Saat menyaksikan demonstrasi yang berujung pada
kericuhan 22 Mei 2019 lalu, kita mungkin bertanya-tanya, apakah tujuan final
dari demonstrasi itu? Sulit untuk meyakini bahwa para demonstran itu berjuang
demi keadilan. Lalu, doktrin, ajaran, atau ideologi apa yang menggerakkan
mereka? Pancasila? Tampaknya tidak mungkin.
Ideologi dapat muncul dari keyakinan bahwa yang
diperjuangkan di dalamnya adalah yang terbaik, paling ideal, atau mampu
menjawab semua persoalan dan memberikan solusi dalam masyarakat yang tengah “sakit” karena menganut
ideologi lain. Tapi dalam pelaksanaannya, alih-alih
berjuang bagi kepentingan rakyat, ideologi hanyalah ilusi. Ketika diterapkan, kemungkinannya
untuk menimbulkan chaos dan
perpecahan tidaklah kecil.
Ideologi
pun dapat menyuburkan ilusi di
sekelompok orang yang berpemikiran sama, bahwa masa depan yang bisa diraih
sebuah bangsa atau komunitas akan lebih baik, adil, makmur, dan sebagainya. Padahal, ideologi
dapat menjadi kepanjangan tangan nafsu
segelintir orang untuk berkuasa, dibungkus rapi dalam
berbagai ajaran tentang
keadilan, kesejahteraan, atau kemakmuran.
Pemikiran tentang keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran
pun sering dikaitkan dengan dengan agama. Orang
dapat menjadi radikal dalam memahami dan menerapkan dogma agama, lalu
memperlakukan orang lain yang berbeda agama dengan sikap intoleran karena dianggap tak sebanding
atau sehaluan. Teuku Kemal Fasya (2016) mencatat bahwa di masyarakat, agama
kerap menjadi pengetahuan sosial publik yang lebih besar pengaruhnya
dibandingkan “rasionalitas pengetahuan” (vernunft)
dan “naluri intelektual” (verstand)---dua istilah yang
digunakan Immanuel Kant.
Sistem demokrasi yang selama ini sudah dan sedang berjalan pun
dianggap tak menyejahterakan rakyat oleh para penyeru ideologi baru. Apalagi ketika sistem demokrasi
terbukti berperan
melahirkan pemimpin yang korup; selama berpuluh-puluh tahun pada masa Orde Baru
kekayaan negara ini dinikmati para penguasa yang doyan melakukan korupsi,
kolusi, dan nepotisme.
Kebencian
terhadap sistem demokrasi pun meluas ke ranah yang lebih luas, membuat para penganut ideologi
anti-Pancasila sampai memiliki keyakinan revolusioner bahwa konstitusi perlu
diganti. Bercita-cita mengganti sistem demokrasi, konstitusi, dasar negara,
bahkan ideologi, itulah ciri organisasi
masyarakat (ormas)
atau paham radikal yang memperjuangkan perubahan kehidupan berbangsa dan
bernegara sampai ke akar-akarnya,
yang lebih tepat disebut
“radikal-intoleran”.
Pembubaran ormas
berideologi anti-Pancasila yang beritanya
santer dua tahun lalu bisa saja menuai
tepukan tangan. Masyarakat senang, pemerintah pun dinilai
berupaya menjaga kedaulatan bangsa.
Namun,
karena yang dihadapi adalah ormas radikal-intoleran, yang notabene
memperjuangkan perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara sampai ke
akar-akarnya, pembubaran itu juga bisa memantik pertanyaan-pertanyaan lain yang
berangkat dari realitas politik, kenegaraan, hukum, dan keadilan, misalnya: Akankah korupsi akan tetap merajalela?
Akankah hukum akan kian adil ditegakkan? Dan seterusnya.
Membubarkan
ormas radikal-intoleran dan anti-Pancasila adalah
tindakan mencegah kerusakan dari luar, dan
pemerintah perlu juga melakukan
perbaikan dari dalam. Membenahi “bagian dalam” dapat dilakukan dengan memberi
perhatian lebih besar bagi keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran. Pendidikan ideologi pun perlu menjadi prioritas. Dengan
begitu nasionalisme mempunyai alasan untuk terus dipupuk dan berkembang. Pun, dengan begitu nalar demokrasi yang kuat dapat
terpelihara: bahwa dengan ideologi Pancasila yang sudah ada, kesejahteraan
sosial dan keadilan dapat terwujud.
Ideologi dan pendidikan
Kita khawatir akan kehadiran dan pergerakan ormas
radikal-intoleran yang dapat menimbulkan disintegrasi bangsa. Namun, yang kadang diabaikan adalah sekularisme yang
menjadi-jadi. Remaja dan pemuda sekarang tak sedikit yang makin menggilai
budaya barat atau asing. Beberapa kali ditemukan siswa tak hafal lima sila dalam Pancasila. Padahal Pancasila
memiliki sejarah panjang, lahir lewat proses yang menguras energi dan pemikiran
bapak-bapak bangsa, disusun untuk menjadi dasar bagi tujuan negara yang ditetapkan dalam Pembukaan
UUD 1945.
Gagasan atau gerakan untuk menggantikan Pancasila
baik sebagai ideologi maupun dasar negara muncul beberapa kali dalam sejarah.
Setelah Indonesia merdeka, antara tahun 1957-1959, ada pemikiran yang
berkembang di Dewan Konstituante untuk merumuskan kembali dasar negara dan
memilih alternatif selain Pancasila. Pancasila tetap tak tergoyahkan.
Muhidin M. Dahlan (2016) mengisahkan, suatu
ketika, dalam sebuah seminar, Jenderal Try Sutrisno menerangkan hakikat
Pancasila; bahwa Pancasila bukan sosialisme, apalagi komunisme; bahwa Pancasila
bukan kapitalisme, dan seterusnya. Saat tiba giliran Gus Dur berbicara, ia
menyeletuk, seperti menyimpulkan, bahwa Pancasila adalah ideologi yang
“bukan-bukan”---tentu dengan maksud bercanda.
Walaupun diucapkan dengan nada bercanda, Gus Dur
tampaknya hendak menegaskan, bahwa Pancasila adalah ideologi yang unik, khas
milik Indonesia. Pancasila merupakan gabungan beberapa ideologi, darinya banyak pelajaran kehidupan
berbangsa dan bernegara yang bisa digali.
Namun sayang, pada zaman Orde Baru, Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang tampaknya dihelat juga demi menjabarkan
keunikan ideologi itu, dilaksanakan
dengan cara yang kaku, kurang menggugah. Kini, saat pengaruh budaya asing semakin
kuat akibat globalisasi dan perkembangan teknologi informasi, perlu ada upaya
untuk kembali mengajarkan Pancasila sebagai dasar negara karena di dalamnya ada
nilai-nilai penting yang mencirikan jati diri bangsa.
Nilai-nilai Pancasila dapat ditanamkan lewat ilmu sejarah, dengan
mengisahkan
proses kelahiran dan perumusannya yang panjang. Atau lewat ilmu kenegaraan
(PPKn), menggali nilai-nilai dalam
Pancasila yang dapat dijadikan pandangan bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Saat-saat ini, nilai-nilai Pancasila yang perlu digali
adalah toleransi dan kebersamaan.
Sejak pilkada DKI Jakarta 2017 berlangsung---bahkan sejak pilpres 2014---hingga kini, bangsa
kita terpecah ke dalam dua golongan yang kadang saling berseberangan pemikiran,
dan tak jarang juga saling hujat. Perbedaan
pandangan dan narasi di antara dua kubu dapat membawa bangsa kita selalu berada
di persimpangan, tak kunjung melangkah bersama.
Di sinilah guru berperan penting, mengingatkan siswa-siswinya bahwa Indonesia itu satu,
seperti sila ketiga Pancasila. Persatuan dan kesatuan tak bisa diraih kalau
tidak ada toleransi yang mewujud dalam sikap tenggang rasa dan tepa selira. Guru dalam taraf pendidikan
dasar dan menengah perlu men-transfer spirit Pancasila ke dalam diri siswa
kalau tak rela melihat generasi muda bangsa ini makin radikal-intoleran, atau gandrung
pada budaya kebarat-baratan.
Pada hari lahirnya Pancasila, semoga guru, sebagai salah satu ujung
tombak kemajuan bangsa, dapat merenungi lagi sejarah panjang kelahiran dan
eksistensi Pancasila, juga menggali lagi nilai-nilai Pancasila yang bisa
menjadi solusi untuk permusuhan berkepanjangan. Semoga kemajemukan yang menjadi jati diri
bangsa ini lestari dengan terus adanya toleransi; rakyat Indonesia (kembali)
menghargai dan mengamalkan Pancasila, dasar negara yang
lahir dari cita-cita luhur bapak-bapak bangsa. (*)
Dimuat di Media Indonesia
Dimuat di Media Indonesia