SAAT
liburan akhir tahun lalu, saya berencana ke beberapa kota di Jawa, seperti
Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Sidoarjo. Saya punya beberapa teman di
kota-kota itu. 20 Desember 2015 saya berangkat ke Jakarta dari Pontianak menumpang
pesawat. Pesawat berangkat sekitar jam 10 malam, ditunda hampir 2 jam dari
jadwal awal. Saya sampai di Jakarta lewat tengah malam. Di Jakarta, teman baik
yang biasanya menemani saya di Jakarta mengabari, ada tamu dari luar negeri di
rumahnya. Saya tidur beberapa jam di bandara. Dari Bandara Soekarno Hatta saya
langsung menuju Stasiun Gambir, hendak menumpang kereta ke Yogyakarta.
21
Desember 2015, hari masih gelap, matahari belum tampak, saat Bus Damri dari
bandara sampai di stasiun. Saya membeli secangkir kopi di mart di
dalam stasiun. Sambil ngopi, saya berpikir, mungkin juga teman-teman saya
lainnya di Jawa punya acara masing-masing, apalagi menjelang akhir
tahun—ada yang merayakan Natal, atau berlibur. Setelah ngopi, dan hari mulai
terang, saya berjalan-jalan, melihat-lihat. Pandangan saya tertuju pada sebuah
loket. Saya dekati, ternyata itu loket yang menjual tiket bus ke Lampung.
Setelah menimbang-nimbang selama beberapa menit, saya pun memutuskan menyeberang ke Sumatra. Seumur hidup, saya belum pernah menginjakkan kaki di Pulau Sumatra. Saya menunggu loket dibuka, mendapatkan tiket bus jam 10. Ketika memesan tiket bus, tujuan pertama yang terlintas di benak saya adalah rumah Tan Malaka di Suliki, Sumatra Barat, bukan tempat-tempat wisata.
Setelah menimbang-nimbang selama beberapa menit, saya pun memutuskan menyeberang ke Sumatra. Seumur hidup, saya belum pernah menginjakkan kaki di Pulau Sumatra. Saya menunggu loket dibuka, mendapatkan tiket bus jam 10. Ketika memesan tiket bus, tujuan pertama yang terlintas di benak saya adalah rumah Tan Malaka di Suliki, Sumatra Barat, bukan tempat-tempat wisata.
Sudah lama saya mengagumi sosok dan
pemikiran Tan Malaka. Saya mengoleksi beberapa bukunya, menyimpan tulisan-tulisannya
yang disalin dan disebar di Internet. Bagi saya, judul buku tentang sosok
beliau yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia sangat tepat: “Bapak
Republik yang Dilupakan”. Saya pernah membuat dua tulisan tentang Tan Malaka,
saya publikasikan di blog saya dan Kompasiana:
1. Tan Malaka: Penulis dan Negarawan yang Visioner
2. Tan Malaka, Komunisme, Pancasila, dan Warisan Pemikirannya
Perjalanan ke Lampung memakan waktu 9 jam, termasuk istirahat di rumah makan. Dalam bus saya banyak mengobrol dan bertanya kepada ibu yang duduk di samping saya tentang kota-kota di Sumatra. Beliau enak diajak bicara. Darinya saya memperoleh informasi, kalau ke Bukittinggi, dari Lampung saya bisa ke Palembang dulu dengan menumpang kereta. Lalu, dari Palembang menumpang bus tujuan Padang, Bukittinggi, dan sekitarnya.
1. Tan Malaka: Penulis dan Negarawan yang Visioner
2. Tan Malaka, Komunisme, Pancasila, dan Warisan Pemikirannya
Perjalanan ke Lampung memakan waktu 9 jam, termasuk istirahat di rumah makan. Dalam bus saya banyak mengobrol dan bertanya kepada ibu yang duduk di samping saya tentang kota-kota di Sumatra. Beliau enak diajak bicara. Darinya saya memperoleh informasi, kalau ke Bukittinggi, dari Lampung saya bisa ke Palembang dulu dengan menumpang kereta. Lalu, dari Palembang menumpang bus tujuan Padang, Bukittinggi, dan sekitarnya.
Bus
yang membawa saya ke Lampung sampai di Stasiun Tanjungkarang, Lampung, sekitar jam
7 malam. Stasiun itu berada persis di samping Terminal Tanjungkarang.
Saya pun turun di depan stasiun, menuju loket. Saya beruntung, tiket Kereta Api
Sriwijaya II dari Lampung ke Palembang masih tersedia malam itu.
***
22 Desember 2015, saya sampai di Stasiun Kertapati, Palembang, sekitar jam 9 pagi. Di situ saya bertanya kepada petugas stasiun, angkutan apa yang bisa membawa saya ke Jembatan Ampera. Dia menyarankan menggunakan ojek. Di luar stasiun, banyak tukang ojek menawarkan jasa. Diantar tukang ojek, saya sampai di Jembatan Ampera. Tak jauh dari jembatan itu ada Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera). Tak jauh dari Monpera ada bakul yang berjualan pempek lenggang bakar. Saya lumayan suka makan pempek; tapi makan pempek di Palembang jelas lain rasanya.
22 Desember 2015, saya sampai di Stasiun Kertapati, Palembang, sekitar jam 9 pagi. Di situ saya bertanya kepada petugas stasiun, angkutan apa yang bisa membawa saya ke Jembatan Ampera. Dia menyarankan menggunakan ojek. Di luar stasiun, banyak tukang ojek menawarkan jasa. Diantar tukang ojek, saya sampai di Jembatan Ampera. Tak jauh dari jembatan itu ada Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera). Tak jauh dari Monpera ada bakul yang berjualan pempek lenggang bakar. Saya lumayan suka makan pempek; tapi makan pempek di Palembang jelas lain rasanya.
Setelah
makan, melihat-lihat, dan berfoto, saya duduk di bangku dekat Monpera, mencari
informasi di ponsel saya informasi bus yang berangkat dari Palembang ke
Bukittinggi. Bus itu namanya Yoanda Prima. Sayangnya, batere ponsel saya habis
saat saya belum mengecek jadwal keberangkatan bus itu. Saya pun bertanya kepada
seorang tukang ojek jadwal keberangkatan bus itu. Dia tidak tahu, malah
mengajak saya langsung mengecek ke kantornya di Jalan Soekarno-Hatta. Saya
tidak serta-merta menyetujui.
Orang
berikutnya yang saya tanyai adalah petugas jaga di pemberhentian Bus Trans Musi. Ia mengatakan
ada bus dalam kota yang bisa membawa saya ke kantor Bus Yoanda Prima untuk
mengecek jadwal keberangkatan. Saya diberinya arahan: naik bus Trans Musi,
turun di dekat persimpangan Jalan Soekarno-Hatta. Dari situ, baru naik ojek ke
kantor bus itu. Saya pun mengikuti arahannya.
Sampai
di kantor bus itu saya kecewa, bus terakhir baru saja berangkat. Saya pun
memesan tiket untuk berangkat keesokan harinya. Saya pikir, tak masalah menginap
semalam di Palembang. Diantar tukang ojek, saya kembali ke pusat kota, tak jauh
dari Monpera, mendapat penginapan tak jauh dari Kantor Pos. Di penginapan itu
saya beristirahat beberapa jam. Dari sore hingga malam, saya menikmati
keramaian pasar malam di depan Benteng Kota Besak. Penjual segala macam barang
tumpah-ruah di depan benteng, ada juga kereta-kereta berlampu warna-warni yang
digenjot beberapa orang. Dari situ tampak Jembatan Ampera yang tali-talinya dihiasi
lampu panjang berwarna-warni. Ditemani jagung bakar dan kopi, suasana malam di tepi
Sungai Musi pada Hari Ibu itu jadi menyenangkan.
***
23 Desember 2015, jam 11 siang, Bus Yoanda Prima berangkat dari Palembang. Perjalanan ke Bukittinggi ditempuh selama 18 jam. 24 Desember 2015, jam 5 pagi, saya sampai di Bukittinggi. Dari terminal, saya diantar tukang ojek ke Jam Gadang. Banyak orang sedang senam pagi saat saya sampai di sana. Saya bertanya ke seorang penjaga warung, di mana mencari tempat penginapan dan penyewaan sepeda motor. Penjaga warung mengarahkan saya untuk melintasi jalan yang menuju Jembatan Limpapeh. Katanya, tidak jauh dari jembatan itu, banyak penginapan.
Saat berada di dekat jembatan itu, saya sarapan dan ngopi di sebuah warung tenda. Saat saya bertanya di mana bisa menyewa sepeda motor untuk saya gunakan ke Payakumbuh, ke rumah Tan Malaka, penjaga warung berkata penyewaan motor sudah jarang. Informasi itu agak berbeda dengan yang pernah saya terima dari kawan saya, bahwa di Bukittinggi ada sepeda motor yang bisa disewa. Dari warung itu saya berjalan kaki, mampir ke Benteng Fort de Kock yang berada tak jauh dari situ. Sekembali dari benteng, sekitar jam 10 siang, saya pun bertanya lagi kepada beberapa orang perihal sepeda motor sewaan sembari mencari penginapan.
Dari
hasil mengobrol dengan beberapa orang di dekat Jembatan Limpapeh (tukang
parkir, tukang ojek, dan penjaga hotel), saya pun jadi tahu bahwa turis
domestik hampir selalu tidak diizinkan menyewa sepeda motor; berbeda dengan
turis mancanegara. Sebabnya, di Bukittinggi beberapa kali terjadi, turis
domestik membawa kabur sepeda motor sewaan. Saya pun mencari cara, bagaimana
caranya supaya saya dapat menyewa sepeda motor—karena menyewa mobil biayanya
jauh lebih besar, dan saya hanya sendirian. Dari seorang penjaga hotel, saya
mendapat nomor ponsel orang yang biasanya menyewakan sepeda motor.
Saya
memutuskan check in di sebuah hotel dan meninggalkan hampir semua barang bawaan
saya di kamar hotel. Pemilik sepeda motor saya hubungi untuk membawa sepeda motornya
ke hotel itu. Saya tunjukkan kuitansi check in dan nomor kamar saya kepadanya, juga mengenalkannya kepada petugas hotel. Saya memberikan KTP saya sebagai jaminan. Lega,
sepeda motor pun berhasil saya sewa.
Saya mampir ke rumah kelahiran Bung Hatta sebelum ke rumah Tan Malaka. Lokasinya berada di tengah kota, hanya sepuluh menit waktu yang saya perlukan dari hotel tempat saya menginap di dekat Jembatan Limpapeh.
Saya mampir ke rumah kelahiran Bung Hatta sebelum ke rumah Tan Malaka. Lokasinya berada di tengah kota, hanya sepuluh menit waktu yang saya perlukan dari hotel tempat saya menginap di dekat Jembatan Limpapeh.
Kamar
itu berada di bagian paling depan, di samping teras rumah. Di dalamnya ada meja
dan kursi yang menghadap jendela—siapa pun yang duduk di kursi itu akan
langsung memandang jalan di depan rumah kalau jendela itu terbuka. Dari hasil
belajar Bung Hatta—sangat mungkin sering ia lakukan di kamarnya—lahirlah
pemikiran tentang koperasi. Dari tangannya lahirlah tulisan-tulisan tentang
kesejahteraan masyarakat. Sosok Bung Hatta tak pernah jauh dari kedisiplinan
dan ketekunan.
Ketika
berada di rumahnya, saya teringat kata-kata seorang sejarawan, bahwa artefak
atau barang-barang yang ditinggalkan seseorang atau masyarakat masa lalu,
menolong orang-orang pada masa kini untuk tak hanya melihat barang itu sebatas
barang, tapi semangat, cita-cita, dan gejolak kehidupan masa lalu.
Dari masa lalu—dari kehidupan Bung Hatta bersama barang-barang yang ia tinggalkan—tak jarang orang menjadi sadar, bahwa di masa lalu dapat ditemukan pelajaran penting bagi kehidupan di masa kini. Tentang Bung Hatta, Iwan Fals pernah menulis lagu: "... bernisan bangga, berkafan doa, dari kami yang merindukan orang sepertimu."
***
DARI rumah Bung Hatta, saya menuju Payakumbuh, 30 kilometer dari Bukittinggi. Awalnya, saya kira rumah Tan Malaka berada tak jauh dari Payakumbuh. Setelah bertanya kepada seorang pedagang di Payakumbuh, saya baru tahu, rumah itu masih 30 kilometer jaraknya dari situ. Rumah Tan Malaka berada di Jalan Tan Malaka yang mungkin merupakan jalan terpanjang di Payakumbuh-Suliki. Jalan itu awalnya lebar, tapi lama-lama mengecil. Panjang, tapi sunyi, begitulah kondisi sebagian besar jalan itu—mirip jalan hidup Tan Malaka.
Rumah
Tan Malaka berada sekitar 10 kilometer selepas Pasar Suliki. Selepas pasar itu,
banyak sawah di kiri-kanan jalan, juga bukit-bukit kecil. Rumah Tan Malaka
berada di dekat sebuah tebing yang berada di kiri jalan. Rumah itu berada tak
persis di tepi jalan sehingga ada rumah lain bercat kuning yang membantu dengan
menempelkan tulisan "Rumah Tan Malaka" agar pengunjung tidak tersesat.
Saya hanya sendirian saat sampai di situ. Awalnya saya pikir rumah itu dikunci. Tidak
sampai lima menit kemudian, datang dua anak kecil, masing-masing bernama Yogi
(kelas 6 SD) dan adiknya, Gilang (kelas 2 SD), menemani saya. Mereka berkata bahwa rumah itu tidak dikunci.
Kami
bertiga pun masuk ke dalam. Di dalam ada foto-foto; buku-buku yang diletakkan dalam sebuah
lemari kaca; juga perabotan yang digunakan saat Tan Malaka masih hidup, yaitu
kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah ini kurang terawat—lantainya bergoyang-goyang,
kotor, dan beberapa perabotan sudah rusak.
Di depan rumah Tan Malaka ada kolam—saya tidak yakin sudah ada sejak dulu. Suasana di situ tenang dan asri. Di rumah itu, saya teringat kiprah Tan Malaka. Ia bapak bangsa yang dilupakan, padahal memiliki visi yang jelas tentang Indonesia ke depan lewat tulisan-tulisannya. Ia sering dikejar-kejar polisi Belanda karena dianggap membahayakan, sering menjadi penyamar. Ia melanglang buana ke berbagai penjuru dunia, juga harus menanggung akibat perjuangannya dari penjara ke penjara.
Sungguh
tidak terduga, dari rumah yang hening di tepi tebing, seorang bapak bangsa
lahir. Tulisan-tulisan Tan Malaka dari dulu hingga kini terus dipelajari,
menjadi saksi bahwa perjalanan hidupnya penuh dengan kebulatan tekad mewujudkan
Indonesia yang merdeka dan mandiri.
Saya kembali ke Payakumbuh, melanjutkan perjalanan ke Batusangkar, hendak melihat Istana Pagaruyung. Sepanjang perjalanan pulang saya gembira. Ah, akhirnya sampai juga di rumah itu. Tan Malaka, seumur hidupnya ia melanglang buana ke berbagai penjuru dunia, juga penjara, ternyata... rumahnya begitu hening di kaki tebing.
Saya sampai di Istana Pagaruyung saat hampir malam. Dari situ saya kembali ke Bukittinggi. Keesokan harinya, 25 Desember 2015, saya sempat mampir ke Lobang Jepang, Ngarai Sianok, dan lewat Danau Maninjau. Setelah itu saya ke Padang. Di Padang saya menginap semalam, lalu kembali ke Jakarta. Dari Jakarta, saya kembali ke Pontianak.
Perjalanan ke Sumatra tak terlupakan. Sungguh, sebuah perjalanan tanpa rencana yang masih berkesan hingga saya menulis catatan ini. Hanya membawa beberapa pakaian dan barang-barang yang memang sangat diperlukan di sebuah tas ransel, saya berkelana. (*)
Saya kembali ke Payakumbuh, melanjutkan perjalanan ke Batusangkar, hendak melihat Istana Pagaruyung. Sepanjang perjalanan pulang saya gembira. Ah, akhirnya sampai juga di rumah itu. Tan Malaka, seumur hidupnya ia melanglang buana ke berbagai penjuru dunia, juga penjara, ternyata... rumahnya begitu hening di kaki tebing.
Saya sampai di Istana Pagaruyung saat hampir malam. Dari situ saya kembali ke Bukittinggi. Keesokan harinya, 25 Desember 2015, saya sempat mampir ke Lobang Jepang, Ngarai Sianok, dan lewat Danau Maninjau. Setelah itu saya ke Padang. Di Padang saya menginap semalam, lalu kembali ke Jakarta. Dari Jakarta, saya kembali ke Pontianak.
Perjalanan ke Sumatra tak terlupakan. Sungguh, sebuah perjalanan tanpa rencana yang masih berkesan hingga saya menulis catatan ini. Hanya membawa beberapa pakaian dan barang-barang yang memang sangat diperlukan di sebuah tas ransel, saya berkelana. (*)
Sidik
Nugroho
Pontianak, 31 Januari-1 Februari 2016
Membaca tulisan ini saya jadi membayangkan seorang backpacker yang sering saya jumpai di Bali..keberanian dan kenekatan sangat diperlukan untuk melakukan perjalanan seperti ini..yang paling mengusik benak ssya adalah perjalanan pak Sidik ke rumah Tan Malaka...saya dan Pak Sidik mungkin pernah berada dalam era yang sama dimana nama Tan Malaks dianggap tabu bahkan disejajarkan dengan Muso.Aidit msupun tokoh tokoh komunis lainnya.pemikiran pemikiran Tan Malaka yang sangat revolusioner bshkan jauh sebelum proklamasi kemerdekaan RI dikumandangkan seolah tidak tersentuh oleh catatan sejarah para pelajar di era saya....melalui blog ini kita bisa melihat sisi lain tanah Sumatera Barat...tidak hanya jembatan Ampera dan Jam Gsdang sebagai Ikonnya tapi juga sisi sejarah dan kehidupan orang orang besar seperti Tan Malaka dan Bung Hatta..
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca, Bu. Berkelana sendirian memang menantang, tapi juga asyik. :-)
DeleteMembaca tulisan ini saya jadi membayangkan seorang backpacker yang sering saya jumpai di Bali..keberanian dan kenekatan sangat diperlukan untuk melakukan perjalanan seperti ini..yang paling mengusik benak ssya adalah perjalanan pak Sidik ke rumah Tan Malaka...saya dan Pak Sidik mungkin pernah berada dalam era yang sama dimana nama Tan Malaks dianggap tabu bahkan disejajarkan dengan Muso.Aidit msupun tokoh tokoh komunis lainnya.pemikiran pemikiran Tan Malaka yang sangat revolusioner bshkan jauh sebelum proklamasi kemerdekaan RI dikumandangkan seolah tidak tersentuh oleh catatan sejarah para pelajar di era saya....melalui blog ini kita bisa melihat sisi lain tanah Sumatera Barat...tidak hanya jembatan Ampera dan Jam Gsdang sebagai Ikonnya tapi juga sisi sejarah dan kehidupan orang orang besar seperti Tan Malaka dan Bung Hatta..
ReplyDeletenice post,
ReplyDeletekunjungi juga ya
http://handini.blog.upi.edu/2016/01/01/mau-bertanya-jangan-malu-malu-askbni-akan-menjawab/
Sip, nanti saya akan mampir bali. Terima kasih kunjungannya. :-)
DeleteWkwkwk kayak nonton Apocalypse Now... lama banget buat nunggu munculnya Marlon Brando... dan penantian itu terbayar lunas!
ReplyDeleteHehehe... suwun, Denmas Marto, sudah menyimak hingga tuntas.
Deletesaya menikmatinya, bung. tapi sayang ceritanya terlalu cepat dari tempat ke tempat lain. next time, bisa dieksplor dulu lebih detail per tempatnya. Tabik :)
ReplyDeleteUsul menarik, dari pembaca dan teman setia. Makasih, Bung. :-)
DeleteMenarik, informatif, dan menggugah, Mas.
ReplyDeleteAlur perjalanan dan tempat-tempat yang dituju cukup detil dan bisa jadi rujukan buat pengelana sejarah dan literasi di masa depan. Kalau ada waktu dan modal, mungkin saya suatu saat akan menapaktilasi perjalanan sampean ini dg keluarga.
Selingan saja: kalau dengar kata Payakumbuh itu yg ada di pikiran saya selalu Gus Tf Sakai yang di cerpen-cerpen Kompasnya selalu diakhiri dengan "Payakumbuh." Sepertinya sy dengar Payakumbuh pertama kalinya ya waktu baca cerpen2 Kompas itu (kuper banget ya? :D).
Semoga menjadi jawara lomba. Di hati saya sampean sudah jawara dengan tulisan ini. :)
Suwun udah mampir, Mas. Perlu dicoba, Mas, kalau pas rileks di tanah air, hehe.
DeleteOh... iya ya. Aku dulu pernah baca Gus Tf Sakai juga, tapi lupa apa judulnya, udah lama. Amin, Mas, semoga jadi jawara.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSungguh cerita yang menarik, informatif dengan gaya bahasa yang khas membuat tulisan pak sidik selalu menarik untuk dibaca. Semoga Sukses pak
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir, Ronald, juga untuk doanya. :-)
DeleteAsyik, aku seperti naik kereta dan menuju lokasi yang sampean singgahi. Sukses mas...
ReplyDeletesuwun sudah mampir, mas denny. :-)
ReplyDeleteSempat terhenti lama pada bagian Tan Malaka, kisah seorang Ninja..
ReplyDeleteNinja yang membaca kisah hidup ninja... tentu terdiam beberapa saat. Suwun, Mas, sudah mampir.
Deletekapan2 kalau berkelana lg bs ngajak aku kang Sidik. ini perjalanan yg mengesankan
ReplyDeletemakasih udah mampir, kang nur. sip, nanti kapan2 kalau aku ke jakarta aku tak ngontak sampean. :-)
DeleteMas, saya suka cerita perjalanannya. Asyik! Saya jadi pengin jalan-jalan ke sana. Sebenarnya waktu ada, mungkin modalnya belum :D
ReplyDeleteSukses Mas Sidik! :)
Makasih sudah mampir membaca, Mas Ridho. :-)
DeleteSempat baca tulisan sampean di FB tapi ga lengkap, ternyata boleh dibilang perjalanan yang tak terencana. Catatannya menarik, mungkin utk tujuan tertentu tulisan dipersingkat y mas?.
ReplyDeleteBagiku puncaknya saat berkunjung ke rmh Tan Malaka, yang didapatkan adalah hening. Berbanding terbalik dengan perjalanan dari Yogya ke Sumatra yg ramai. Seperti juga perjalanan hidup beliau, selama hidup melanglang buana dan saat menjelang akhir hidup ditemani keheningan di dlm hutan.
Wah, baru tak baca komennya, Mas Fikrul. Iya, Mas, ini dilombakan. Tapi mau membuat catatan yang lebih detail khawatir membuat (calon) pembaca bosan sebelum berakhir. Makanya, setelah ditimbang-timbang, panjang inilah yang paling pas.
DeleteIya, Mas, kalau ada waktu, sempatkanlah main ke sana. :-) Suwun udah mampir, Mas.