Tuesday, February 2, 2016

Ke Sumatera, Menuju Rumah Tan Malaka | Catatan 5

SAAT liburan akhir tahun lalu, saya berencana ke beberapa kota di Jawa, seperti Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Sidoarjo. Saya punya beberapa teman di kota-kota itu. 20 Desember 2015 saya berangkat ke Jakarta dari Pontianak menumpang pesawat. Pesawat berangkat sekitar jam 10 malam, ditunda hampir 2 jam dari jadwal awal. Saya sampai di Jakarta lewat tengah malam. Di Jakarta, teman baik yang biasanya menemani saya di Jakarta mengabari, ada tamu dari luar negeri di rumahnya. Saya tidur beberapa jam di bandara. Dari Bandara Soekarno Hatta saya langsung menuju Stasiun Gambir, hendak menumpang kereta ke Yogyakarta.

21 Desember 2015, hari masih gelap, matahari belum tampak, saat Bus Damri dari bandara sampai di stasiun. Saya membeli secangkir kopi di mart di dalam stasiun. Sambil ngopi, saya berpikir, mungkin juga teman-teman saya lainnya di Jawa punya acara masing-masing, apalagi menjelang akhir tahun—ada yang merayakan Natal, atau berlibur. Setelah ngopi, dan hari mulai terang, saya berjalan-jalan, melihat-lihat. Pandangan saya tertuju pada sebuah loket. Saya dekati, ternyata itu loket yang menjual tiket bus ke Lampung.

Setelah menimbang-nimbang selama beberapa menit, saya pun memutuskan menyeberang ke Sumatra. Seumur hidup, saya belum pernah menginjakkan kaki di Pulau Sumatra. Saya menunggu loket dibuka, mendapatkan tiket bus jam 10. Ketika memesan tiket bus, tujuan pertama yang terlintas di benak saya adalah rumah Tan Malaka di Suliki, Sumatra Barat, bukan tempat-tempat wisata.

Sudah lama saya mengagumi sosok dan pemikiran Tan Malaka. Saya mengoleksi beberapa bukunya, menyimpan tulisan-tulisannya yang disalin dan disebar di Internet. Bagi saya, judul buku tentang sosok beliau yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia sangat tepat: “Bapak Republik yang Dilupakan”. Saya pernah membuat dua tulisan tentang Tan Malaka, saya publikasikan di blog saya dan Kompasiana:

1.
Tan Malaka: Penulis dan Negarawan yang Visioner
2.
Tan Malaka, Komunisme, Pancasila, dan Warisan Pemikirannya

Perjalanan ke Lampung memakan waktu 9 jam, termasuk istirahat di rumah makan. Dalam bus saya banyak mengobrol dan bertanya kepada ibu yang duduk di samping saya tentang kota-kota di Sumatra. Beliau enak diajak bicara. Darinya saya memperoleh informasi, kalau ke Bukittinggi, dari Lampung saya bisa ke Palembang dulu dengan menumpang kereta. Lalu, dari Palembang menumpang bus tujuan Padang, Bukittinggi, dan sekitarnya.

Bus yang membawa saya ke Lampung sampai di Stasiun Tanjungkarang, Lampung, sekitar jam 7 malam. Stasiun itu berada persis di samping Terminal Tanjungkarang. Saya pun turun di depan stasiun, menuju loket. Saya beruntung, tiket Kereta Api Sriwijaya II dari Lampung ke Palembang masih tersedia malam itu.

***

22 Desember 2015, saya sampai di Stasiun Kertapati, Palembang, sekitar jam 9 pagi. Di situ saya bertanya kepada petugas stasiun, angkutan apa yang bisa membawa saya ke Jembatan Ampera. Dia menyarankan menggunakan ojek. Di luar stasiun, banyak tukang ojek menawarkan jasa. Diantar tukang ojek, saya sampai di Jembatan Ampera. Tak jauh dari jembatan itu ada Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera). Tak jauh dari Monpera ada bakul yang berjualan pempek lenggang bakar. Saya lumayan suka makan pempek; tapi makan pempek di Palembang jelas lain rasanya.

Setelah makan, melihat-lihat, dan berfoto, saya duduk di bangku dekat Monpera, mencari informasi di ponsel saya informasi bus yang berangkat dari Palembang ke Bukittinggi. Bus itu namanya Yoanda Prima. Sayangnya, batere ponsel saya habis saat saya belum mengecek jadwal keberangkatan bus itu. Saya pun bertanya kepada seorang tukang ojek jadwal keberangkatan bus itu. Dia tidak tahu, malah mengajak saya langsung mengecek ke kantornya di Jalan Soekarno-Hatta. Saya tidak serta-merta menyetujui.

Orang berikutnya yang saya tanyai adalah petugas jaga di pemberhentian Bus Trans Musi. Ia mengatakan ada bus dalam kota yang bisa membawa saya ke kantor Bus Yoanda Prima untuk mengecek jadwal keberangkatan. Saya diberinya arahan: naik bus Trans Musi, turun di dekat persimpangan Jalan Soekarno-Hatta. Dari situ, baru naik ojek ke kantor bus itu. Saya pun mengikuti arahannya.

Sampai di kantor bus itu saya kecewa, bus terakhir baru saja berangkat. Saya pun memesan tiket untuk berangkat keesokan harinya. Saya pikir, tak masalah menginap semalam di Palembang. Diantar tukang ojek, saya kembali ke pusat kota, tak jauh dari Monpera, mendapat penginapan tak jauh dari Kantor Pos. Di penginapan itu saya beristirahat beberapa jam. Dari sore hingga malam, saya menikmati keramaian pasar malam di depan Benteng Kota Besak. Penjual segala macam barang tumpah-ruah di depan benteng, ada juga kereta-kereta berlampu warna-warni yang digenjot beberapa orang. Dari situ tampak Jembatan Ampera yang tali-talinya dihiasi lampu panjang berwarna-warni. Ditemani jagung bakar dan kopi, suasana malam di tepi Sungai Musi pada Hari Ibu itu jadi menyenangkan.



 ***

23 Desember 2015, jam 11 siang, Bus Yoanda Prima berangkat dari Palembang. Perjalanan ke Bukittinggi ditempuh selama 18 jam. 24 Desember 2015, jam 5 pagi, saya sampai di Bukittinggi. Dari terminal, saya diantar tukang ojek ke Jam Gadang. Banyak orang sedang senam pagi saat saya sampai di sana. Saya bertanya ke seorang penjaga warung, di mana mencari tempat penginapan dan penyewaan sepeda motor. Penjaga warung mengarahkan saya untuk melintasi jalan yang menuju Jembatan Limpapeh. Katanya, tidak jauh dari jembatan itu, banyak penginapan.

Saat berada di dekat jembatan itu, saya sarapan dan ngopi di sebuah warung tenda. Saat saya bertanya di mana bisa menyewa sepeda motor untuk saya gunakan ke Payakumbuh, ke rumah Tan Malaka, penjaga warung berkata penyewaan motor sudah jarang. Informasi itu agak berbeda dengan yang pernah saya terima dari kawan saya, bahwa di Bukittinggi ada sepeda motor yang bisa disewa. Dari warung itu saya berjalan kaki, mampir ke Benteng Fort de Kock yang berada tak jauh dari situ. Sekembali dari benteng, sekitar jam 10 siang, saya pun bertanya lagi kepada beberapa orang perihal sepeda motor sewaan sembari mencari penginapan.


Dari hasil mengobrol dengan beberapa orang di dekat Jembatan Limpapeh (tukang parkir, tukang ojek, dan penjaga hotel), saya pun jadi tahu bahwa turis domestik hampir selalu tidak diizinkan menyewa sepeda motor; berbeda dengan turis mancanegara. Sebabnya, di Bukittinggi beberapa kali terjadi, turis domestik membawa kabur sepeda motor sewaan. Saya pun mencari cara, bagaimana caranya supaya saya dapat menyewa sepeda motor—karena menyewa mobil biayanya jauh lebih besar, dan saya hanya sendirian. Dari seorang penjaga hotel, saya mendapat nomor ponsel orang yang biasanya menyewakan sepeda motor.

Saya memutuskan check in di sebuah hotel dan meninggalkan hampir semua barang bawaan saya di kamar hotel. Pemilik sepeda motor saya hubungi untuk membawa sepeda motornya ke hotel itu. Saya tunjukkan kuitansi check in dan nomor kamar saya kepadanya, juga mengenalkannya kepada petugas hotel. Saya memberikan KTP saya sebagai jaminan. Lega, sepeda motor pun berhasil saya sewa.

Saya mampir ke rumah kelahiran Bung Hatta sebelum ke rumah Tan Malaka. Lokasinya berada di tengah kota, hanya sepuluh menit waktu yang saya perlukan dari hotel tempat saya menginap di dekat Jembatan Limpapeh.


Bung Hatta dikenal sebagai kutu buku sepanjang hidupnya. Saking cintanya kepada buku, saat harus pindah ke kota lain, bawaannya yang paling banyak adalah berpeti-peti buku. Karena asyik dengan buku, dan terkenal sebagai pendiam, ia terlambat menikah. Saat berkunjung ke rumah kelahirannya, saya terkesan dengan kamar yang digunakan Bung Hatta semasa hidupnya untuk belajar.

Kamar itu berada di bagian paling depan, di samping teras rumah. Di dalamnya ada meja dan kursi yang menghadap jendela—siapa pun yang duduk di kursi itu akan langsung memandang jalan di depan rumah kalau jendela itu terbuka. Dari hasil belajar Bung Hatta—sangat mungkin sering ia lakukan di kamarnya—lahirlah pemikiran tentang koperasi. Dari tangannya lahirlah tulisan-tulisan tentang kesejahteraan masyarakat. Sosok Bung Hatta tak pernah jauh dari kedisiplinan dan ketekunan.

Ketika berada di rumahnya, saya teringat kata-kata seorang sejarawan, bahwa artefak atau barang-barang yang ditinggalkan seseorang atau masyarakat masa lalu, menolong orang-orang pada masa kini untuk tak hanya melihat barang itu sebatas barang, tapi semangat, cita-cita, dan gejolak kehidupan masa lalu


Dari masa lalu—dari kehidupan Bung Hatta bersama barang-barang yang ia tinggalkan—tak jarang orang menjadi sadar, bahwa di masa lalu dapat ditemukan pelajaran penting bagi kehidupan di masa kini. Tentang Bung Hatta, Iwan Fals pernah menulis lagu: "... bernisan bangga, berkafan doa, dari kami yang merindukan orang sepertimu."

***

DARI rumah Bung Hatta, saya menuju Payakumbuh, 30 kilometer dari Bukittinggi. Awalnya, saya kira rumah Tan Malaka berada tak jauh dari Payakumbuh. Setelah bertanya kepada seorang pedagang di Payakumbuh, saya baru tahu, rumah itu masih 30 kilometer jaraknya dari situ. Rumah Tan Malaka berada di Jalan Tan Malaka yang mungkin merupakan jalan terpanjang di Payakumbuh-Suliki. Jalan itu awalnya lebar, tapi lama-lama mengecil. Panjang, tapi sunyi, begitulah kondisi sebagian besar jalan itu
mirip jalan hidup Tan Malaka.

Rumah Tan Malaka berada sekitar 10 kilometer selepas Pasar Suliki. Selepas pasar itu, banyak sawah di kiri-kanan jalan, juga bukit-bukit kecil. Rumah Tan Malaka berada di dekat sebuah tebing yang berada di kiri jalan. Rumah itu berada tak persis di tepi jalan sehingga ada rumah lain bercat kuning yang membantu dengan menempelkan tulisan "Rumah Tan Malaka" agar pengunjung tidak tersesat.

Saya hanya sendirian saat sampai di situ. Awalnya saya pikir rumah itu dikunci. Tidak sampai lima menit kemudian, datang dua anak kecil, masing-masing bernama Yogi (kelas 6 SD) dan adiknya, Gilang (kelas 2 SD), menemani saya. Mereka berkata bahwa rumah itu tidak dikunci.

Kami bertiga pun masuk ke dalam. Di dalam ada foto-foto; buku-buku yang diletakkan dalam sebuah lemari kaca; juga perabotan yang digunakan saat Tan Malaka masih hidup, yaitu kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah ini kurang terawat—lantainya bergoyang-goyang, kotor, dan beberapa perabotan sudah rusak.

Di depan rumah Tan Malaka ada kolam—saya tidak yakin sudah ada sejak dulu. Suasana di situ tenang dan asri. Di rumah itu, saya teringat kiprah Tan Malaka. Ia bapak bangsa yang dilupakan, padahal memiliki visi yang jelas tentang Indonesia ke depan lewat tulisan-tulisannya. Ia sering dikejar-kejar polisi Belanda karena dianggap membahayakan, sering menjadi penyamar. Ia melanglang buana ke berbagai penjuru dunia, juga harus menanggung akibat perjuangannya dari penjara ke penjara.

Sungguh tidak terduga, dari rumah yang hening di tepi tebing, seorang bapak bangsa lahir. Tulisan-tulisan Tan Malaka dari dulu hingga kini terus dipelajari, menjadi saksi bahwa perjalanan hidupnya penuh dengan kebulatan tekad mewujudkan Indonesia yang merdeka dan mandiri.

Saya kembali ke Payakumbuh, melanjutkan perjalanan ke Batusangkar, hendak melihat Istana Pagaruyung. Sepanjang perjalanan pulang saya gembira. Ah, akhirnya sampai juga di rumah itu. Tan Malaka, seumur hidupnya ia melanglang buana ke berbagai penjuru dunia, juga penjara, ternyata... rumahnya begitu hening di kaki tebing.

Saya sampai di Istana Pagaruyung saat hampir malam. Dari situ saya kembali ke Bukittinggi. Keesokan harinya, 25 Desember 2015, saya sempat mampir ke Lobang Jepang, Ngarai Sianok, dan lewat Danau Maninjau. Setelah itu saya ke Padang. Di Padang saya menginap semalam, lalu kembali ke Jakarta. Dari Jakarta, saya kembali ke Pontianak.

Perjalanan ke Sumatra tak terlupakan. Sungguh, sebuah perjalanan tanpa rencana yang masih berkesan hingga saya menulis catatan ini. Hanya membawa beberapa pakaian dan barang-barang yang memang sangat diperlukan di sebuah tas ransel, saya berkelana.  (*)


Sidik Nugroho
Pontianak, 31 Januari-1 Februari 2016

24 comments:

  1. Membaca tulisan ini saya jadi membayangkan seorang backpacker yang sering saya jumpai di Bali..keberanian dan kenekatan sangat diperlukan untuk melakukan perjalanan seperti ini..yang paling mengusik benak ssya adalah perjalanan pak Sidik ke rumah Tan Malaka...saya dan Pak Sidik mungkin pernah berada dalam era yang sama dimana nama Tan Malaks dianggap tabu bahkan disejajarkan dengan Muso.Aidit msupun tokoh tokoh komunis lainnya.pemikiran pemikiran Tan Malaka yang sangat revolusioner bshkan jauh sebelum proklamasi kemerdekaan RI dikumandangkan seolah tidak tersentuh oleh catatan sejarah para pelajar di era saya....melalui blog ini kita bisa melihat sisi lain tanah Sumatera Barat...tidak hanya jembatan Ampera dan Jam Gsdang sebagai Ikonnya tapi juga sisi sejarah dan kehidupan orang orang besar seperti Tan Malaka dan Bung Hatta..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah membaca, Bu. Berkelana sendirian memang menantang, tapi juga asyik. :-)

      Delete
  2. Membaca tulisan ini saya jadi membayangkan seorang backpacker yang sering saya jumpai di Bali..keberanian dan kenekatan sangat diperlukan untuk melakukan perjalanan seperti ini..yang paling mengusik benak ssya adalah perjalanan pak Sidik ke rumah Tan Malaka...saya dan Pak Sidik mungkin pernah berada dalam era yang sama dimana nama Tan Malaks dianggap tabu bahkan disejajarkan dengan Muso.Aidit msupun tokoh tokoh komunis lainnya.pemikiran pemikiran Tan Malaka yang sangat revolusioner bshkan jauh sebelum proklamasi kemerdekaan RI dikumandangkan seolah tidak tersentuh oleh catatan sejarah para pelajar di era saya....melalui blog ini kita bisa melihat sisi lain tanah Sumatera Barat...tidak hanya jembatan Ampera dan Jam Gsdang sebagai Ikonnya tapi juga sisi sejarah dan kehidupan orang orang besar seperti Tan Malaka dan Bung Hatta..

    ReplyDelete
  3. nice post,
    kunjungi juga ya
    http://handini.blog.upi.edu/2016/01/01/mau-bertanya-jangan-malu-malu-askbni-akan-menjawab/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sip, nanti saya akan mampir bali. Terima kasih kunjungannya. :-)

      Delete
  4. Wkwkwk kayak nonton Apocalypse Now... lama banget buat nunggu munculnya Marlon Brando... dan penantian itu terbayar lunas!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe... suwun, Denmas Marto, sudah menyimak hingga tuntas.

      Delete
  5. saya menikmatinya, bung. tapi sayang ceritanya terlalu cepat dari tempat ke tempat lain. next time, bisa dieksplor dulu lebih detail per tempatnya. Tabik :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Usul menarik, dari pembaca dan teman setia. Makasih, Bung. :-)

      Delete
  6. Menarik, informatif, dan menggugah, Mas.

    Alur perjalanan dan tempat-tempat yang dituju cukup detil dan bisa jadi rujukan buat pengelana sejarah dan literasi di masa depan. Kalau ada waktu dan modal, mungkin saya suatu saat akan menapaktilasi perjalanan sampean ini dg keluarga.

    Selingan saja: kalau dengar kata Payakumbuh itu yg ada di pikiran saya selalu Gus Tf Sakai yang di cerpen-cerpen Kompasnya selalu diakhiri dengan "Payakumbuh." Sepertinya sy dengar Payakumbuh pertama kalinya ya waktu baca cerpen2 Kompas itu (kuper banget ya? :D).

    Semoga menjadi jawara lomba. Di hati saya sampean sudah jawara dengan tulisan ini. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Suwun udah mampir, Mas. Perlu dicoba, Mas, kalau pas rileks di tanah air, hehe.

      Oh... iya ya. Aku dulu pernah baca Gus Tf Sakai juga, tapi lupa apa judulnya, udah lama. Amin, Mas, semoga jadi jawara.

      Delete
  7. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  8. Sungguh cerita yang menarik, informatif dengan gaya bahasa yang khas membuat tulisan pak sidik selalu menarik untuk dibaca. Semoga Sukses pak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah mampir, Ronald, juga untuk doanya. :-)

      Delete
  9. Asyik, aku seperti naik kereta dan menuju lokasi yang sampean singgahi. Sukses mas...

    ReplyDelete
  10. Sempat terhenti lama pada bagian Tan Malaka, kisah seorang Ninja..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ninja yang membaca kisah hidup ninja... tentu terdiam beberapa saat. Suwun, Mas, sudah mampir.

      Delete
  11. kapan2 kalau berkelana lg bs ngajak aku kang Sidik. ini perjalanan yg mengesankan

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih udah mampir, kang nur. sip, nanti kapan2 kalau aku ke jakarta aku tak ngontak sampean. :-)

      Delete
  12. Mas, saya suka cerita perjalanannya. Asyik! Saya jadi pengin jalan-jalan ke sana. Sebenarnya waktu ada, mungkin modalnya belum :D

    Sukses Mas Sidik! :)

    ReplyDelete
  13. Sempat baca tulisan sampean di FB tapi ga lengkap, ternyata boleh dibilang perjalanan yang tak terencana. Catatannya menarik, mungkin utk tujuan tertentu tulisan dipersingkat y mas?.

    Bagiku puncaknya saat berkunjung ke rmh Tan Malaka, yang didapatkan adalah hening. Berbanding terbalik dengan perjalanan dari Yogya ke Sumatra yg ramai. Seperti juga perjalanan hidup beliau, selama hidup melanglang buana dan saat menjelang akhir hidup ditemani keheningan di dlm hutan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, baru tak baca komennya, Mas Fikrul. Iya, Mas, ini dilombakan. Tapi mau membuat catatan yang lebih detail khawatir membuat (calon) pembaca bosan sebelum berakhir. Makanya, setelah ditimbang-timbang, panjang inilah yang paling pas.

      Iya, Mas, kalau ada waktu, sempatkanlah main ke sana. :-) Suwun udah mampir, Mas.

      Delete

Terima kasih sudah membaca, apalagi sampai mau berkomentar. Semua komentar akan saya usahakan tanggapi balik.