Judul: Career of Evil (Titian Kejahatan)
Pengarang: Robert Galbraith
Penerjemah: Siska Yuanita
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun: 2016
Tebal: 552 halaman
DETEKTIF
partikelir Cormoran Strike namanya kian melambung setelah memecahkan dua kasus
yang dikisahkan dalam The Cuckoo’s
Calling dan The Silkworm. Keberhasilan
detektif bertungkai palsu itu diberitakan di berbagai media. Namun, selalu
begitu—ketika sebuah nama meroket, ada saja yang menghalangi laju terbangnya.
Suatu ketika, Robin Ellacott, sekretaris Cormoran, menerima kiriman tungkai
wanita.
Di
bagian awal pembaca sudah disuguhi konflik menggigit: pelaku mutilasi terbaca
jelas motifnya. Bahwa selain mengidap gangguan jiwa, ia membenci Cormoran. Kiriman
itu jelas-jelas merupakan sindiran sekaligus tantangan bagi Cormoran. Pelaku
mutilasi mengajaknya bermain petak umpet: kalau kau tidak bisa menangkapku,
maka karirmu sebagai detektif akan merosot. Dan benar saja—satu demi satu klien
yang mempercayakan tugas pengintaian kepadanya mundur.
Kiriman
tungkai wanita itu menuntun Cormoran mencurigai empat orang di masa lalunya
yang mempunyai kemungkinan melakukan tindakan brutal, sekaligus memiliki dendam
kepadanya saat ia masih menjadi tentara: Terence “Digger” Malley, Noel Brockbank,
Donald Laing, dan Jeff Whittaker. Selain Robin, Cormoran dibantu Detektif
Polisi Wardle dan Shanker, kawan masa kecilnya, mencari jejak si pelaku.
Novel
ini menggunakan tiga sudut pandang utama. Pertama Cormoran Strike, kedua Robin
Ellacott, dan ketiga pelaku mutilasi yang misterius. Novel ini menjadi tebal
karena investigasi yang dilaksanakan Strike terhadap para terduga pelaku
mutilasi dikisahkan dengan rinci—penuh strategi yang membutuhkan kecerdikan,
juga melibatkan beberapa orang yang berstatus keluarga atau kenalan mereka. Investigasi
Robin, rekannya, juga dikisahkan dengan rinci ketika ia sedang tidak
bersama-sama Cormoran. Yang menarik adalah ketika Robin menyamar menjadi
pengacara kecelakaan bernama Venetia Hall saat mencaritahu tempat tinggal
seorang terduga pelaku mutilasi. Ia pandai menyamar, membuat Cormoran terkesan.
Pembaca
juga akan dibawa “berkelana” ke tempat-tempat yang “gelap”, seperti klub malam
yang menyuguhkan hiburan penari telanjang, juga panti pijat dengan layanan khusus.
Di panti pijat itu, Thai Orchid Massage, Cormoran mengeluarkan uang tidak
sedikit mencari jejak seorang terduga pelaku mutilasi karena ia dulu pernah
menjadi tukang pukul di situ. “Dua ratus tiga puluh pound untuk nomor telepon lama. Kuharap hasilnya sepadan” (halaman
253).
Rangkaian
penyelidikan yang dikisahkan dalam novel ini—juga pilihan pengarang memasukkan
sudut pandang pelaku mutilasi di dalam cerita—sesuai dengan sebuah aturan (rules) yang dinyatakan S.S. Van Dine dalam
artikelnya berjudul “Twenty Rules for
Writing Detective Stories” yang dimuat American
Magazine (September, 1928). Ia menulis: “Pembaca harus memiliki kesempatan
yang sama dengan detektif untuk memecahkan misteri. Semua petunjuk mesti
dinyatakan dan digambarkan dengan jelas.” Pengarang sudah menyebutkan pelaku
mutilasi sebelum cerita berakhir—di bagian tengah cerita—walaupun ada bagian
yang tersembunyi karena ada tambahan penyelidikan di bagian akhir yang menjadi
titik penentu penyibak misteri.
Novel
detektif ini berhubungan dengan psikologi, khususnya kejahatan seksual. Salah
satu terduga pelaku mutilasi diduga kuat mengidap pedofilia, tertarik secara seksual pada anak-anak prapuber. Di awal
penyelidikan, terduga pelaku mutilasi juga ada yang disinyalir mengidap acrotomophilia, jenis penyimpangan
seksual yang pemuasannya didapat dari fantasi atau tindakan yang melibatkan
orang yang diamputasi.
Selain
konflik utama cerita, yaitu investigasi terhadap para terduga pelaku mutilasi,
ada juga konflik-konflik kecil yang berasal dari kehidupan Robin: Matthew,
tunangan Robin yang cemburu kepada Cormoran; Robin yang bimbang dengan
kepastian pernikahannya karena mendapati Matthew pernah berselingkuh; Robin
yang pernah mengalami masa lalu traumatik karena pernah diperkosa pria yang tak
dikenalnya. Ada juga kisah hubungan asmara antara Cormoran dengan Elin, dan dua
klien terakhir Cormoran yang menggunakan jasanya. Hal-hal ini juga membuat
novel ini makin tebal, dan kadangkala agak mengganggu konsentrasi membaca
karena ada beberapa bagian yang kurang signifikan terhubung dengan konflik
utama.
Bagian
yang agak kurang di(pilih untuk di)kembangkan pengarang adalah proses perubahan
pikiran dan kepribadian si pelaku mutilasi sehingga ia bertindak keji. Dalam
cerita ini, bab-bab khusus yang berisi serpihan-serpihan kisah tentang si
pelaku mutilasi lebih menekankan pada kekejaman yang ia rencanakan, serta
beberapa peristiwa dan pengalaman ketika melakukan tindak kejahatannya.
Pengarang hendak membawa pembaca masuk dalam kengerian yang ada di pikiran
sekaligus perbuatannya—tentang kepuasan membunuh, anggapan rendah terhadap
wanita, juga proses membunuh dan memutilasi—tapi kurang menjabarkan mengapa
pikiran keji itu menjangkiti otak si pembunuh hingga ia bertindak brutal.
Hingga cerita berakhir, kesan yang kuat tentang si pembunuh adalah bahwa ia memang keji. Mengapa ia keji—nah, gambaran itu masih samar.
Sebagai
pembanding, kalau pembaca pernah menonton film Psycho yang digarap Alfred Hitchcock, maka penonton akan tahu
mengapa si pembunuh menjadi jahat. Di suatu bagian film—tidak disebutkan bagian
awal, tengah, atau akhir, supaya tidak menjadi spoiler terhadap film itu—dijelaskan dengan gamblang, mengapa si
pelaku menjadi sedemikian kejam dan tega membunuh. Penjelasan itu membuat penonton
pun tahu, lebih paham, bahwa kekejaman si tokoh disebabkan karena ia dihantui
rasa bersalah setelah seorang anggota keluarganya meninggal.
Pilihan
pengarang untuk—mungkin secara tidak sengaja—menjelajahi konflik batin si pelaku
mutilasi karena memang ia menganggap bahwa napas utama dari novel ketiga ini
adalah upaya penjatuhan nama Cormoran Strike. Seperti yang tampak berikut: “Biro
penyelidikan ini tak akan bertahan lama bila bau amis kegagalan dan keganjilan
terus menguar dari kantornya... Tidak ada yang ingin mempekerjakan orang yang
begitu terkenal karena pemberitaan negatif; tidak ada yang menyukai gagasan
detektif yang begitu terkait erat dengan pembunuhan yang tak terpecahkan”
(halaman 382).
Para
terduga pelaku mutilasi awalnya tidak pernah diketahui di mana keberadaannya.
Cormoran “... sudah delapan tahun tidak bertemu dengan Brockbank, sembilan
tahun tidak bertemu dengan Laing, dan enam belas tahun dengan Whittaker”
(halaman 64). Baru di halaman 300—sudah lebih dari setengah buku—dinyatakan di
mana ketiga orang itu berada. Ini agak berbeda dengan cerita detektif lain yang
ditulis lebih awal. Dalam And Then There
Were None dan Murder on the Orient
Express, misalnya, Agatha Christie mengisahkan pelaku pembunuhan adalah satu
di antara beberapa orang yang berada di dekat korban dan lokasi pembunuhan.
Novel ini juga lebih terkesan “masa kini”—ada peristiwa-peristiwa besar yang terjadi beberapa tahun belakangan turut disebut dalam cerita: pernikahan Pangeran William dan Kate Middleton dan terbunuhnya Osama bin Laden. Kesan itu makin kuat karena media sosial seperti Facebook dan Instagram, Google Street View, dan forum diskusi tentang disabilitas dan psikologi di Internet juga menjadi media-media yang turut membantu penyelidikan.
Novel ini juga lebih terkesan “masa kini”—ada peristiwa-peristiwa besar yang terjadi beberapa tahun belakangan turut disebut dalam cerita: pernikahan Pangeran William dan Kate Middleton dan terbunuhnya Osama bin Laden. Kesan itu makin kuat karena media sosial seperti Facebook dan Instagram, Google Street View, dan forum diskusi tentang disabilitas dan psikologi di Internet juga menjadi media-media yang turut membantu penyelidikan.
Hampir
semua bab novel ini diawali dengan kutipan lirik lagu dari Blue Öyster Cult. Kutipan
lirik ini mengingatkan saya pada cerita-cerita Seno Gumira Ajidarma dalam buku kumpulan
cerita Sepotong Senja untuk Pacarku yang
diawali dengan kata-kata tempo dulu buatan Eddy Suhardy. Kutipan lirik lagu dan
kata-kata tempo dulu itu terhubung dengan cerita secara unik dan bebas—bisa
temanya, kejadian utamanya, gejolak batin tokohnya, atau lainnya. Sebagai
contoh, saat Cormoran memikirkan tiga wanita yang dekat dengannya, Robin, Elin,
dan Charlotte, lirik lagu yang dikutip di awal bab ke-40 (halaman 362) berasal
dari lagu “Searchin’ for Celine”,
tentang cinta: “... love is like a gun/
And in the hands of someone like you/ I think it’d kill.”
Di
bagian Ucapan Terima Kasih, pengarang menyatakan, “Rasanya aku tidak pernah
menulis novel seasyik aku menulis Career
of Evil” (halaman 541). Mungkin itu pengakuan yang jujur. Robert Galbraith,
alias J.K. Rowling, juga sudah merangkai kisah yang asyik dan layak diikuti
hingga tuntas. Dan, lewat serial Cormoran Strike ia menegaskan bahwa dirinya
bukan spesialis pengarang cerita sihir atau anak-anak. (*)
*)
Novelis. Novelnya yang baru terbit berjudul Tewasnya Gagak Hitam (2016).