Sejak diputar pertama kali pada 31 Agustus 2017, lima hari kemudian, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 meraup penonton dua juta lebih. Sebuah pencapaian fantastis, yang mungkin akan menyusul seri sebelumnya, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1.
Film di seri kedua dibuka dengan rangkaian beberapa adegan di seri sebelumnya untuk membimbing penonton mengingat—atau mendapat gambaran bagi yang belum menonton seri sebelumnya—cerita di seri pertama. Di seri pertama, cerita diakhiri adegan tas yang tertukar. Tas yang berisi buku yang memuat informasi lokasi harta karun dibawa gadis cantik berbaju merah, yang belakangan diketahui bernama Nadia (Nur Fazura), seorang peneliti dari Malaysia.
Pertemuan Dono (Abimana Aryasatya), Kasino (Vino G. Bastian), Indro (Tora Sudiro), dan Sophie (Hannah Al Rashid) dengan Nadia di pantai pun menjadi titik terang bagi mereka yang berutang karena menghancurkan lukisan mahal. Utang itu akan lunas kalau harta karun itu bisa ditemukan. Setelah dipelajari, harta karun itu berada di pulau terpencil di bagian barat Malaysia.
Sampai di situ, penonton digiring untuk lepas dari bayang-bayang seragam polisi (CHIPS) yang dikenakan tiga tokoh utama ini di seri pertama. Guyonan demi guyonan pun disuguhkan, dari yang sederhana seperti plesetan akibat salah dengar (Lab Aran di Universitas Putra Malaysia diplesetkan menjadi Lebaran) hingga yang tidak masuk akal (dada Kasino yang menggembung akibat serum yang disuntikkan seorang ilmuwan di sana).
Guyonan terus berlanjut. Dalam pencarian harta karun, Dono ketemu kuntilanak yang tersangkut di pohon dan minta diturunkan, Indro berkelahi dengan beberapa pocong, dan Kasino berkelahi dengan pohon-pohon yang bergerak dengan jurus-jurus silat—hmmm... bertujuan mengait-ngaitkan dengan film Wiro Sableng yang sedang digarap?
Penulis skenario dan sutradara tampaknya paham, komedi terbuka lebar untuk berbagai keliaran dan ketidakmasukakalan. Lebih-lebih, ketika yang menjadi pijakan untuk mengeksplorasi keduanya adalah tokoh-tokoh ikonik komedi masa silam yang juga memang melakukan hal serupa.
Di film-film Warkop DKI pembaca mungkin ingat ketika Dono Kasino Indro menyamar jadi perempuan dalam Bisa Naik Bisa Turun (1991), padahal penyamaran itu terlihat jelas. Atau Dono yang saat menyamar jadi wanita dalam Maju Kena Mundur Kena (1983) ikut bertanding dalam sepakbola wanita. Di babak pertama, skor pertandingan 11-0. Adu jotos sempat terjadi gara-gara pemain saling mencurangi. Dono suka berlari ke sana kemari, terlihat paling aktif dan gembira, dan setelah mencetak gol cengengesan meremasi bokong para pemain wanita.
Di film ini, kehadiran para wanita seksi—yang di film-film Warkop DKI menjadi ciri khas—tampaknya berkurang agak banyak. Yang terbilang paling hot di film ini hanya saat mereka mengamati gadis berbikini lewat teropong. Apakah pengurangan ini demi menghindari sensor? Mungkin saja. Saat Kasino dadanya menggembung, jadi mirip payudara wanita berukuran jumbo, ada bagian yang tampaknya menyentil kebijakan sensor. Blur berbentuk kotak-kotak yang biasanya ditampilkan di televisi untuk memburamkan bagian-bagian tertentu sempat muncul, menutupi dadanya, tapi ia geser dengan tangannya.
Namun, selain dugaan saya untuk menghindari sensor, melihat betapa kritisnya warganet merespons berbagai persoalan, termasuk hal-hal yang berhubungan dengan diskriminasi gender, tampaknya sutradara dan penulis skenario memilih jalur aman. Guyonan-guyonan yang misigonis dalam Warkop DKI jika dipertahankan dan diadaptasi dalam Warkop DKI Reborn malah sangat mungkin menuai kritik dan hujatan.
Guyonan yang paling menggelitik di film ini adalah penerapan teknologi CGI yang memungkinkan para tokoh bertemu dengan tokoh atau aktor film masa lalu seperti Rhoma Irama, Jaka Sembung, dan Suzanna yang suka makan sate dan soto. Para penonton yang akrab dengan tokoh-tokoh itu tentu akan terkejut menyaksikan pertemuan-pertemuan itu.
Walaupun tampaknya sudah memilih jalur aman, juga berupaya menampilkan ragam komedi dari berbagai sisi, tetap ada yang mengganjal di film ini. Yang paling mengganggu adalah alur. Alur menjadi elemen yang agak tenggelam karena sutradara berhasrat menyuguhkan komedi di tiap adegan.
Misalnya, adegan pertemuan Nadia dengan Kasino di pantai. Sangat kebetulan. Dari sekian banyak orang di pantai itu, tampaknya terlalu cepat dan tak terduga bagi Kasino untuk bertemu orang yang selama ini ia dan tiga rekannya cari-cari. Sebelum bertemu, ia bahkan terpesona dengan Nadia, berlagak jadi orang yang pura-pura tenggelam agar ditolongi. Bahkan setelah bertemu, ekspresi mereka tampak biasa saja, kurang dramatis, padahal Nadia adalah tokoh untuk membuka kunci kerumitan yang mereka temui sebelumnya. Di sini pun terlihat, yang ingin ditonjolkan lucunya, alurnya tak begitu penting.
Sudah barang tentu, alur yang kurang runut tak terlalu menjadi soal. Dalam film komedi, yang lebih penting memang humornya. Toh masyarakat butuh hiburan, tertawa di bioskop beramai-ramai sungguh mengasyikkan. Yang kurang lucu pun jadi agak lucu, atau malah jadi lumayan lucu kalau bioskopnya ramai. Namun, benarkah film hanya hiburan?
Totot Indrarto, dalam catatan pembukaan di buku Katalog Film Indonesia 2008-2015 yang diterbitkan Pusat Pengembangan Perfilman, Kemdikbud, menyatakan bahwa 2016 adalah “tahun kebangkitan kembali film Indonesia” setelah 2008 yang sering disebut sebagai “masa kejayaan film Indonesia jilid baru”. Sebabnya, “sampai dengan akhir 2016 total jumlah penonton bisa menyamai perolehan 2008, yakni 32 juta penonton.”
2016 menjadi tahun penting dalam industri perfilman, dan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 yang rilis pada tahun itu tercatat sebagai film yang paling banyak ditonton sepanjang masa, yaitu 6,8 juta. Dan perolehan penonton Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2 juga digadang-gadang bakal mirip—atau mungkin melampaui—seri sebelumnya. Indikasi apakah ini? Terlalu dini untuk menyatakan bahwa fakta ini menunjukkan bahwa penonton film kebanyakan sekadar mencari hiburan dengan menonton film. Toh, film yang terkategori menghibur (baca: membangkitkan gelak tawa) bukan hanya Warkop DKI Reborn, ada film-film komedi lainnya.
Kata kunci yang lebih pas mungkin bukan menghibur, tapi nostalgia. Dono, Kasino, dan Indro adalah tokoh-tokoh yang dirindukan penonton dari segala usia dan kalangan untuk terus hidup dan menyuguhkan kekonyolan-kekonyolan baru. Dan kerinduan itu telah ditangkap para pembuat film. Filmnya pun sukses.
Ahirnya, setelah menonton film ini, yang menurut saya kelucuannya agak berkurang dari yang pertama, saya malah berpikir untuk menjadi orang sukses daripada lucu dalam perjalanan pulang ke rumah.
Ah, tapi sayang, saya kurang pandai bernostalgia. (*)