Tiap 23 April ada peringatan Hari Buku Sedunia. Kemudian,
tanggal 17 Mei, ada peringatan Hari Buku Nasional. Belakangan, ada pula Gernas
Baku (Gerakan Nasional Orangtua Membacakan Buku) yang marak diberitakan media. Gernas
Baku yang berada di bawah koordinasi Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga
ini bertujuan agar orangtua terbiasa membaca buku bersama anak. Lewat membaca
bersama, diharapkan terjalin hubungan sosial-emosional yang lebih mendalam
antara anak dan orangtua, serta menumbuhkan minat baca anak sejak dini.
Dirjen PAUD dan Dikmas, Harris Iskandar, di laman SahabatKeluarga (27 Juli 2019),
menyatakan bahwa mendongeng atau membacakan buku pada anak-anak memiliki
beberapa manfaat. Pertama, meningkatkan minat dan kebiasaan anak pada kegiatan
membaca buku yang pada akhirnya memperluas wawasan dan pengetahuan anak. Kedua,
menjalin kedekatan antara orangtua dan anak-anaknya. Ketiga, ada pendidikan
karakter yang ditanamkan pada anak dengan mendengarkan pelajaran moral yang ada
di buku itu.
Berbagai peringatan dan gerakan tentang buku di atas
mestinya membuat kita merenung lagi, sudahkah kita mencintai buku? Atau, masih
pentingkah kehadiran buku dalam kehidupan kita? Di beberapa berita yang tersiar beberapa bulan belakangan
disebutkan, minat baca di negara ini sangat rendah. Beberapa komunitas
tampaknya peduli dengan situasi itu, dan berusaha menyebarkan semangat membaca
dan menulis.
Ada yang pergi ke desa-desa sambil membagi-bagi buku, ada
yang menggelar perpustakaan temporer di taman-taman kota pada Minggu pagi, ada
yang mengadakan seminar atau talkshow dengan mengundang penulis
sebagai narasumber, dan ada juga yang menjadikan kegiatan membaca sekaligus
menulis untuk mencetak writerpreneur di mana-mana.
Efektifkah berbagai kegiatan tersebut? Tentu masih perlu
dipertanyakan, diuji, dan ditelusuri lebih jauh. Yang jelas, kita tidak bisa
menghindari kenyataan bahwa kita sudah jauh tertinggal dibandingkan
negara-negara lain.
Buah renungan dan
pemikiran
Pada masa lalu buku bernilai tinggi. Sekarang, saat
teknologi makin maju, dan orang bisa mencetak buku di mana-mana, buku menjadi
terkesan tak seberharga dulu. Pada zaman dulu, buku dekat dengan ilmu, hasil
renungan dan pemikiran yang mendalam.
Pada masa kini, di era media sosial dan internet, makin
banyak pekerja kreatif dalam tulis-menulis bermunculan. Suatu keadaan yang
menggairahkan, namun juga perlu ditanggapi lebih cerdas, wajar, dan berimbang.
Beberapa editor di penerbitan mengeluh karena menangani banyaknya naskah buku
yang terus berdatangan; dan sayangnya, banyak naskah digarap asal-asalan oleh
penulisnya.
Itulah persoalan yang muncul dari orang-orang yang
dulunya tidak terlatih membaca dengan cermat, tapi ingin membuat buku. Saat
gerakan literasi digembar-gemborkan di mana-mana, orang berbondong-bondong
menerbitkan buku, namun ada yang tak melalui proses kreatif yang memadai. Karya
tulis ada yang dibuat dangkal, asal-asalan, karena penulisnya terburu-buru
dalam berproses. Dan sayangnya, tak banyak pula pembaca yang membaca suatu
karya dengan mendalam.
Mudji Sutrisno, seorang rohaniwan, pernah mengesalkan
pembacaan karya-karya sastra Indonesia yang dilakukan secara dangkal--itu yang
dinyatakan Damhuri Muhammad dalam Darah-Daging Sastra Indonesia (2010). Senada
dengannya, editor senior Penerbit Mizan, Hernowo, menyatakan dalam Mengikat
Makna (2001) bahwa "membaca seperti itu (membaca dengan penuh penghayatan,
yang disebutnya dengan istilah deep reading) bagaikan bertafakur--berpikir
hati-hati, sistematis, dan mendalam." Ia juga menambahkan, "Apabila
seseorang melakukan deep reading dengan benar, dia pasti 'menghasilkan'
sesuatu."
"Hasil" yang dimaksud Hernowo di atas cenderung
dikaitkan dengan aktivitas menulis; bahwa mereka yang doyan membaca akan
mempunyai banyak bahan untuk menulis. Hal itulah yang perlu diperhatikan
orang-orang yang ingin menulis buku. Namun, menurut hemat saya,
"hasil" itu bisa lebih bervariasi. Membaca dengan mendalam, sambil
merenung, akan menolong seseorang untuk menjadi lebih bijaksana. Ya, hasilnya
tak selalu berupa produk tulisan; tapi pemikiran yang tertata, analitis, atau
reflektif. Sayangnya, kita tidak dibiasakan untuk membaca sambil merenung,
bahkan di sekolah.
Tidak dibiasakannya kegiatan membaca di sekolah membuat
generasi muda saat ini seperti mengalami "mata rantai yang putus"
dalam memahami sekaligus mereaksi berbagai persoalan. Belum mengenal sastra,
belum mengenal hakikat atau esensi sebuah teks, orang sudah terbiasa menggunakan
gadget. Lewat gadget, yang identik dengan ketergesaan dan hiburan, banyakkah
orang yang membaca secara mendalam? Tampaknya sedikit.
Karena itulah beberapa persoalan yang perlu dikaji
mendalam, didialogkan, atau dihayati, jadi gagal ketika orang lebih terbiasa
menggunakan gadget ketimbang membaca buku. Gadget dan media sosial sering
memancing orang untuk reaktif ketimbang reflektif.
Kita mudah membagi berita yang belum tentu benar, juga
dihasut dengan posting yang provokatif. Kita kurang merenung, menghayati,
berpikir, sekaligus mencermati. Buku, dengan realitas demikian, tampaknya tetap
menjadi penting bagi orang yang ingin memiliki perspektif yang luas dan tak
mudah mau terbawa arus.
Saat ini, manakala buku dan sumber pengetahuan lainnya
mudah diakses, berbagai pilihan pun terbentang di depan kita. Di keluarga, agar
anak-anak kita tak mudah termakan isu-isu yang menyesatkan, gampang
berprasangka buruk terhadap pihak lain, atau terjerumus dalam pergaulan yang
membahayakan, salah satu upayanya adalah dengan mengajaknya membaca buku. Buku
akan menolong anak-anak untuk kreatif, imajinatif, sekaligus berpikir kritis. Gernas
Baku pun mestinya menjadi gerakan kesadaran, bahwa dunia imajinasi mengandung
keindahan dan kebaikan bagi anak-anak.
Astrid Lindgren, penulis cerita anak yang karya-karyanya
hingga kini masih terus dibaca, menulis buku pertamanya, Pippi Longstocking,
sebagai hadiah untuk ulang tahun anaknya yang kesepuluh pada tahun 1944. Kantor
berita Swedia, TT, menyatakan bahwa buku-buku Astrid Lindgren lebih sering
dipinjam di perpustakaan dan digemari di Swedia dibandingkan dengan
pesaing-pesaing baru seperti Harry Potter. Buku-buku karyanya dianggap
menggambarkan sebuah dunia bermuatan hubungan kasih sayang dan semangat yang
tinggi.
Astrid telah meninggal pada tanggal 28 Januari 2002,
dalam usia 94 tahun. Tentang dunia kepenulisan yang dibangunnya, suatu ketika
ia berujar, "Jika saya telah membuat seorang anak yang sedih menjadi gembira,
setidaknya saya telah menyelesaikan sesuatu dalam hidup saya." Meminjam
istilah bahasa Latin, sebuah kisah yang baik hendaknya dulce et utile--indah
dan bermanfaat. Kadang kala kita kehilangan dan melupakan banyak kisah yang
indah dan bermanfaat bagi kehidupan. Kehidupan yang berjalan cepat dan penuh
gejolak kerap membuat kita mengabaikan hal-hal yang semestinya dihayati dan
direnungkan lebih mendalam. Lewat bukulah perenungan itu bisa kita peroleh.
Sudah barang tentu, buku-buku yang dibuat untuk anak-anak
semestinya tampil menarik agar anak-anak mencintainya. Anak-anak lebih kecil,
misalnya, lebih suka buku bergambar, tidak hanya berisi teks. Selain itu,
ajakan membaca pun perlu disertai keteladanan. Buah jatuh tak jauh dari
pohonnya--orangtua yang suka membaca buku akan lebih mudah menularkan semangat
membaca buku kepada anak-anaknya.
Sudahkah kita membaca buku hari ini?