar dari www.dailymail.co.uk)
Tuesday, February 2, 2016
Ke Sumatera, Menuju Rumah Tan Malaka | Catatan 5
SAAT
liburan akhir tahun lalu, saya berencana ke beberapa kota di Jawa, seperti
Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Sidoarjo. Saya punya beberapa teman di
kota-kota itu. 20 Desember 2015 saya berangkat ke Jakarta dari Pontianak menumpang
pesawat. Pesawat berangkat sekitar jam 10 malam, ditunda hampir 2 jam dari
jadwal awal. Saya sampai di Jakarta lewat tengah malam. Di Jakarta, teman baik
yang biasanya menemani saya di Jakarta mengabari, ada tamu dari luar negeri di
rumahnya. Saya tidur beberapa jam di bandara. Dari Bandara Soekarno Hatta saya
langsung menuju Stasiun Gambir, hendak menumpang kereta ke Yogyakarta.
21
Desember 2015, hari masih gelap, matahari belum tampak, saat Bus Damri dari
bandara sampai di stasiun. Saya membeli secangkir kopi di mart di
dalam stasiun. Sambil ngopi, saya berpikir, mungkin juga teman-teman saya
lainnya di Jawa punya acara masing-masing, apalagi menjelang akhir
tahun—ada yang merayakan Natal, atau berlibur. Setelah ngopi, dan hari mulai
terang, saya berjalan-jalan, melihat-lihat. Pandangan saya tertuju pada sebuah
loket. Saya dekati, ternyata itu loket yang menjual tiket bus ke Lampung.
Setelah menimbang-nimbang selama beberapa menit, saya pun memutuskan menyeberang ke Sumatra. Seumur hidup, saya belum pernah menginjakkan kaki di Pulau Sumatra. Saya menunggu loket dibuka, mendapatkan tiket bus jam 10. Ketika memesan tiket bus, tujuan pertama yang terlintas di benak saya adalah rumah Tan Malaka di Suliki, Sumatra Barat, bukan tempat-tempat wisata.
Setelah menimbang-nimbang selama beberapa menit, saya pun memutuskan menyeberang ke Sumatra. Seumur hidup, saya belum pernah menginjakkan kaki di Pulau Sumatra. Saya menunggu loket dibuka, mendapatkan tiket bus jam 10. Ketika memesan tiket bus, tujuan pertama yang terlintas di benak saya adalah rumah Tan Malaka di Suliki, Sumatra Barat, bukan tempat-tempat wisata.
Sudah lama saya mengagumi sosok dan
pemikiran Tan Malaka. Saya mengoleksi beberapa bukunya, menyimpan tulisan-tulisannya
yang disalin dan disebar di Internet. Bagi saya, judul buku tentang sosok
beliau yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia sangat tepat: “Bapak
Republik yang Dilupakan”. Saya pernah membuat dua tulisan tentang Tan Malaka,
saya publikasikan di blog saya dan Kompasiana:
1. Tan Malaka: Penulis dan Negarawan yang Visioner
2. Tan Malaka, Komunisme, Pancasila, dan Warisan Pemikirannya
Perjalanan ke Lampung memakan waktu 9 jam, termasuk istirahat di rumah makan. Dalam bus saya banyak mengobrol dan bertanya kepada ibu yang duduk di samping saya tentang kota-kota di Sumatra. Beliau enak diajak bicara. Darinya saya memperoleh informasi, kalau ke Bukittinggi, dari Lampung saya bisa ke Palembang dulu dengan menumpang kereta. Lalu, dari Palembang menumpang bus tujuan Padang, Bukittinggi, dan sekitarnya.
1. Tan Malaka: Penulis dan Negarawan yang Visioner
2. Tan Malaka, Komunisme, Pancasila, dan Warisan Pemikirannya
Perjalanan ke Lampung memakan waktu 9 jam, termasuk istirahat di rumah makan. Dalam bus saya banyak mengobrol dan bertanya kepada ibu yang duduk di samping saya tentang kota-kota di Sumatra. Beliau enak diajak bicara. Darinya saya memperoleh informasi, kalau ke Bukittinggi, dari Lampung saya bisa ke Palembang dulu dengan menumpang kereta. Lalu, dari Palembang menumpang bus tujuan Padang, Bukittinggi, dan sekitarnya.
Bus
yang membawa saya ke Lampung sampai di Stasiun Tanjungkarang, Lampung, sekitar jam
7 malam. Stasiun itu berada persis di samping Terminal Tanjungkarang.
Saya pun turun di depan stasiun, menuju loket. Saya beruntung, tiket Kereta Api
Sriwijaya II dari Lampung ke Palembang masih tersedia malam itu.
***
22 Desember 2015, saya sampai di Stasiun Kertapati, Palembang, sekitar jam 9 pagi. Di situ saya bertanya kepada petugas stasiun, angkutan apa yang bisa membawa saya ke Jembatan Ampera. Dia menyarankan menggunakan ojek. Di luar stasiun, banyak tukang ojek menawarkan jasa. Diantar tukang ojek, saya sampai di Jembatan Ampera. Tak jauh dari jembatan itu ada Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera). Tak jauh dari Monpera ada bakul yang berjualan pempek lenggang bakar. Saya lumayan suka makan pempek; tapi makan pempek di Palembang jelas lain rasanya.
22 Desember 2015, saya sampai di Stasiun Kertapati, Palembang, sekitar jam 9 pagi. Di situ saya bertanya kepada petugas stasiun, angkutan apa yang bisa membawa saya ke Jembatan Ampera. Dia menyarankan menggunakan ojek. Di luar stasiun, banyak tukang ojek menawarkan jasa. Diantar tukang ojek, saya sampai di Jembatan Ampera. Tak jauh dari jembatan itu ada Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera). Tak jauh dari Monpera ada bakul yang berjualan pempek lenggang bakar. Saya lumayan suka makan pempek; tapi makan pempek di Palembang jelas lain rasanya.
Setelah
makan, melihat-lihat, dan berfoto, saya duduk di bangku dekat Monpera, mencari
informasi di ponsel saya informasi bus yang berangkat dari Palembang ke
Bukittinggi. Bus itu namanya Yoanda Prima. Sayangnya, batere ponsel saya habis
saat saya belum mengecek jadwal keberangkatan bus itu. Saya pun bertanya kepada
seorang tukang ojek jadwal keberangkatan bus itu. Dia tidak tahu, malah
mengajak saya langsung mengecek ke kantornya di Jalan Soekarno-Hatta. Saya
tidak serta-merta menyetujui.
Orang
berikutnya yang saya tanyai adalah petugas jaga di pemberhentian Bus Trans Musi. Ia mengatakan
ada bus dalam kota yang bisa membawa saya ke kantor Bus Yoanda Prima untuk
mengecek jadwal keberangkatan. Saya diberinya arahan: naik bus Trans Musi,
turun di dekat persimpangan Jalan Soekarno-Hatta. Dari situ, baru naik ojek ke
kantor bus itu. Saya pun mengikuti arahannya.
Sampai
di kantor bus itu saya kecewa, bus terakhir baru saja berangkat. Saya pun
memesan tiket untuk berangkat keesokan harinya. Saya pikir, tak masalah menginap
semalam di Palembang. Diantar tukang ojek, saya kembali ke pusat kota, tak jauh
dari Monpera, mendapat penginapan tak jauh dari Kantor Pos. Di penginapan itu
saya beristirahat beberapa jam. Dari sore hingga malam, saya menikmati
keramaian pasar malam di depan Benteng Kota Besak. Penjual segala macam barang
tumpah-ruah di depan benteng, ada juga kereta-kereta berlampu warna-warni yang
digenjot beberapa orang. Dari situ tampak Jembatan Ampera yang tali-talinya dihiasi
lampu panjang berwarna-warni. Ditemani jagung bakar dan kopi, suasana malam di tepi
Sungai Musi pada Hari Ibu itu jadi menyenangkan.
***
23 Desember 2015, jam 11 siang, Bus Yoanda Prima berangkat dari Palembang. Perjalanan ke Bukittinggi ditempuh selama 18 jam. 24 Desember 2015, jam 5 pagi, saya sampai di Bukittinggi. Dari terminal, saya diantar tukang ojek ke Jam Gadang. Banyak orang sedang senam pagi saat saya sampai di sana. Saya bertanya ke seorang penjaga warung, di mana mencari tempat penginapan dan penyewaan sepeda motor. Penjaga warung mengarahkan saya untuk melintasi jalan yang menuju Jembatan Limpapeh. Katanya, tidak jauh dari jembatan itu, banyak penginapan.
Saat berada di dekat jembatan itu, saya sarapan dan ngopi di sebuah warung tenda. Saat saya bertanya di mana bisa menyewa sepeda motor untuk saya gunakan ke Payakumbuh, ke rumah Tan Malaka, penjaga warung berkata penyewaan motor sudah jarang. Informasi itu agak berbeda dengan yang pernah saya terima dari kawan saya, bahwa di Bukittinggi ada sepeda motor yang bisa disewa. Dari warung itu saya berjalan kaki, mampir ke Benteng Fort de Kock yang berada tak jauh dari situ. Sekembali dari benteng, sekitar jam 10 siang, saya pun bertanya lagi kepada beberapa orang perihal sepeda motor sewaan sembari mencari penginapan.
Dari
hasil mengobrol dengan beberapa orang di dekat Jembatan Limpapeh (tukang
parkir, tukang ojek, dan penjaga hotel), saya pun jadi tahu bahwa turis
domestik hampir selalu tidak diizinkan menyewa sepeda motor; berbeda dengan
turis mancanegara. Sebabnya, di Bukittinggi beberapa kali terjadi, turis
domestik membawa kabur sepeda motor sewaan. Saya pun mencari cara, bagaimana
caranya supaya saya dapat menyewa sepeda motor—karena menyewa mobil biayanya
jauh lebih besar, dan saya hanya sendirian. Dari seorang penjaga hotel, saya
mendapat nomor ponsel orang yang biasanya menyewakan sepeda motor.
Saya
memutuskan check in di sebuah hotel dan meninggalkan hampir semua barang bawaan
saya di kamar hotel. Pemilik sepeda motor saya hubungi untuk membawa sepeda motornya
ke hotel itu. Saya tunjukkan kuitansi check in dan nomor kamar saya kepadanya, juga mengenalkannya kepada petugas hotel. Saya memberikan KTP saya sebagai jaminan. Lega,
sepeda motor pun berhasil saya sewa.
Saya mampir ke rumah kelahiran Bung Hatta sebelum ke rumah Tan Malaka. Lokasinya berada di tengah kota, hanya sepuluh menit waktu yang saya perlukan dari hotel tempat saya menginap di dekat Jembatan Limpapeh.
Saya mampir ke rumah kelahiran Bung Hatta sebelum ke rumah Tan Malaka. Lokasinya berada di tengah kota, hanya sepuluh menit waktu yang saya perlukan dari hotel tempat saya menginap di dekat Jembatan Limpapeh.
Kamar
itu berada di bagian paling depan, di samping teras rumah. Di dalamnya ada meja
dan kursi yang menghadap jendela—siapa pun yang duduk di kursi itu akan
langsung memandang jalan di depan rumah kalau jendela itu terbuka. Dari hasil
belajar Bung Hatta—sangat mungkin sering ia lakukan di kamarnya—lahirlah
pemikiran tentang koperasi. Dari tangannya lahirlah tulisan-tulisan tentang
kesejahteraan masyarakat. Sosok Bung Hatta tak pernah jauh dari kedisiplinan
dan ketekunan.
Ketika
berada di rumahnya, saya teringat kata-kata seorang sejarawan, bahwa artefak
atau barang-barang yang ditinggalkan seseorang atau masyarakat masa lalu,
menolong orang-orang pada masa kini untuk tak hanya melihat barang itu sebatas
barang, tapi semangat, cita-cita, dan gejolak kehidupan masa lalu.
Dari masa lalu—dari kehidupan Bung Hatta bersama barang-barang yang ia tinggalkan—tak jarang orang menjadi sadar, bahwa di masa lalu dapat ditemukan pelajaran penting bagi kehidupan di masa kini. Tentang Bung Hatta, Iwan Fals pernah menulis lagu: "... bernisan bangga, berkafan doa, dari kami yang merindukan orang sepertimu."
***
DARI rumah Bung Hatta, saya menuju Payakumbuh, 30 kilometer dari Bukittinggi. Awalnya, saya kira rumah Tan Malaka berada tak jauh dari Payakumbuh. Setelah bertanya kepada seorang pedagang di Payakumbuh, saya baru tahu, rumah itu masih 30 kilometer jaraknya dari situ. Rumah Tan Malaka berada di Jalan Tan Malaka yang mungkin merupakan jalan terpanjang di Payakumbuh-Suliki. Jalan itu awalnya lebar, tapi lama-lama mengecil. Panjang, tapi sunyi, begitulah kondisi sebagian besar jalan itu—mirip jalan hidup Tan Malaka.
Rumah
Tan Malaka berada sekitar 10 kilometer selepas Pasar Suliki. Selepas pasar itu,
banyak sawah di kiri-kanan jalan, juga bukit-bukit kecil. Rumah Tan Malaka
berada di dekat sebuah tebing yang berada di kiri jalan. Rumah itu berada tak
persis di tepi jalan sehingga ada rumah lain bercat kuning yang membantu dengan
menempelkan tulisan "Rumah Tan Malaka" agar pengunjung tidak tersesat.
Saya hanya sendirian saat sampai di situ. Awalnya saya pikir rumah itu dikunci. Tidak
sampai lima menit kemudian, datang dua anak kecil, masing-masing bernama Yogi
(kelas 6 SD) dan adiknya, Gilang (kelas 2 SD), menemani saya. Mereka berkata bahwa rumah itu tidak dikunci.
Kami
bertiga pun masuk ke dalam. Di dalam ada foto-foto; buku-buku yang diletakkan dalam sebuah
lemari kaca; juga perabotan yang digunakan saat Tan Malaka masih hidup, yaitu
kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah ini kurang terawat—lantainya bergoyang-goyang,
kotor, dan beberapa perabotan sudah rusak.
Di depan rumah Tan Malaka ada kolam—saya tidak yakin sudah ada sejak dulu. Suasana di situ tenang dan asri. Di rumah itu, saya teringat kiprah Tan Malaka. Ia bapak bangsa yang dilupakan, padahal memiliki visi yang jelas tentang Indonesia ke depan lewat tulisan-tulisannya. Ia sering dikejar-kejar polisi Belanda karena dianggap membahayakan, sering menjadi penyamar. Ia melanglang buana ke berbagai penjuru dunia, juga harus menanggung akibat perjuangannya dari penjara ke penjara.
Sungguh
tidak terduga, dari rumah yang hening di tepi tebing, seorang bapak bangsa
lahir. Tulisan-tulisan Tan Malaka dari dulu hingga kini terus dipelajari,
menjadi saksi bahwa perjalanan hidupnya penuh dengan kebulatan tekad mewujudkan
Indonesia yang merdeka dan mandiri.
Saya kembali ke Payakumbuh, melanjutkan perjalanan ke Batusangkar, hendak melihat Istana Pagaruyung. Sepanjang perjalanan pulang saya gembira. Ah, akhirnya sampai juga di rumah itu. Tan Malaka, seumur hidupnya ia melanglang buana ke berbagai penjuru dunia, juga penjara, ternyata... rumahnya begitu hening di kaki tebing.
Saya sampai di Istana Pagaruyung saat hampir malam. Dari situ saya kembali ke Bukittinggi. Keesokan harinya, 25 Desember 2015, saya sempat mampir ke Lobang Jepang, Ngarai Sianok, dan lewat Danau Maninjau. Setelah itu saya ke Padang. Di Padang saya menginap semalam, lalu kembali ke Jakarta. Dari Jakarta, saya kembali ke Pontianak.
Perjalanan ke Sumatra tak terlupakan. Sungguh, sebuah perjalanan tanpa rencana yang masih berkesan hingga saya menulis catatan ini. Hanya membawa beberapa pakaian dan barang-barang yang memang sangat diperlukan di sebuah tas ransel, saya berkelana. (*)
Saya kembali ke Payakumbuh, melanjutkan perjalanan ke Batusangkar, hendak melihat Istana Pagaruyung. Sepanjang perjalanan pulang saya gembira. Ah, akhirnya sampai juga di rumah itu. Tan Malaka, seumur hidupnya ia melanglang buana ke berbagai penjuru dunia, juga penjara, ternyata... rumahnya begitu hening di kaki tebing.
Saya sampai di Istana Pagaruyung saat hampir malam. Dari situ saya kembali ke Bukittinggi. Keesokan harinya, 25 Desember 2015, saya sempat mampir ke Lobang Jepang, Ngarai Sianok, dan lewat Danau Maninjau. Setelah itu saya ke Padang. Di Padang saya menginap semalam, lalu kembali ke Jakarta. Dari Jakarta, saya kembali ke Pontianak.
Perjalanan ke Sumatra tak terlupakan. Sungguh, sebuah perjalanan tanpa rencana yang masih berkesan hingga saya menulis catatan ini. Hanya membawa beberapa pakaian dan barang-barang yang memang sangat diperlukan di sebuah tas ransel, saya berkelana. (*)
Sidik
Nugroho
Pontianak, 31 Januari-1 Februari 2016
Subscribe to:
Posts (Atom)