Aktivitas tulis-menulis saya seringkali dihubung-hubungkan dengan status saya sebagai guru. Sebagai guru, tulislah karya yang edukatif. Sebagai guru, buatlah karya yang bermanfaat. Sebagai guru, tulislah buku yang bisa dibaca anak-anak muridmu dan mendidik. Begitulah beberapa kawan memberi saran. Tapi, sejak beberapa tahun lalu, saya memilih jalan lain. Saya memutuskan menulis novel-novel misteri untuk pembaca dewasa yang hampir tidak pernah saya sebut-sebut di ruang kelas tempat saya mengajar di sebuah SMP. Saya juga menulis beberapa artikel rohani tiap bulan; tapi ketika menulis fiksi, saya memilih menulis novel dewasa.
Beberapa guru yang saya kenal suka menulis, kecenderungannya memang seperti itu: membuat karya yang mendidik. Ada yang membuat tulisan yang benar-benar bagus dan mendidik, lalu diakui secara luas atau berskala nasional. Ada juga yang menulis buku-buku pelajaran yang diterbitkan mandiri dengan difotokopi dan dicetak sederhana, lalu dijual kepada murid-muridnya. Dan ada juga yang tidak menulis, tapi menjual modul hasil unduhan dari internet yang difotokopi. Untuk yang terakhir, saya pikir tidak masalah kalau siswa tidak keberatan; cuma saya pernah mendengar siswa bercerita bahwa modul unduhan-fotokopian itu dijual seharga dua kali lipat harga fotokopi.
Guru yang menulis saya pikir tidak banyak. Yang menulis fiksi jumlahnya mungkin hanya separo dari yang suka menulis. Dan yang menulis fiksi dewasa, saya yakin, jauh lebih sedikit. Apakah berarti saya, dari kalangan yang sangat sedikit itu bisa dibilang hebat? Unik, mungkin ya. Hebat, tidak. Kalau karya saya tidak mendapatkan apresiasi yang baik dari pembaca, saya sekadar orang yang dungu, ingin tampil eksentrik, hidup dalam kehebatan imajinatif yang ada di kepala saya sendiri. Hidup dalam keangkuhan dan kesia-siaan.
Menulis novel dewasa menimbulkan konsekuensi. Konsekuensi pertama adalah beberapa kali saya dianggap seperti tokoh-tokoh yang saya tulis. Saya dianggap Tony atau Elang, tokoh-tokoh yang suka gonta-ganti wanita dalam novel-novel yang saya tulis. Padahal, saya beranggapan, fiksi yang baik semestinya tak terbelenggu jati-diri penulisnya, walaupun pilihan dan kecenderungan materi atau tema tulisan mau tidak mau dipengaruhi oleh pengalaman dan pengetahuan si penulis.
Konsekuensi kedua adalah bertemunya karya saya dengan pembaca yang pengalaman membacanya dibentuk oleh opini banyak orang: bahwa bacaan yang baik haruslah edukatif, bermanfaat, dan semacamnya—apalagi yang menulis seorang guru. Pembaca seperti ini biasanya mudah memberi nilai rendah bila menemukan bacaan yang mengandung unsur kekerasan, seks, atau pembunuhan.
Konsekuensi-konsekuensi ini sempat membuat saya pernah berpikir mencari jalur aman ketika menulis fiksi. Menulis cerita romantis yang dibumbui komedi mungkin akan lebih baik. Namun, apa daya, ternyata saya merasa tidak bisa melakukannya setelah mencobanya sekian puluh halaman, tak hanya memikirkannya. Menulis cerita romantis yang lucu ternyata tak semudah yang saya bayangkan. Itu berarti, menulis cerita romantis-komedi berarti bukan jalur aman yang perlu dicoba. Pengalaman itu membuat saya sadar, penulis tak punya banyak pilihan kalau mau benar-benar berinovasi dan menyuguhkan sesuatu yang baru dalam cerita-ceritanya. Saya pun memutuskan mengikuti kata hati saja, menetapkan satu pilihan: menulis cerita misteri lagi.
Kejahatan lagi, kematian lagi, dan teka-teki lagi.